Kamis, 07 Juni 2018

Politik Ulama Yang Bermartabat


Oleh : Al Azzad 

Dinamika kebangsaan sedang mengalami polarisasi sehingga terbelah dua dan ini bersumbu pada nilai subjektivitas yakni mengarah pada fanatisme ketokohan yang sudah kelewatan batas. Tidak salah memang bila penokohan pada Seseorang yang dianggap memiliki integritas yang tinggi, berjiwa besar, cinta tanah air dan memiliki semangat perjuangan. Akan tetapi bisa menjadi salah bila ia jauh dari hal itu yang justru menjadi telada buruk bagi pengikut dan penggemarnya. Sikap, perilaku, tingkah yang tidak etis, tidak bermoral dan tidak berakhlak selalu ditampakkan karena merasa memiliki kekuasaan atau kekuatan secara politik dan hukum. Sampai tidak habis pikir lagi akan terjadinya nalar intelektual yang melemah, budaya dialog yang alot, perdebatan tanpa akhir, penyebaran fitnah yang semakin besar, framing pembunuhan Karkater terus dipublikasikan, dan kepentingan-kepentingan dibungkus untuk kepentingan individu atau satu kelompok saja. 

Fenomena ini ternyata tidak hanya terlihat pada rakyat yang hanya sebatas pengikut, penggemar dan pembela melainkan juga telah terjadi pada tokoh-tokoh kebangsaan baik yang beraliran humanis, beraliran revolusionis, beraliran islamis dan sampai beraliran komunis maupun liberalis. Dalam hal ini ada framing publik yang dibangun dan diciptakan untuk membunuh karakter ulama, mengkambinghitamkan ulama, kriminalisasi ulama, memecah persatuan ulama yang menjadi opini publik dari pihak-pihak tidak bertanggungjawab dan kebanyakan melalui tangan-tangan konspirator dan penguasa gelap. Sehingga dalam hal ini rakyat yakni umat Islam pun terpecah dan terus diadu domba yang konteksnya pun sudah tidak lagi pada masalah Furu'iiyah atau perbedaan Pemahaman dan amalam dalam beribadah. Akan tetapi telah bergeser menjadi perdebatan pemilihan ulama yang tegambar pada Ulama Sholih dan Ulama Su' atau Ulama Politik dan Ulama Transaksional Politik, Ulama Rakyat atau Ulama Pejabat, Ulama Para Ummat atau Ulama Para penguasa yang semua sangat berbeda perannya.

Politik Ulama yang bermartabat ini adalah Ulama yang jelas, tegas dan komitemen dengan Amar Ma'ruf Nahi Mungkar serta sangat peduli dengan masalah politik dan kebangsaan. Politik ulama ini tentu bukan seorang politikus yang berada dalam partai atau pemerintahan baik di legislatif maupun di eksekutif. Ulama tersebut tidak berprofesi sebagai politikus, melainkan peranan hidupnya sangat kuat dengan aspek politik demi menyalamatkan ummat dari kesewenangan Penguasa melalui kebijakannya, manuver politiknya dan kepentingan yang disalahgunakan. Ulama yang seperti ini jelas sangat bermartabat, berkelas, berkomitmen yang tinggi menjadi tonggak perubahan umat, pengawas peguasa, dan peduli kebangsaan. Tentu sangat berbeda dengan ulama yang tidak berpolitik artinya yang hanya mengayomi umat dengan urusan ibadah mahdhoh dan keakhiratan semata. 

Perbedaan antara Politik Ulama yang ikut serta melihat dan memandang politik adalah Ulama yang tingkat kesadarannya tinggi untuk menyelelamatkan negeri dan ummat. Di dalam kehidupannya tidak hanya memberikan pencerahan ilmu agama saja apalagi urusan ibadah mahdoh, melainkan juga membahas tentang politik dan dinamika kebangsaaan sehingga mencerdasakan ummat dari politik busuk para pejabat serta penguasa jahat yang tidak pernah membawa agenda Islam serta Nilai Islam di dalam pemerintahan mengurus negara. Memang ada pula Ulama yang tidak Berpolitik dan bahkan tidak pernah membahas politik dalam kesehariannya karena mengajak pada kelimuan keagamaan. Namun Ulama yang tidak Berpolitik justru barisan itu pula yang tersentuh dan terkontaminasi politik melalui transaksi politik. Ulama yang tidak Berpolitik akan mengarah pada Ulama yang bertransaksional politik membangun kepentingan bersama pejabat dan penguasa dengan kontrak politik untuk mendapatkan keuntungan dan saling menguntungkan. Sehingga konsekuensi penuhnya adalah mendukung, membela, dan mengapresiasi pemerintah secara maksimal tanpa ada lagi kritikan dan masukan. Sehingga ulama tersebut secara prinsip memang tidak Berpolitik namun secara kultural, etika, sosiologis menjadi Berpolitik praktis secara tidak langsung karena akan mendapatkan program pemerintah termasuk alokasi dana maupun perlindungan hukum serta keuntungan politik lainnya. 

Jadi sangat jelas bahwa ulama yang berpolitik oada dasarnya adalah fenomena politik ulama yang bermartabat artinya bahwa tidak tersentuh dan terkontaminasi oleh transaksi politik sehingga sangat tegas, independen, berprinsip yang tinggi dan berkelas. Ia akan terus senantiasa mengontrol para Umaro yang telah menyalahgunakan kekuasaan apalagi tidak membawa nilai dan agenda Islam. Meskipun Ulama ini memiliki pilihan bila pilihan Umaro nya menjadi penguasa dan terbukti zolim maka dengan tegas pun akan dilawan bahkan dikritik dan tidak akan pernah menerima bantuan politik secara transaksional politik sebab sangat independen dan mandiri. Justru Ulama yang bermartabat dengan kesadaran politik inilah yang menjadi panutan sehingga tidak menjadi pengawalnya penguasa meski sedang benar, salah, zolim, otoriter akan tetapi diluruskan, dikritik dan dikawal bukan malah dibela mati-matian akibat efek kontrak politik secara transaksional.

Framing tentang syahwat politik meraih kekuasaan ini sebenarnya sebuah narasi yang diciptakan agar Ulama tak perlu membahas politik cukup membahas agama saja dan hanya masuk dalam transaksi politik agama saja. Sehingga pemisahan urusan negara dan agama dijadikan isu untuk meninggalkan Ulama yang menganut politik secara bermartabat. Justru politik ulama yang bermartabat ini adalah jalan keikhlasan, jalan perjuangan, jalan kekuatan umat Islam dan jalan independensi serta kebebasan umat yang terjaga atas Nilai Islam. Sehingga tidak akan tergadaikan prinsipnya harnya karena tidak Berpolitik tetapi justru masuk dalam lingkar kepentingan politik secara transaksional sehingga memiki beban politik dan beban moral untuk terus mendukung meski sangat kontriversial dengan umat secara umum dan bukan secara hanya satu kelompok dan sangat blunder penguasa yang terus ditutupi. Ulama yang tidak Berpolitik justru masuk dalam agenda perdagangan agama atas nama kepentingan satu keompok saja terhadap penguasa yang didukungnya dan menjadi pengawal serta pembelanya. Padahal independensi Ulama lah yang harus ditegakkan sehingga tidak akan kena jerat dalam kepentingan transaksional politik. Salah kaprah dalam membaca, melihat dan memandang Ulama yang berjuang dalam Politik kebangsaan demi tegaknya nilai Islam dan padahal tidak sedang Berpolitik praktis apalagi transaksional. Namun justru melihat Ulama yang tidak Berpolitik namun terjebak pada kepentingan transaksional politik. Lebih mulia Ulama yang sama sekali tidak berjuang dalam aspek politik dan tidak Berpolitik transaksional akan tetapi tidak akan dapat memberikan perubahan besar umat secara kekuasaan, Kebijakan, dan kewenangan. Karena justru yang diinginkan adalah Ulama yang berpolitik untuk meluruskan yang bengkok, dan tetap independensi dalam memperjuangkan kebeneran dan Nilai Islam di setiap agenda negara dan pemerintahan. Sejarah membuktikan bahwa politik ulama yang bermartabat adalah ulama yang berpolitik dan berjuang dengan tegas dan berani namun tidak terjebak pada kepentingan transaksional politik.  Meski tidak Berpolitik namun terjabak dalam lingkar penguasa inilah yangs sesang marak dan berkembang di tengah umat sehingga umat hanya dijadikan alat untuk perpecahan, perdebatan,Konflik dan keributan yang tak bermutu lagi berkualitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tenggelamnya Gaya Politik Pencitraan

Oleh : Al Azzad  Ada masa dimana dulu demokrasi sempat heboh dengan model politik pencitraan yang dikemas apik sedemikian rupa. Dit...