Oleh : Al Azzad
Indonesia merupakan negara damai yang artinya negara tidak lagi dalam masa peperangan secara fisik terhadap apapun dan siapapun. Peperangan fisik negara ini hanya pada masa melawan penjajah dari portugis, belanda dan jepang akan tetapi sangat kental pada Hindia Belanda. Hal tersebut dikarenakan Indonesia negara yang sangat menjunjung tinggi perdamaian dunia, dengan begitu akan sangat kuat menjaga negara sendiri terhadap konflik apapun sehingga perdamaian di rumah sendiri lebih terjaga dan terkendalikan. Semua agama yang sah pun mengajarkan kedamaian di negeri Indonesia yang tercinta ini tidak dengan permusuhan, peperangan dan perpecahan. Karena itulah kedamaian begitu sangat mahal dan berharga untuk terus ditegakkan dan dijaga sebaik-baiknya agar menciptakan suasana harmonis dan humanis antar umat beragama, antar sesama bangsa dan antar negara-negara.
Fenomena di era digital ternyata masih mendapatkan titik lemah, dengan adanya realita tentang Radikalisme sebagai diskursus hingga sampai menjadi sebuah ancaman serius yang dianggap sebagai ideologi atau pemahaman yang mengajak pada tindakan kekerasan dan kehancuran. Radikalisme yang memiliki makna sebagai bentuk pemahaman yanh sangat mengakar tajam dan kuat menjadi kambing hitam seolah merupakan pemahaman yang mengancam dengan adanya bentuk pemberontakan dan kudeta atau gerakan revolusi untuk merubah ideologi negara layaknya paham Komunisme yang telah resmi dikarang akibat beberapa pemberontakan yang telah dilakukan secara nyata. Isu radikalisme ini sangat kental dan mengarah pada satu agama dalam konteks negara Indonesia, disadari atau tidak, suka atau tidak maupun benar atau salah sangat jelas Radikalisme dikaitkan kepada agama Islam karena mayoritasnya. Sehingga lupa bahwa Radikalisme ini tidak hanya pada satu agama melainkan pada agama lain, sebab ini lebih mengarah kepada pelaku, individu dan kelompok yang jelas berbeda dengan agama adapun ada cap agama biasanya hanya sebatas lebel agama yang memilih sebagai warga negara yang sah. Dalam Dunia intelektualitas bahwa berpikir secara radikal adalah bagian dari pengembangan diri dan bentuk mencapai tingkat pemahaman dari sisi intelekual. Seolah-olah Radikalisme adalah virus yang akan mengancam negara. Paham Radikalisme sebagai gerakan kelompok bila dianalisis tidak ada kaitannya untuk mengancam negara, memberontak negara dan mengkudeta atau mengahncurkan negara. Adapun dapat meresahkan masyarakat memang benar adanya sama halnya sebenarnya dengan anarkisme tentunya. Defenisi, istilah, pengertian serta arti Radikalisme masih sangat multi interpretatif, sehingga Radikalisme ini apakah termasuk makna dari Radikalisme-Islam, Radikalisme-Kristen, Radikalisme-Budha, Radikalisme-Hindu, Radikalisme-Kong hucu ataukah Radikalisme lainnya. Sehingga Radikalisme dalam hal ini menjadi fenomena yang lahir dari konteks agama dan keagamaan. Berbeda dengan anarkisme yang sangat kental dalam aspek sosial sebagai bentuk masyarakat dikuar batas yang melakukan kekerasan untuk merusak, mengahncurkan, mengganggu dan meresahkan. Fenomena Radikalisme ternyata hanya sebatas alat dan cara untuk meng-counter kelompok lain secara legal atas nama hukum dan konstitusi.
Lain halnya dengan Terorisme yang sangat jelas keji, apalagi sampai memakan korban dan memberikan ancamaan pada masyarakat terhadap rasa takut. Terorisme yang merupakan paham tentang teror yakni membuat ancaman melalui teror dengan menghadirkan suasana menakutkan, kerusakan, kehancuran dan lain sebagainya dengan berupa alat, media dan instrumen lainnya dari yang lunak sampai yang keras bahkan ekstrim. Bila memang Terorisme adalah ancaman bagi masyarakat sebagai kejahatan kriminal maka harus ditindak secara hukum, namun bila ancaman terhadap negara maka sudah sepantasnya pula dihancurkan dengan komponen negara yang lebih berwenang untuk menanganinya. Fenomena Terorisme di era digital ialah selalu dengan motif adanya pemboman dari bom bunuh diri dan motif bom lainnya. Sehingga yang selalu menjadi pertanyaan adalah Terorisme ini bila memang sebuah gerakan maka tentu ada dalang dan otaknya yang dalam hal ini tentu saja memliki pengaruh besar terhadap kepentingannya yang bisa saja dari mana pun keberaannya. Sebab, Terorisme tidak pernah tuntas diungkap sampai pada akar rumputnya hanya telrihat pada konteks kejadian peristiwa baik fenomena korban dan pelaku yang itu pun masih tanda tanya. Terorisme ini seperti halnya kriminalitas lain yang tak pernah terungkap tuntas bial memang sebuah gerakan pemberontakan secara terbuka. Mafia teroris, mafia narkoba, mafia sumber daya alam dan mafia-mafia lainnya pun tidak diketahui. Yang publik tahu hanyalah para pelaku kelas bawah yang dikaitkan dengan kemiskinan dengan iming ekonomi untuk mendapatkan uang. Bila memang Terorisme adalah sebuah pemahaman yang mengacu dan mengarah pada pemberontakan dan mengancam ideologi negara baik secara individu maupun kelompok atau organisasi maka sudah seharusnya dibubarkan dikecam sesuai hukum, konstitusi dan undang-undang.
Fenomena Radikalisme dan Terorisme menjadi tidak salah bila sebagian Publik mengasumsikan sebagai bentuk rekayasa intelektual yang diframe menjadi isu untuk mengancam yang tampilkan dan ditampakkan secara publik. Sebab, manusia mana, individu mana dan kelompok mana yang berani melakukan hal ini bila tidak dengan adanya kekuatan baik secara institusi maupun secara agenda akan sangat mustahil bila hanya kalangan bawah atau aulit melakukan dengan pemikiran yang sangat besar dalam melakukan ancaman. Maka proses doktrinisasi, tumbalisasi, iming-imingisasi maka tidak mungkin para pelaku yang hanya orang biasa atau golongan aulit kalangan bawah akan nekat dan berani melakukan hal ini bila tidak ada sebabnya dan bila tidak ada intimidasinya. Karena gagasan dan paham baik Radikalisme dan Terorisme itu semestinya lahir dari otak intelektualis dan otak revolusionis yang sangat ekstrimis dan kejam. Sebab ia akan sangat jelas memahami rumpunnya dari defenisi, istilah, tujuan, sasaran, target, proyeksi, kekuatan, eksistensi dan ain sebagainya. Terorisme menajdi salah satu alat, metode dan cara efektif untuk membangun isu yang kemudian akan dikaitakan dengan agama, kemanusiaan dan kenegaraan. Tentu paham ini menjadi alat sekaligus sebuah gerakan programatis yang sistematis runtutannya bai ruang, waktu, aktor, biaya, output dan impact.
Langkah dan sikap yang dilakukan untuk memahami fenomena Radikalisme dan Terorisme tidak hanya sebatas sikap empati semata. Melainkan langkah konkrit, langkah strategis dan langkah interventif untuk menghadapi dalang, aktor dan penebarnya baik Individu maupun kelompok. Pentingnya stabilitas yang mesti harus disadari oleh seluruh elemen tidak hanya pemerintah dan juga sangat penting untuk mengontrolnya bahkan meredam rencana aksinya. Karena tidak mungkin ada kejahatan yang tidak diciptakan, dan kejahatan akan selalu ada selama kejahatan itu tidak pernah menguasai bahkan menguasai dunia pun akan terus melakukan kejahatan. Tentu bila telah memakan korban nantinya upaya humanisasi baik empati, belasungkawa, dan kesadaran sosial untuk memberikan dukungan dan upaya menghibur bagi keluarga korban. Humanitas harus selalu dijaga sebagai nilai kemanusiaan dan hamonitas adalah tujuannya sebagai bentuk menjaga harmoni kedamaian antar sesama.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar