Senin, 09 Juli 2018

Membangun Semangat Budaya Literasi


Oleh : Al Azzad 

Semakin canggih teknologi dan informasi tidak berarti semakin tingginya peradaban manusia dan yang ada justru sulitnya terbangun budaya literasi dari generasi ke generasi.  Budaya instan sekaligus konsumsi informasi sangat mudah dan cepat namun hanya sebatas kenutuhan singkat. Informasi pun tak selamanya benar sebab informasi negatif, hoax, palsu juga lebih mudah diterima keberadaanya disebabkan mengandung unsur kontrovesi, reaksi, responsif dan viral yang sangat konfrontatif. Untuk mencerna banyaknya informasi yang bertebaran sekaligus bemunculan adalah dengan nilai literasi sebagai bentuk cara, metode, ukuran, baro meter untuk dapat mengoreksi informasi secara benar. Informasi baik dari berita, sejarah, peristiwa, kejadian, fenomena dan apapun itu tentu harus melewati beberapa tahapan seperti adanya usaha untuk melakukan koreksi, usaha melakukan cros cek, usaha konformasi, usaha tabayun maupun usaha lainnya dengan analisis secara ilmiah maupun empiris. 

Informasi yang sedang marak dewasa ini adalah melalui sosial media baik itu facebook, wa, tiwitter dan instagram yang paling popular bahkan media-media mainstream atau media kredibel atau legal pun bisa terjebak melakukannya baik sengaja atau tidak disengaja. Namun informasi hoax selalu memberikan suasana yang tidak harmonis dan membawa semangat kerukunan juga akan terus menghilang. Masyarakat dunia maya atau disebut netizen pun banyak yang terjebak dengan informasi hoax yang terus merajalela. Bahkan sebagian mereka menjadi produsen informasi hoax demi mendapatkan keuntungan secara finansial ataupun kepentingan lainnya. Sekalipun adanya undang-undang ITE tidak membuat mereka ketakutan atau lumpuh, karena hukum pun terkadang tidak menjunjung nilai keadilan. Artinya kepastian hukum yang lemah dan keberpihakan hukum pada Individu dan kelompok tertentu sangat besar. Terkadang informasi hoax juga bagian dari resistensi terhadap ketidakadilan bahkan menjadi alat kekacuan sosial baik di dunia maya maupun nyata. Ini juga karena lemahnya budaya literasi pada netizen dan masyarakat karena terlalu ektrim pada hal-hal yang instan serta apatisme yang tinggi. 

Tingkat kecerdasan manusia ternyata tidak lagi diukur dari segi budaya literasinya melainkan dilihat dari segi kreativitas instan yang membangun fenomena eksistensi dengan cara viralisasi dari berbagai macam bentuknya. Cerdasnya hanya melihat paradigma digital yang hanya melihat berita dari setiap kejadian namun tidak cerdas dari mengukur berita tersebut melalui jalur yang benar untuk mendapatkan substansi informasi yang bertebaran, berceceran dan bertaburan luas yabg dengan mesin-mesin aplikasi dapat diakses dengan mudah tanpa adanya filterisasi. Menjadi ancaman, virus buruk bagi kecerdasan lintas generasi dan penyakit masyarakat sosial media yang dusta, palsu, hoax dan bohong. Sehingga harus ada penanganan yang tepat untuk menangkalnya dan harus dibangun kembali semangat budaya literasi yang kembali pada semangat membaca, menulis, belajar dari berbagai sumber, literatur, referensi yang ilmiah, benar, empiris, valid dan legal. Semua dengan berbagai tahapan yang serius dan penuh konsentrasi yang tinggi dalam membangun budaya informasi yang menjunjung tinggi validitas informasi tentunya.

Membangun semangat budaya literasi harus mulai digalakkan, digaungkan, dan digemakan kembali agar semua dapat mempelajari segala sesuatu dengan baik dan benar. Tidak dengan serta merta menerima segala informasi secara mentah, serampangan dan sembarangan begitu saja. Tentu dimulai dari membangun daya baca, daya tulis, daya pikir, daya filter, daya tafsir, daya koreksi dan daya intelektual agar dapat mencerna, menulis, membagikan, memahami sekaligus menafsirkan segala informasi yang ada. Tidak mudah dan tidak pula sulit selagi terus berupaya untuk terus mencapai kemajuan dalam budaya literasi yang mencerahkan dan mencerdaskan. Semua harus dipertanggungjawabkan bagi seorang penulis sekecil apapun karya tulis nya dan iti juga termasuk bagi pembaca sekliagus yang ingin membagikannya sebagai bentuk informasi yang dirasa menarik serta sesuai dengan pemikiran karena terwakilkan dengan informasi yang telah dituliskan. Jangn sampai produsen hoax merajalela dalam mengembangkan sekaligus membangun informasi yabmng dapat membingungkan masyarakat, memcah belah, membuat kegaduhan, menyinggung isu SARA, mengadu domba, merusak hamonisasi, dan membodohi publik dengan tulisan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. 

Dengan membangun semangat literasi artinya adanya sebuah harapan yang bagus untuk diwujudkan dalam mencedaskan kehidupan bangsa. Dari aktivitas menulis, membaca, menginterpretasi, menelaah, menganalisis dan sebagainya adalah bagian dari budaya literasi yang positif dan progresif. Terus mengcounter segala bentuk pembodohan publik melalui adanya fenomena untuk merusak budaya literasi dengan adanya budaya amoral dan anomali yang mencederai seluruh anak bangsa di era teknologi dan informasi ini. Karena dengan budaya literasi inilah akan menyelamatkan anak bangsa dari segi pemikiran, idelogi, imajinasi, harapan, semangat, mindset serta karya maupun kreativitas lainnya yang dapat membangun semangat literasi yang berkemajuan lagi mencerahkan demi peradaban manusia yang berkarakter dan berkahlak mulia tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tenggelamnya Gaya Politik Pencitraan

Oleh : Al Azzad  Ada masa dimana dulu demokrasi sempat heboh dengan model politik pencitraan yang dikemas apik sedemikian rupa. Dit...