Senin, 10 September 2018

Tenggelamnya Gaya Politik Pencitraan


Oleh : Al Azzad 

Ada masa dimana dulu demokrasi sempat heboh dengan model politik pencitraan yang dikemas apik sedemikian rupa. Ditampilkan seolah sangat sederhana, merakyat, wong cilik, ndeso, senyam senyum, cengar cengir, guya guyu, canda tawa, guyonan dan hal-hal yang dianggap selama ini politik selalu tegang serta kaku. Namun teori tentang politik pencitraan hanya sebatas gelembung politik yang sangat mudah dan rentah pecah atau meledak. Dulu terbantu dengan alat yang cukup efektif bernama sosial media yang kemudian berlanjut sampai pada framing media konvensional atau mainstream. Teori kepemimpinan yang sedang dikonstruksi melalui media massa atau online merupakan gaya gerakan politik masa kini untuk mensosialisasikan dirinya agar mendapatkan perhatian sekaligus keprercayaan pada rakyat, supaya diberikan amanah menjadi pemimpin negara yang akan menjalani kompleksitas kegiatan kenegaraan yang tidak gampang dan enteng. Kompetisi memperebutkan posisi dan jabatan strategis teetinggi di negara ini menjadi keinginan banyak pihak baik politisi, pengusaha maupun para aktivis. 

Situasi negeri ini pernah dilanda politik pencitraan sehingga demam pada satu tokoh hasil framing media dan mengidolakan tokoh sebagai bagian pemimpin yang empati selayaknya sama susahnya dengan rakyat nya dan dianggap akan pemimpin negara sama rasa dan sama harapan yang dibawa. Namun ternyata realitas Politik menafsirkan berbeda, sehingga situasinya juatru bertolak belakang dan sangat kontradiksi dari kenyataan yang diwujudkan dalam bingkai kesejahteraan. Karena ternayata hanya mampu mengelola negara dengan cara-cara bungkus kemasan tanpa isi, menghabiskan kas negara tanpa mampu mengendalikan ekonomi, memakmurkan satu golongan tetapi menfaikan jumlah sebagian besar banyak golongan lain, salah dalam memilih kaki tangan untuk membantu kinerja menjadi pergantian orang terus menerus, sampai pada ketidakmampuan membangun narasi negara yang lebih konkrit dan rill di segala sektor. Hanya terbawa dan dibawa pada keadaan cerita-cerita dongeng, cerita curhat, dan cerita seperti anak kecil menceritakan pengalaman liburan maupun pengalaman sekolahnya. 

Tenggelamnya gaya politik pencitraan ini dikarenakan pula oleh counter dari sosial media yang mampu melacak jejak digital dan bisa mem blow up, show up, dan display kembali kelakuan pemimpin yang dulunya lahir dari media massa dan online. Politik pencitraan tidak memberikan banyak urgensi dan dampak positif melainkan lebih banyak jatuh serta terjebak pada hal negatif serta hal-hal remeh temeh yang sangat tidak esensial dan substansial bagi keberlangsungan dalam mengelola negara. Yang lebih celaka lagi ialah sebagain besar rakyat kecil justru masih terjebak pada doktrin politik pencitraan, terkesima dengan hal yang rekayasa, antusias dengan sesuatu yang tidak ada urgensinya, terkena mantra framing media untuk membanggakan sosok hasil dari politik pencitraan, suka menelan mentah-mentah terhadap apa yang didapatkan dari output politik pencitraan, bahkan terbawa suasana kenangan masa lalu yang buruk hanya karena politik pencitraan dan fanatisme dalam memberi dukungan sehingga nalar intelektual, akal sehat serta daya kritis hilang begitu saja. Ironi dalam demokrasi refirmasi yang saat ini terjebak pada dinamika politik pencitraan hasil dari agenda setting partai dalam mengkemas sosok kadernya untuk ditawarkan ke rakyat. 

Tentu model dari hal semacam ini akan hilang dan tentu tak lagi dihormati sekaligus diminati. Maka Tenggelamnya gaya politik pencitraan adalah keniscayaan rakyat yang semakin hari semakin cerdas dan kritis karena cepatnya mendapatkan segala informasi yang detail. Keadaan saat ini era milenial lebih mengutamakan gaya politik otentik dan politik inklusif yang orisinalitasnya sangat identik, kuat, berkarakter, berkepribadian dan tanpa hasil rekaya apapun. Kepemimpinan itu bukan sekedar dari bagaimana menjaga, membuat, dan membangun image atau Citra melainkan bagaimana menjadi, mengkonsistensikan, dan mengembangkan karakter yang otentik. Gaya-gaya politik pencitraan ini tak akan lagi laku di jual di pasaran rakyat baik dari kalangan bawah, menengah dan atas. Kalau pun ada hanya sedikit jumlahnya layaknya tidak lagi percaya dan daya beli atau daya kepercayaan telah hilang di mata mereka. Politik pencitraan bisa menjadi bumper politik untuk dapat pangging politik yang langgeng dan bisa pula menjadi racun sendiri sehingga justri bumper politik yang menjatuhkan citra diri sendiri. Itulah pentingnya kepemimpinan dalam mengelola negara yang kaya, besar dan luas ini. 

Tidak hanya sampai disitu, situasi Tenggelamnya gaya politik pencitraan ini akan terus menjalar ke segala arah. Karena ia kembali menjadi bumerang membunuh karakter sendiri atas pencitraan yang dibangun diawal namun tak mampu menjaga dan mengensalikannya. Politik pencitraan yang terlalu over san berlebihan dibangun melalui media massa dan online bisa menghancurkan popularitas dan elektabilitas serta solidaritas penggemar, pendukung atau pemilihnya sendiri. Sebab yang namanya pemilih tidak selamanya bertahan pada satu pilihan bila yang dipilih tidak lagi satu tujuan serta banyak memberikan kekecewaan. Sebab dalam gaya politik pencitraan itu selalu membawa narasi dan konten pada politik identitas, rekayasa politik, politik simbolik, dan politiktainment yang artinya selalu membawa lelucon dalam berpolitik sekaligus mengelola negara sehingga berasa ala-ala stand up comedy, srimulat dan republik dongeng. Tentu yang harus dilakukan ialah politik otentik, politik inklusif, politik demkratis, politik adab dan tentunya politik berintegritas atau berkepribadian tunggal tidak menjadi bunglon, kepribadian topeng, replikasi pemimpin pencitraan yang sangat mencemaskan. Maka sebuah harapan ke depan ialah adanya narasi progresif dalam kepemimpinan kebangsaan dengan memberikan teladan serta keadaan politik yang esensial bikan sebatas simbolik, slogannistik dan pencitraan semata.

Minggu, 02 September 2018

Demokrasi Dan Anak Muda


Oleh : Al Azzad 

Kontestasi demokrasi dalam setiap pemilihan Pemimpin selalu memberikan fenomena unik lagi menarik dari masa ke masa. Khususnya di era milenial, dimana anak muda populasinya semakin tinggi dan popularitas terhadap kehidupan kebangsaannya semakin inovatif serta kreatif. Demokrasi kali ini banyak menyentuh kalangan anak muda agar dapat berpartisipasi politik secara aktif dan bijaksana. Sehingga memiliki tanggung jawab secara demokratis terhadap kebangsaannya sendiri. Terlepas dari pergaulan anak muda yang bebas dan menyimpang serta serba instan sehingga tidak dapat menghargai proses sekaligus menghargai yang namanya sejarah serta perjuangan. Namun mereka punya impian di masa depan yang sangat visioner bagi yang memiliki rasa peduli untuk memberikan prestasi dan kontribusi. Karena anak muda jualah yang kelak menjadi Pemimpin masa depan. 

Generasi milenial memang sangat identik kepada kaula muda atau anak muda. Meskipun orang dewasa juga dapat dikatakan sebagai manusia milineal masa kini yang dikarenakan budaya kemajuan teknologi dan informasi yang semakin terbuka lebar. Sehingga setiap orang dapat berekspresi menyampaikan maupun mengungkapkan pendapatnya, perasaannya, pemikirannya, pandangannya dan pilihannya. Akan tetapi anak muda dan demokrasi bisa menjadi jarak yang jauh bila Pemimpin negerinya sangat buruk atau tidak memberikan keteladanan. Justru anak bisa jauh bermasalah jika figur dan tokohnya pun bermasalah. Jadi sangat bahaya untuk membangun karakter anak muda yang berwawasan cerdas intelektual secara nalar. Sosok anak muda dalam dunia politik cukup baik, mampu memainkan perannya sebagai politisi muda yang membawa nama besar partainya sekaligus membawa aspirasi masyarakat untuk diperjuangkannya. Kini anak muda tidak lagi dapat didoktrin, diintervensi secara politik praktis meraih kekuasaan dengan cara-cara yang tidak etis dan egalitier. Karena anak muda sudah memiliki pendirian sendiri karena mampu membaca setiap informati melalui sosial medianya. 

Demokrasi dan anak muda tidak dapat dipisahkan, sebab anak muda juga bagian dari generasi bangsa yang memiliki hak sekaligus kesempatan dalam memimpin bangsa. Hanya saja mereka yang sudah siap secara usia, mental, pengalaman, intelektual, sosial, spritual, manajerial, dan finansial. Hal tersebut bukan tanpa maksud, disadar atau tidak sistem demokrasi itu mahal yang membutuhkan banyak logistik dan biaya Politik. Karena tidak ada makan gratis dalam demokrasi dan demokrasi isinya adalah manusia bukan robot yang hanya dijalankan oleh program. Wilayah yang sangat luas dan besar menjadikan demokrasi itu membutuhkan besar alat, modal, instrumen, kekuatan, dukungan serta pemasukan. Disebabkan karena adanya mesin politik, lokomotif politik dan mekanisme politik yang membutuhkan kompensasi secara wajar. Anak. Muda yang sukses dengan karirnya atau perjalanan politiknya bahkan pendidikan intelektualnya merupakan modal dasar utama, selama memiliki dedikasi dan loyalitas terhadap partai politik pilihannya. Selain itu, korelasi demokrasi dan anak muda milenial ialah terletak pada partisipasi politiknya untuk peduli dan secara sadar memilih mengikuti mekanisme demokrasi melalui pesta dan festival demokrasi lima tahunan di setiap pemilihan. Karena anak Muda Indonesia memiliki hak yang sama sebagai warga negara untuk memilih Pemimpin masa depannya yang akan menahkodai bangsa dan negaranya. 

Anak muda tidak lagi dapat dipandang sebelah mata oleh para politisi maupun orang dewasa. Anak muda milenial saat ini bisa lebih cepat sukses dan kaya raya dengan adanya kemajuan sumber daya informasi dan sumber daya jaringan. Mereka bisa tumbuh suskes sesuai dengan background masing-masing. Demokrasi dan anak muda milenial dalam konteks kontemporer ialah bagian dari budaya konektif kebangsaan membangun kejayaan. Selain itu temasuk bagian dari nilai integrasi antar generasi yang berkolaborasi serta menjadi kombinasi yang fresh, segar bugar lagi mengesankan. Sehingga anak muda akan menjalar kepada sesama generasinya bahkan generasi yang berada di bawahnya dan menyambung pada kalangan perempuan serta orang tua. Tentu anak muda yang dimaksud adalah anak muda milenial yang demokratis menjunjung tinggi nilai kebersamaan yang meneggakkan keadilan serta kesejahteraan serta berpegang teguh pada hukum tidak bertindak secara preventif, subversif, provokatif, persekutif, dan otoritatif. Tentu hal itu dilandasi modal nalar intelektual demokrasi yang dibangun melalui edukasi politik yang dipelajari secara mendalam. Itulah kenapa anak muda selalu menjadi komponen penting dalam demokrasi era milenial masa kini. 

Perlu disadari bahwa relasi antara sistm demokrasi dan anak  Muda milenial menjadi sebuah trend politik yang harus diperhatikan dengan baik. Bila salah momentum, salah mengemas, salah dalam menkampanyekan gagasan atau salah dalam metode persuasi justru akan ditinggalkan oleh kaula muda. Anak  Muda sangat identik dan otentik, atinya identik dengan keterbukaan pemikiran tanpa basa basi atau hanya cuma sandiwara dan otentik sesuai dengan ciri khas dan karakter yang milenial yakni kebutuhan sosial media serta kebutuhan keteladanan sosok yang suskes. Kreativitas anak muda dalam kontribusi demokrasi pun snagat beragam dan menarik. Tidak pernah kehabisan ide dan inovasi, selalu mampu menciptakan suasana demokrasi sesuai dengan gaya dan perilakunya. Karena anak Muda milenial itu tipologinya sangat luas sesuai dengan kemampuan, keahlian dan prestasinya. Yang jelas demokrasi dan anak muda menjadi sinergitas politik yang sangat menjanjikan masa depan, karena suara-suara anak Muda akan tersampikan secara lebih ril dalam bingkai politik kekuasaan agar mendapatkan agenda kebijakan yang memberikan regulasi dan jaminan bagi mereka. Karena berkat anak muda jualah demokrasi menjadi berwarna terlepas sebagaian kecil dari mereka hanya menjadi korban politik sebagai buzzer atau relawan politik tanpa etika. Karena memang sebagain dari mereka hanya menjadi bulan-bulanan politik yang diperalat sebagai mesin Politik yang membawa suasana kegaduhan, kebencian dan adu domba tanpa nalar intelektual sebab telah diracuni oleh nalar finansial dari para mafia politik, bandar politik dan oknum politik praktis.

Jumat, 31 Agustus 2018

Bahayanya Model Politik Anarkis


Oleh : Al Azzad 

Ketika berkuasa maka semua bisa diatur sedemikian rupa. Begitulah kira-kira fenomena kekuasaan dalam kehidupan manusia, karena kuasa semuanya ada dan karena kuasa apa saja menjadi bisa. Satu hal yang paling urgensi dalam teori kekuasaan ialah berkuasa untuk berdaya dan memiliki sumber kebijakan multidimensi, artinya *the power of policy* menjadi alat kekuasaan yang tak terbantahkan. Aturan itu dibuat jikalau punya kuasa dan aturan dapat dilanggar pun demikian jikalau memiliki kuasa yang besar. Kekuasaan selalu identik dengan arogansi yakni menang sendiri, benar sendiri, hebat sendiri, besar sendiri yang ujungnya merupakan klaim dan pengakuan mutlak yang tak bisa dibantahkan oleh siapa pun selagi kekuasaan berada di pundak dan digenggaman. Resistensi pada kekuasaan akan memberikan efek tragis dan efek dramatis, artinya bahwa semakin kuat menentang kekuasaan maka semakin tersakiti dan semakin menjadi drama yang tidak dapat disentuh maupun diubah kecuali oleh sutradara atau sang skenario pemiliki alur dramanya. Upaya resistensi terhadap kekuasaan memberikan pukulan serta tamparan secara politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama. 

Dibalik kekuasaan selalu ada benteng pertahanan diluar perthanan secara formal ada model yang namanya anarkisme kekuasaan. Anarkisme kekuasaan adalah paham perlawanan secara keras dengan menggunakan kekuasaan melalui instrumennya sebagai alat untuk memukul, menggebuk, menghantam, melibas, menghakimi, menghajar dan membiarkannya. Anarkisme kekuasaan akan digunakan ketika kekuasaan berada diujung tanduk serta ketika berada pada situasi terburuk dan terjatuhnya wibawa serta martabat kekuasaannya. Dampaknya tidak hanya pada kubu bersebrangan atau yang resistensi melainkan sangat frontal pada internal lingkungan kekuasaan sendiri akibat sensitivitas yang semakin meningkat karena gejolak perlawanan. Kekuasaan itu selalu menganut azas tunggal kebenaran dan azas tunggal keadilan. Sehingga siapapun tidak dapat bernegosiasi dan mampu menepisnya termasuk Pemilik kekuasaan itu sendiri. Karena kekuasaan yang terlalu berlebihan tidak akan sanggup dikendalikan oleh pemegang kekuasaan sendiri, sehingga egoisme dan aroganisme membanjiri sikap, perilaku dan pemikiran. Itulah kenapa kekuasaan harus diimbangi dengan nasehat kebenaran. Akan tetapi hal itu pun tak kan mampu mengendalikannya bila advice tidak memiliki impact yang signifikan. 

Bahayanya model politik anarkis ialah strategi politik untuk mematikan lawan dan kelompok yang bersebarangan dengan kekuatan kekuasaan, politik anarkis itu mencerminkan ketika berdebat ia mencaci, ketika berdialog ia sangat monolog, ketika dikritisi ia melakukan resitensi, ketika diingatkan dia justru menghantam, ketika diawasi ia menghabisi dan ketika jatuh ia menghancurkan segala yang ada. Politik anarkis itu bentuknya ialah berbeda pilihan dan pandangan politik akan tetapi melakukan kekerasan, melakukan persekusi, menebarkan ancaman bahkan intimidasi yang selalu dipolitisasi demi mengaja benteng pertahanan kekuasaan. Bermain playing victim, pembunuhan karakter, rekayasa aksi serta konfrontasi aksi adalah bagian dari model politik anarkis. Pendekatan model politik anarkis ini tidak spontanitas atau improvisasi, melainkan sistematis melalui sebuah mapping plan ataupun pemetaan perencanaan yang berjalan sinkron antara input-proccess-ouput. Cara kerjanya pun beragam dari mobilisasi massa, brainwatch, mengumpulkan segala sumber daya, strategi provokasi, aksi huru hara, dan kerusuhan massa. Semua berjalan sesuai perencanaan dan skenario yang bagian dari by desgin baik atas perintah, pesanan, dan program agenda. 

Bahayanya model politik anarkis tentu akan merusak, mencederai dan menghancurkan demokrasi sebagai sistem kekuasaan musyawarah model abad modern masa kini. Politik anarkis itu bagian dari agenda kekuasan untuk merekayasa situasi dan keadaan agar dapat memberikan rasa takut dan ancaman pada kelompok yang ingin resistensi kepada pemegang kekuasaan dengan cara soft, senyap dan sangat implisit. Permainan yang sangat politis sekaligus terkoneksi dengan operasi dan misi intelijen dalam menciptakan keadaan yang sangat tidak kondusif, stabil dan aman. Model ini dapat digunakan siapa saja dengan latar belakang apapun, hanya saja yang membedakannya ialah hasil dan efeknya ada yang akhirnya terbaca publik namun adapula yang tak mampu dibaca serta dianalisis oleh publik. Karena desainnya memang sangat senyap namun dampaknya sangat ril dan nyata terjadi di lapangan. Pelakunya bisa diambil dari latar belakang mana saja, asalkan terkena indikasi dan implikasi doktrin, paradigma dan dogma kekuasaan yang terlah diinjekkan kepada setiap kepala, otak dan pemikirannya. Hampir serupan dengan aksi terorisme namun tidak sekestrim dan seradikal itu. Karena anarkisme dilakukan secara sadar dan tahu arahnya. Sebab model politik anarkis ini ada kompensasi dan keuntungan sekligus manfaat yang didapatkan, bahkan jaminan perlindungan baik secara hukum ataupun secara ikatan non struktural akan dibela. 

Tentu bahaya sekali bila model-model politik anarkis ini terus dilakukan baik di musim politik ataupun di luar musim politik. Modusnya tentu selalu melakukam ajakan secara persuasif dengan adanya iming-iming, upah atau apapun bentuk pemberiannya karena memang digunakan untuk sebagai alat transaksi politik anarkis yang tidak sekedar cuma-cuma namun ada hitung-hitungan keuntungan dibaliknya. Modus dengan memobilisasi massa baik banyak atau sedikit besar atau kecil tetap bagian dari permainan model politik anarkis, hal ini memang sulit dibuktikan secara hukum namun keberadaanya sangat ril, nyata, fakta dan terasa realitasnya. Karena memang kekuatan permainan ini bagian dari mesin kekuasaan untuk mengokohkan benteng dan pondasi kekuasaan terhadap resistensi yang ada baik dari kalangan bawah ataupun atas. Situasinya memberikan kekacauan secara sosial dan budaya, akan tetapi secara politik di sisi lain menguntungkan dan di sisi lain pula merugikan. Tergantung bagaimana respon yang ada serta output dan outcome yanh terjadi, sebab bisa juga keluar dari rencana dan dari formasi atau plan2 yang ada. Nalar inetelektual dan akal sehat menjadi hal penting untuk mencegah skenario-skeneario dari permainan model politik anarkis yang sangat membahayakan ini, karena dapat merusak moralitas bangsa, intelektualis bangsa dan spritualitas bangsa.

Kamis, 30 Agustus 2018

Persekusi Bagian Dari Demokrasi


Oleh : Al Azzad 

Dalam demokrasi selalu ada perbedaan dan perbedaan itu dilindungi secara hukum bila memang tidak melanggar. Demokrasi itu ada yang oposisi atau di luar pemerintahan dan ada yang posisi atau berada di pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan atas kemenangan. Tidak sampai disitu pula, demokrasi menghadirkan situasi yang namanya persekusi kepada yang tidak sepemahaman, artinya perlakuan diluar tindakan hukum oleh individu maupun kelompok sebagai oknumnya. Namun demokrasi pun menghadirkan situasi ganda yakni intervensi kepada perangkat negara atau instrumen negara atau komponen negara untuk menghadang kelompok yang berbeda karena dinilai mengancam kekuasaan ataupun menggoyang kursi sekaligus singgasana kekuasaan. Sistem demokrasinya mungkin pilihan yang cukup baik, hanya saja manusia yang menjalankan sistem tersebut belum cukup baik baik secara intelektual, spritual, sosial, emosional, manajerial dan profesional. Karakter manusia yang berdemokrasi masih sangat jauh bahkan cendrung kontradiktif dan bertolak belakang dengan sistem demokrasi yang bangun. Sehingga demokrasi bagaikan sebuah sistem yang setiap kepala negara akan berbuah haluan sesuai dengan cita rasa model kekuasaan yang diinginkan. 

Idealnya dalam berdemokrasi ialah sepakat untuk tidak sependapat dan sepakat untuk tetap bermufakat menjunjung tinggi martabat demi situasi yang maslahat. Artinya tentu ada yang sepemahaman adapula yang bersebrangan, namun tetap taat hukum dan konstitusi yang dilakukan sesuai dengan aturan yang ada. Hanya saja saat ini alat demokrasi mulai lemah mengalami distorsi dan diskresi yang sangat jelas, menjadi jelas bahwa demokrasi akan lumpuh kepada kekuasaan dan negara tidak dapat memegang ideologi serat netralitas dalam mengayomi masyarakat yang berbeda pandangan. Sepertinya para pemimpin tidak belajar dari setiap pemimpin dan rezim terdahulu, bahkan malah melakukan replikasi dan duplikasi kejahatan demokrasi seperti sejarah masa lalu sebagai bentuk putusan yabg dianggap legal dan dilegitimasi. Demokrasi pun tidak hanya persoalam pada sistemnya, melainkan pada sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya dan tentu otoritas penuh kepada golongan penguasa yang memiliki kekuasaan atas kemenangan melalui kontestasi demokrasi. Di sanalah akan terlihat kepada siapa sistem demokrasi jatuh berada ditangan siapa dan bagaimana manusia-manusia itu menjalankan sistem demokrasi karena kemenangan atas kekuasaanya. 

Persekusi bagian dari demokrasi bukan hal baru dan bukan pula hal tabu. Sebab realitanya itu dibiarkan, dipertontonkan, diwadahi bahkan difasilitasi serta bisa disistemisasi sedemikian rupa melalui alat kekuasaan. Persekusi seolah menjadi alat penguasa secara implisit yang tidak diperlihatkan secara publik namun fakta dan realitasnya ada. Tentunya penguasa akan menghadirkan edukasi secara publik yang ditampakkan secara eksplisit dan jelas bahkan melalui media-media sebagai framing penambah cita rasa kemesannnya agar terlihat indah dan rapi. Persekusi adalah bagian demokrasi untuk membumkan kelompok bersebrangan dan untuk mengahantam golongan yang berbeda pandangan serta menghantam Individu yang kritis terhadap kekuasaan. Itulah kenapa perskusi menjadi halal, legal dan sangat aktual dalam demokrasi. Ini sudah tebrukti melalui sejarah di masa lalu baik ketika orde lama dan orde baru, mungkin hanya istilahnya saja yang belum lahir namun esensi dan substansi serta modelnya serupa. Bila tidak ingin mengambil resiko dalam keadaan ini maka dekatlah pada penguasa serta ikutalah berada dibarisannya dijamin aman serta mendapatkan perlindungan bahkan kekuatan untuk menekan atau mengintimidasi setiap lawan-lawan yang ada. Namun bila memilih untuk berjuang dalam keadilan dan kebenaran maka kritislah terhadap penguasa maka bersiaplah mendapatkan menu perskusi hasil demokrasi secara implisit atau bahsa lain secara tidak tampak, ghaib, dan tertutup. Karena yang kritis akan libas habis dan yang sinis pada yang kritis akan diperlakuakn manis. 

Menyampaikan pendapat, pandangan dan pemikiran yang berbeda di tempat umum secara publik adalah hak setiap warga negara sebagaimana pula bila menyampaikan yang membela atau mendukung adalah hak setiap warga negara. Hanya sjaa negara harus tetap menegakkan keadilan untuk dapat melindungi, mengayomi, dan memfasilitasi kepada kedua belah pihak yang bersebrangan secara adil, proporsional, dan profesional. Bukan bekerja hanya sekedar kerja, kerja, kerja tapi kerja karena tekanan intervensi atau kerja karena image atau pencitraan dan karena kerja untuk kepentingan korporasi dan kelompok lains sehingga membelok dengan janji dan komitmen. Melainkan kerja benar-benar bekerja secara totalitas yakni kerja integritas, cerdas, ikhlas, tuntas, spritualitas, dan profesionalitas. Bila hanya sekedar bekerja maka buruh dan tukang pun berkerja, bila hanya sekedar membela maka premanisme dan brutalisme pun saling membela dalam kejahatan. Jangan sampai negara mengambil musuh dari internal bangsa sendiri atau memusuhi anak bangsa karena perbedaan pandangan sehingga menggangap kawan setia pada negara asing yang hakikatnya ialah musuh besar dan ancaman besar negara. Meskipun di dalam kebangsaan sendiri adanya kelompok perusak, pengkianat, preman, penghancur dan sebagainya harus diadili secara hukum dan undang-undang yang berlaku.

Pesekusi bagian dari demokrasi bukan hal yang aneh lagi di mata publik. Karena begitulah adanya selalu menghadirkan kekacauan di masyarakat yang berlindung atas alat negara dan penguasa. Semakin frontal bentuk kritisisme personal dan kelompok maka semakin represif dan dekat persekusi kepadanya. Semakin eksplisit sinisme personal dan kelompok pada yang kritis maka semakin kebal hukum dan mendapatkan standar ganda kepadanya. Demokrasi otoriter pun dirasakan meskipun kemasannya melalui simbol dan slogan sederhana, merakyat dan pencitraan. Otoriter tidak melulu berlatarbelakang militer karena sipil pun berpotensi dan bukti sejarah telah banyak menceritakannya. Model demokrasi otoriter itu selalu dua yakni demokrasi otoriter secara mutlak yang artinya pelakunnya langsung terlihat sebagai pimpinan atas penguasa dan terlihat jelas. Kemdian demokrasi otoriter secara abstrak yang artinya pelakunya dibalik orangnya secara tidak langsung yang menajdi kendali dan sutradara dibalik layar. Maka persekusi telah menjadi budaya demokrasi yang mengakar secara radikal. Hal ini harus dihancur leburkan sebelum negara menjadi lemah dan hancur berantakan.

Rabu, 29 Agustus 2018

Ketika Negara Kehilangan Haluan


Oleh : Al Azzad

Krisis kepemimpinan negara sedang terjadi disaat demokrasi sudah mulai berbenah dari hari ke hari. Negara menjadi alat untuk menyalahgunakan kekuasaan menjadi sangat rentan bagi mereka pejuang kekuasaan secara absolute. Melabelkan diri diawal sebagai pejuang politik ternyata hanya sebuah citra dan image yang dibangun, karena misi ternyata menjadi pejuang kekuasaan. Pejuang kekuasaan sangat berdampak buruk terhadap kepemimpinan yang lemah, sehingga lebih cendrung untuk menghabiskan anggaran dengan mudahnya belanja negara. Selain itu sangat gampang memudahkan persoalan negara yang ada hingga akhirnya keputusan cendrung kontriversial dan blunder bahkan tidak ada impact substansial. Pengalaman mengurus negara ditingkat wilayah terendah bukan pula jaminan mampu mengelola negara pada wilayah yang sangat luas dan besar. Kemampuan terhadap memange institusi adalah hal yang sangat urgensi untuk merekonstruksi sebuah sistem dan aturan yang efektif serta efisien. Bukan hanya sekedar lelucon untuk sekedar menghibur dalam bernegara melainkan sikap egaliter dan elegan dalam menjalani persoalan dan problematika negara.

Dibalik perjuangan kekuasaan itu tipologi hanya ada dua yakni kekuasaan diatas kewenangan dan kekuasaan diatas kesewenang-wenangan. Hal yang sangat identik namun sangat jauh berbeda bila ditelah lebih detail. Akan berbeda karakter pemimpin yang orientasinya adalah kekuasaan diatas kewenangan dengan yang kekuasaan diatas kesewenang-wenangan. Tentu kekuasaan diatas kewenangan ialah yang mengerti hirarki hukum, konstitusi dan aturan perundang-undangan yang berlaku sehingga proses pelaksanaan dalam menjalankan tugas terarah, terukur dan terpercaya. Berbeda halnya dengan kekuasaan diatas kesewenang-wenangan akan sangat mudah untuk mencari celah hukum, konstitusi dan undang-undang sehingga sangat kontroversif, destruktif dan konfrontatif. Hal tersebut dapat dibaca melalui arah kebijakan yang ditawarkan ketika pada masa janji kampanye kemudian bertolak belakang realisasi dan implementasi ketika telah memenangkan kontestasi kekuasaan. Hal ini karena kehilangan orisinalitas pemimpin ketika membangun citra yang sangat berlebihan over image, over action, over policy. Lain dijanjikan lain pula yang direalisasikan, lain yang diucapkan lain pula yang dibuktikan, lain yang dibicarakan lain pula yang dimaksudkan begitu seterusnya. Sehingga nalar yang terbangun justru anomali dan nirnalar karena lemahnya etika kepemimpinan.

Ketika negara kehilangan haluan, maka yang terjadi ialah orang-orang yang berada dibelakangnya akan sangat mudah mengendalikan melalui invisible hand, secret intervention, exploitation policy. Sehingga tangan-tangan gelap, tangan-tangan Tuhan atau tangan-tangan setan akan merajalela menghisap kekayaan negara. Intervensi yang sangat rahasia dan tertutup sehingga publik tidak tahu sehingga tidak transparan dan cendrung mendisplaykan hal-hal remeh temeh demi menutupi kelemahan negara yang dikelola. Kemudian kebijakan eksploitasi pun terjadi karena kuatnya tekanan para pemain balik layar yang bisa dari latar belakang mana saja entah asing, aseng, mafia, korporasi dan sebagainya mengambil alih agenda kebijakan negara. Disitulah terjadi situasi ketika negara kehilangan haluan dan negara diserahkan bukan pada ahlinya, bukan pada yang komitmen, bukan pada yang amanah, bukan pula kepada yang memiliki nasionalisme dan patriotisme yang tinggi. Hal tersebut tidak boleh terus larut dibiarkan, tentu harus direbut kembali melalui jalan konstitusional yang dilegitimasi secara hukum. Keadaan seperti sangatlah berbahaya sangat rentan krisis dan potensi krisis akan dirasakan nantinya yang kemudian terjadi ketidakstabilan negara yang besar sehingga dapat memberikan ancaman.

Ketika negara kehilangan haluan artinya kekuasaan itu sedang berada diatas kesewenang-wenangan penguasa dan para pemimpin yang memiliki kekuatan diatas kekuasaan tersebut. Negara menjadi lemah yang mengakibatkan keadilan sulit ditegakkan, kesejahteraan yang tidak merata, kepercayaan yang semakin punah, keharmonisan yang terus ternodai, kedamaian yang semakin sulit diterapkan, dan kesatuan yang semakin terpolarisasi. Ketidakdewasaan pemimpin negara menjadi akar masalah ketika kekuasaan negara berda dipundaknya, akan tetapi malah sibuk untuk dipermainkan meskipun dengan cara bekerja. Ini yang namanya bekerja tidak visoner, bekerja non esensial, bekerja hanya sekedar rutinitas dan tuntutan dari skenario yang telah mengendalikannya. Beban negara sebetulnya tidak dirasakan olehnya melainkan oleh rakyatnya dan oleh para pemimpin yang lebih bertanggungjawab hanya saja tidaj dipercayakan diberi amanah sekaligus tugas kenegaraan disebabkan diserahkan kepada model dan tipe orang-orang yang ingin berkuasa dengan model diatas kesewenang-wenangan. Akan berakibat fatal dan memberikan efek buruk untuk masa depan negara serta kehidupan generasi selanjutnya dalam melanjutkan estafet kepemimpinan kenegaraan. Harus segera ambil tindakan dan sikap arif, bijaksana, egaliter, dan tegas melalui mekanisme yang sesuai koridor hukum.

Dengan demikian krisis keteladanan pemimpin dan hilangnya keadaban kepemimpinan dalam bernegara akan semakin besar. Sebab pemimpinnya saja dengan enteng mengampang-gampangkan sesuatu sehingga efeknya menjadi tidak sistematis, terukur dan transparan. Justru malah bertambah besar persoalan sekaligus probelematika negara yang tak kunjung ada jalan alternatif sekaligus bangunan solutif. Cendrung menghakimi orang lain yang lemah, menyalahkan kepemimpinan masa lalu, dan mengkambinghitamkan situasi global yang tidak ada kaitannya dengan model kepemimpinannya. Hal seperti ini tidak baik untuk membangun peradaban model kepemimpinan kebangsaan, karena secara tidak langsung mengedukasi generasi untuk semena-mena, sesukanya, sewenang-wenang, dan sesuai seleranya yang akhirnya banyak menabarak aturan hukum yang ada dan bahkan melawan rakyatnya sendiri serta menipis antar anak bangsa dengan imoralitas yang tidak disadari sangking bengisnya memimpin. Menjadi pelajaran sekaligus hikmah yang kelak tidak boleh lagi terjadi, agar segala sesuatu yang dibangun di negeri ini berdasarkan nilai spritualitas, nilai intelektualitas, dan nilai mentalitas yang mengacu pada filosofi bangsa. Karena memimpin negara itu untuk merepresentasikan rakyatnya, maka perlu menghadirkan kembali pemimpin yang memiliki niali identik sikap, perilaku, pemikiran, narasi, gagasan, pejuangan, dan pergerakan yang bukan haya terletak pada bungkus kemesan semata. Sehingga ketika negara kehilangan haluan, maka rakyat yang memliki jiwa, raga dan hati yang mulia akan mengingatkan, mengawasi, mengkritsi, dan menasehati pemimpinnya.

Selasa, 28 Agustus 2018

Mengenali Orang Dibelakang PresIden


Oleh : Al Azzad 

Selama ini publik hanya mengenali sosok presiden sebagai pemimpin negara pilihan rakyat dengan suara terbanyak. Kemudian mudah termakan oleh para juru bicara dan politisi partai yang memainkan isu sesuai kepentingan politik dan partainya. Presiden itu adalah pemimpin publik yang tugasnya sangat kompleks dan salah satunya ia realisasi program kerja melaui janji kampanye yang dulu dicanangkan dan disosialisasikan kepada rakyat. Membandingkan presiden yang bekerja dengan tokoh lain yang bukan pejabat publik dan pemimpin publik adalah hal yang salah kaprah dan tidak intelektual. Ada tokoh nasional non pejabat atau mantan pejabat dan ada pula tokoh nasional yang memiliki jabatan atau sebagai pejabat publik. Tentu sebagai pemimpin publik harus menerima segala macam kritikan dari rakyat baik yang solutif, konstruktif, alternatif bahkan yang konfrontatif atau destruktif sekalipun. Itu adalah konsekuensi presiden sebagai pemimpin negara yang memegang kekuasaan dan menjadi pejabat publik. 

Menjadi presiden porsesnya panjang dan tidak berkerja secara Individu ataupun sendirian. Akan tetapi melalui mekanisme politik yang cukup kompleks melalui partai politik serta dinamika politik lainnya. Tentu presiden dapat memenangkan kontestasi politik karena adanya orang-orang kuat, besar, mapan, elit, besar yang berada dibelakangnya. Orang-orang tersebut tentu jabatannya bukan paling atas atau paling strategis, namun mereka bisa mengisi di semua lahan-lahan basah, lahan empuk dan lahan profit yang sangat menguntungkan. Mereka lah yang disebut sebagai back up presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dalam menggunakan anggaran negara beserta segala kekuasaan, kewenangan dan kebijakan tentunya. Intervensinya bisa sangat kuat bila ia memiliki banyak partai koalisi pengusung yang ada di parlemen dan kabinet. Bukan berarti presiden bekerja sesuai keinginannya melainkan ada aturan yang lebih tinggi yakni undang-undang.

Mengenali orang dibelakang presiden adalah satu hal yang sangat penting selain hanya membanggakan, menyukai, menginginkan dan mengharapkan presidennya. Akan tetapi siapa saja orang yang mempengaruhi, yang melindungi, yang mengawal, yang menasehati, yang mengelilingi sekitar presiden itu sangat lah penting. Sebab bisa saja kelompok mafia, koruptor, penjahat, preman, bandar, atau dari mana saja yang berbeda-beda latar belakangnya. Sejarah telah banyak mencatat dari presiden pertama sampai ketujuh saat ini, presiden akan lemah sehingga sangat kontriversial, otoriter, krisis karena orang-orang yang dibelakang adalah para pengkhianat, perusak, pengacau dan penjarah aset bangsa. Orang yang dimaksud berada dibelakang presiden itu antara lain yakni dari partai mana, siapa ketua partainya, apakah dia ketua partai, siapa penasehatnya, siapa dukungan korporasinya, siapa konsultan politiknya, siapa investor program pembangunannya, siapa yang mempengaruhi arah kebijakannya, siapa kawan dialog politik kesehariannya, siapa yang mengendalikan arah pemikirannya, siapa yang menjadi lawannya sekaligus musuhnya, siapa yang disejahterakannya, siapa yang dilindunginya dan sebagainya. Agar publik memiliki tanggung jawab dalam memilih presiden yang dimandatkan untuk amanah menjalankan pemerintahan secara keseluruhan dari hulu sampai hilir dari pendukung, simpatisan, pengusung, pengawal dan seterusnya harus diketahui dan dimengerti. Agar publik tahu akan ke mana arah kebijakannya diimplementasikan. 

Jangan sampai hanya melihat dan meilih presiden hanya sekedar sloganistik dan simbolik atau Pencitraan entah karena terlihat sederhana, merakyat, ndeso, mapan, religious atau sebagainya. Sehingga tidak otentik dan tidak bersifat original bahkan orisinalitasnya sangat kontradiktif terhadap arah kepemimpinannya. Presiden mau tidak mau pasti akan memegang ideologi partainya atau partai yang memandatkannya jika bukan seoarang ketua umum partai. Memang dalam Demokrasi siapa pun bisa menjadi presiden, akan tetapi meilih presiden yang ideal juga bagian dari demokrasi substansial. Menjadi presiden akan menjadi panutan sebagaian rakyat dan publik. Model kepemimpinannya dan pemikirannya akan dilihat bahkan bila yang sangat minim intelektual akan terlalu mudah dan cepat menelan mentah-mentah apapun yang dipraktikkan serta perlihatkan presidennya. Sebab presisen pun akan merasa berhutang budi terhadap seluruh komponen yang telah memperjuangkanya sampai menuju kursi tertinggi negara. Presiden pun akan mengambil agenda orang-orang yang berada dibelakangnya yang telah menjadi back up tadi. Sebab biaya politik dalam sistem demokrasi itu tidak murah melainkan mahal tidak mudah melainkan susah tidak kecil melainkan besar tidak sederhana melainkan kompleks dan sebagainya. Hal itulah yang menjadi kan semua menarik dalam prebutan kontestasi presiden.

Satu hal yang pasti ialah ingat selalu istilah jangan membeli kucing dalam karung atau jangan membeli barang tanpa mengenal produknya. Semua harus jelas, pasti, valid dan benar adanya sehingga tidak salah dalam memilih secara bijak dan benar. Karena presiden itu representasi dari rakyatnya dan pemimpin itu teladan bagi masyarakatnya. Bila ia saja sebagai orang nomor satu misalkan melanggar hukum dan aturan maka begitu juga rakyatnya, bila ia keras kepala dan anti kritik maka begitu pula rakyatnya begitu seterusnya. Maka memilih presiden harus bijak dan mengetahui selu beluk, bibit, bebet, bobot dan seluruh informasi pemimpin itu perlu dan penting. Rekam jejak, rekam pendidikan, rekam karir, rekam pemikiran, rekam digital dan rekam kehidupan lainnya. Agar memiliki presiden yang amanah, jujur dan menjadi teladan yang baik bagi rakyatnya.

Sabtu, 25 Agustus 2018

Kritik Terhadap Pejabat Publik


Oleh : Al Azzad 

Masyarakat publik maupun netizen sering kali tidak memahami konteks terhadap tupoksi atau tugas pokok dan fungsi dari institusi maupun para pemimpin serta pejabat publik. Asal kritik dan asal berkomentar yang sifatnya justru omong kosong dan tidak konstruktif bahkan menjerus pada fitnah sekaligus cacian yang tidak esensial. Antara yang dikritik maupun orang yang dikritik pun malah jauh, sedangkan para pemimpin, pejabat dan tokoh yang sedang mengemban amanah sebagai pejabat publik lah yang semestinya dikritik terhadap kinerjanya bukan malah orang-orang yang bukan mengembang amanah kepemimpinan publik. Bahkan simpatisan atau para pendukung pejabat publik ini sangat fanatik, sehingga anti kritik dan dianggap sebagai pelaku ujaran kebencian, kaum radikal serta fitnah. Aneh tapi nyata, peradaban manusia yang semakin bergeser tanpa makna akibat dari imoralitas yang merajalela dan degradasi kepemimpinan akibat dari hasil polesan yang tidak lagi otentik alias semua diatur dengan dikemas sedemikian rupa layaknya lakon sandiwara teater suatu drama. Masyarakat publik dan netizen mulai bergeser nilai sosial dan nilai aktivis dalam dirinya yang pada akhirnya terjebak pada narasi bungkus kemesan bukan isi dalam kemesan tersebut. 

Semestinya bagi para aktivis sosial, aktivis sosial media dan aktivis keadilan penggerak demonstrasi menyadari bahwa para pemimpin publik, pejabat publik dan  pemerintahan itu harus diawasi, dikontrol, dan dikritik terhadap kekurangan dan kelemahan. Namun tidak pula cepat puas hati terhadap hasil kinerja pejabat publik, sebab akan selalu ada kelemahannya yang ditutupi oleh para pejabat publik. Ini yang dinamakan masyarakat peduli pemerintahan demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan. Akan tetapi etika dan moralitas harus dijaga, sehingga yang dikritik ialah kinerjanya bukan justru pribadinya. Sentimen terhadap kinerja pejabat publik itu bernilai positif sedangkan sentimen terjadap pribadi atau privasi pejabat publik itu sangat negatif. Hal yang aneh yang sering didapat khusus bagi masyarakat sosial media ialah banyak kritikan yang dillontarkan justru kepada orang-orang atau tokoh yang bukan pejabat publik, artinya kepada orang-orang yang sedang tidak mengemban amanah bahkan bukan pelaku pemerintahan bukan praktisi publik. Hal tersebutlah akhirnya membuat para pejabat publik merasa diuntungkan sehingga memproduksi buzzer alias mesin sosial media untuk menyerang orang-orang yang mengkritiknya sehingga para aktor pejabat publik layaknya seorang yang suci, anti kritik, otokritik dan sangat represif. Nalar publik semakin lemah dan jatuh ke jurang nalar pembelaan serta pencitraan semata. 

Kritik terhadap pejabat publik itu adalah bagian dari demokrasi untuk melihat kinerja dan hasil pemimpinnya yang telah dimandatkan serta dipercayakan untuk menjalankan roda pemerintahan sebagai amanah yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Berapa banyak para aktivis yang vokal, yang lantang bersuara, yang menjadi aktor kritik bahkan sebagai pengawas pemerintahan diluat struktural pemerintahan menjadi bulan-bulanan yakni menjadi tersangka diseret sehingga terjadi pembungkaman terhadap para aktivis. Pejabat publik itu ialah penguasa pemerintahan yang memiliki kekuatan secara hukum dan institusi sehingga penyalahgunaan kekuasan tentu sangat rentan. Tugasnya ialah memberikan pelayanan terhadap publik demi memberikan keadilan, kesejahteraan dan kedamaian. Mengayomi seluruh elemen dan kalangan tidak berlaku diskriminatif apalagi Interventif terjadap yang tidak sejalan. Bila tidak adalagi suara dan vokal kritik terhadap pejabat publik, maka potensi penguasa tirani, otoriter dan fasis akan mewabah di setiap institusi pemerintahan publik yang tugasnya untuk melayani publik. 

Lihatlah bertapa menyedihkan negeri ini, justru kritik dan hujatan tertuju kepada tokoh nasional diluar pemerintahan atau orang yang tidak mengemban amanah sebagai pejabat publik atau bahkan kepada para aktivis yang vokal penegak keadilan dan pengawal kesejahteraan publik. Sehingga masyarakat kehilangan keberanian sebagai bentuk pondasi demokrasi yang ditakut-takuti oleh penguasa dengan instrumen negara dan institusi negara. Seolah-olah pejabat publik adalah raja yang sangat berkuasa dan tidak dapat disentuh dengan apapun. Publik dan masyarakat menjadi buta bahkan dibutakan dalam berdemokrasi sehingga menghilangkan akal sehat, nalar publik dan kontrol publik atas penguasa sebagai pejabat publik. Justru masyarakat dan netizen kebbanyakan jumlah dan volumenya ialah sebagai tameng penguasa, benteng pertahanan penguasa, buzzer penguasa, supporter penguasa bahkan pasukan pembela penguasa yang tidak boleh dikritik atau didemonstrasikan. Justru yang ada dipaksa menerima pencapaian hasil kinerja dan penyambung lidah penguasa bukan lagi penyambung lidah rakyat terhadap penguasa dalam hal ini merekalah yang menjadi aktor pejabat publik. 

Tentu nilai-nilai perjuangan demokrasi di ranah aktivis sosial dan aktivis sosial media mulai luntur serta hilang dalam perjuangan suara-suara kebenaran melalui kritikan dan saran bahkan masukan. Pejabat publik bukanlah Tuhan yang seolah-olah menjadi penguasa mutlak atas mandat rakyat yang telah memilihnya bukan pula nabi pemerintahan yang membawa risalah kebenaran mutlak pula serta bukan pahlawan pengusir penjajah yang darah, nyawa, harta, benda dan keluarganya dikorbankan. Karena yang ada semuanya akan didapat oleh pejabat publik sebagai bentuk fasilitas dan instrumen pejabat publik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Pergeseran nilai semakin hari semakin merosot dan jatuh pada ketidakadilan. Sehingga barang siapa yang justru vokal dan lantang pasang badan dan lantang bersuara secara vokal membela membenarkan, serta mendukung secara mutlak terhadap penguasa pejabat publik maka amanlah hidupnya nyamanlah aktivitasnya bahkan berlimpahlah pendapatannya. Sehingga barisan pengawas pejabat publik akan hilang dan pudar serta dibully rame-rame oleh buzzer pejabat publik maupun ditekan rame-rame oleh pasukan pembela pejabat publik yang sifap untuk menerumuskan ke ranah hukum, penjara dan pembunuhan karakter. Hilanglah semua akal sehat dan hilanglah kebenaran melalui paradigma rakyat tentunya kehilangan kebenaran melalui kaca mata rakyat kecil rakyat lemah. Merajalelah semua kebohongan dan semua kediktatoran para pejabat publik di setiap institusi strategis yang mengemban amanah rakyat yang terbaikan.

Tenggelamnya Gaya Politik Pencitraan

Oleh : Al Azzad  Ada masa dimana dulu demokrasi sempat heboh dengan model politik pencitraan yang dikemas apik sedemikian rupa. Dit...