Oleh : Al Azzad
Fenomena menarik yang telah terjadi di Indonesia hasil dari pileg dan plipres tahun lalu serta terus berlanjut hingga tiada ujungnya. Demokrasi sebagai sistem negara yang disepakati bersama menjadi wadah dan alat untuk dapat melakukan kontestasi dalam bersaing menuju pintu dan kursi kekuasaan. Berbagai sarana, prasarana, media, alat dan instrumen dilakukan sebagai bentuk cara maupun metode untuk mendapatkan dukungan sekaligus suara yang mengantarkan langkah menuju singga sana kekuasaan dalam pemerintahan baik di legislatif dan di eksekutif. Berita di media mainstreem dan sosial media pun menjadi sumber informasi publik yang dapat dipetakan setidaknya tiga kategori yakni rakyat kecil, rakyat menengah dan rakyat elit. Semua memili peran, posisi dan kepentingannya masing-masing.
Namun telah terjadi realitas yang buruk serta dapat merusak iklim intelektual maupun budaya dialog. Bangsa yang kehilangan substansi dalam memahami politik sehingga secara membabi buta melakukan pembelaan sehingga kehilangan nalar kritis, nalar intelektual dan nalar dialog. Saling serang dengan tuduhan opini yang tidak berdasar hanya sebatas asumsi negatif sehingga berlomba memunculkan stigmatisasi untuk meraih keberhasilan dalam mempertahankan popularitas serta kepentingan. Menghalalkan segala cara menjadi aktivitas keseharian yang akhirnya menjadi budaya baru di bangsa ini serta berusaha dikawinkan dengan bungkus agama sesuai interpretasi aktor, pelaku, subjek dan tokohnya. Semua dimainkan untuk menunjukkan siapa paling benar dan siapa yang paling salah. Itu terus terjadi selama kewibawaan pemimpin hanya sebatas retorika pendek sekaligus minim retorika demi menepis segala pertanyaan dan tudingan.
Adanya fenomena kelompok yang terpecah serta mengakar membentuk lingkaran baru secara legal dilandasi dengan kekuatan hukum serta menjadi perpanjangan tangan kekuasaan bahkan salah satu alat Mencapai level tertinggi dalam mencapai kekuasaan dengan mengeksploitasi nalar rakyat kecil dan bawah sebagai bentuk doktrin baru, perspektif baru dan paradigma baru. Sehingga polarisasi pun terjadi dan pecah layaknya telur jatuh, gunung meletus, dan cerimin terlempar yang merusak nalar intelektual seluruh pemhaman kebangsaan. Dua kubu antar kepentingan saling serang secara misterius tidak transparan, menajdi individu yang kehilangan identitas dan jati diri tidak lagi inklusif bahkan menjadi anonim rekayasa serta layaknya profesi intelijen yangs sedang menyamar. Bila peperangan dan kontestasi kehabisan bahan serta materi maka akan sampai pada puncaknya yang sangat destruktif yakni dilakukan secara anarkis, ekstrim dan teror.
Kaum intelektualis, cendikiawan, ilmuwan tak banyak bergerak dan bersuara justru ikut melebur dan jatuh dalam jurang polarisasi yang berberda-beda latar belakang nya dimulai dari karena transaksional, kesamaan kepentingan, dendam masa lalu, membangun popularitas, jam terbang, panggung publik dan motif lainnya. Tentu hal ini terjadi sangat memprihatinkan, apalagi polarisasi terjadi yang kemungkinan besar ialah faktor finansial, materi, ekonomi, profit, dan sebagainya yang tak lagi terbendung. Seharusnya bangsa ini kembali ke jalur nalar logis yang dapat membangun akal sehat sehinga terjadinya integrasi akal dan hati serta keseimbangan logika dan perasaan yang tulus sejati. Bukan karena faktor permainan seperti aktivitas anak-anak yabmh sedang bermain serta rebutan mainan, namun aktivitas yang melakukan permainan secara fair, sehat, normal dengan cara progresif dan konstruktif.
Narasi yang diciptakan di tengah realitas polarisasi sosial ini tak akan pernah objektif maupun logis, namun selalu terlihat kesalahan fatal, rekayasa nyata, fatamorgana politik, budaya anomali, dunia terbalik, dogma interventif, situasi monolog, dikotomi sejarah, minim akal, destruksi intelektual, rendahnya literasi dan sebagainya. Hal ini menjadi budaya baru yang sangat buruk jauh dari nilai, filosofi dan norma yang akibatnya ialah anak bangsa kehilangan nalar intelektual yang progresif. Dilakukan terus berulang-ulang, didaur ulang kemudian diviral-viralkan, dan disebar kemudian diterus-teruskan. Akhirnya sulit membedakan mana kebenaran mana kebohongan, mana nilai positif mana nilai negatif, mana logis mana non logis, mana yang cerah mana yang buram, mana valid mana hoax, mana objektif mana subjektif dan seterusnya. Sampai pada titik kemunculan apatisme di semua lini serta pesimisme kebersamaan dalam perbedaan yang telah menjadi bentuk polarisasi ektrim budaya buruk di era milenial.
Perlu langkah konkrit dan strategis untuk menyelesaikan masalah ini dengan mengubur egosentrisme kepentingan di semua level, kepentingan, elemen, dan kelompok dengan menhadirkan narasi baru budaya baru yang lebih dinamis. Moderasi secara intelektual sangat penting dalam menyikapi fenomena polarisasi yang dapat merusak nalar intelektual ini, jangan sampai kehilangan logika hanya karena hal-hal yang sifatnya sesaat, sementara dan tidak esensial namun efeknya memberikan destruksi kebangsaan. Karena perlu membangkitkan kembali budaya literasi, minat baca, penelitian, diskursus kebangsaan yang sehat dan berkemajuan serta lainnya. Yang hal ini juga harus dilakukan secara kontiniyu terus menerus untuk meng-counter sekaligus membendung bahkan mengubur dampak dari polarisasi yang hanya karena aspek Politik yang di support secara ekonomi dan bisnis namun efeknya justru amoral, buruk dan lemah. Sebab masih banyak narasi produktif lainnya yang dapat memberikan kemajuan dengan dasar nalar intelektual untuk dapat mencerdaskan kehidupan bangsa dengan secerdas-cerdasnya, semaju-majunya dan sehebat-hebatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar