Oleh : Al Azzad
Akhir-akhir ini sering terjadi sentimen antar kelompok, sehingga yang kuat menekan yang lemah dan yang lemah tentu merasa tidak mendapatkan keadilan. Perbedaan pilihan politik dan pandangan politik menjadi adalah bentuk dari kebhinekaan yang semestinya dapat diterima dan dihargai tanpa harus ada tekanan untuk menjatuhkan, membungkam ataupun menghalangi. Sebuah keniscayaan bagi negeri yang besar dan luas ini memiliki perbedaan, sehingga tak payah untuk melakukan ancaman dan persekusi ataupun yang lainnya. Pemerintahan yang terlalu responsif terhadap kritikan, komentar, nyinyir, cibiran masyarakat dengan perlakuan keras menggunakan aparat akan menimbulkan reaksi tentunya dan kedailan pun tidak ada dapat dirasakan bagi yang bersebrangan. Sebab menjadi penguasa harus siap segalanya pro kontra itu selalu ada, kirtik dan oto kritik pun ada, dan ketika meiliki kekuasaan maka nafas kepentingan kelompok harus ditinggalkan dan harus mulai merangkul sekaligus mengayomi rakyat tanpa pilih-pilih. Karena inti tujuan dari kekuasaan ialah kesejahteraan, keadilan dan kerukunan.
Hal yang sangat tidak etis ialah ketika kekuasaan itu dijalankan dengan cara-cara klasik layaknya drama kehidupan orang-orang terbelakang. Istana dan kekuasaan menjadi hal yang dianggap terlalu kaku, formal, sistematis, baku, penuh aturan dan sebagainya hingga akhirnya diabaikan begitu saja karena pandangan tradisionalis. Maka istana dan kekuasaan serta pemerintahan dijalankan layaknya orang yang tak mengerti tak paham dan memang tak pernah mau paham terhadap mekanisme dan prosedur atau protokoler yang ada. Sehingga dibuat seenaknya saja sesuai seleras bagaikan kaum tradisionalis yang hanya mengerti tentang kenyamanan tak payah untuk melakukan sesuatu yang banyak aturan karena budaya kerjanya pun bebas tanpa aturan yang berlaku. Cara pandang yang kolot, keras kepala, susah diatur, ngeyelan, cengar cengir, senyam senyum itu ciri khas tradisionalis yang saat ini dilabelkan orang yang ramah lagi santun lagi lemah lembut. Maka tidak ada yang esensial dan substabsial yang dirasakan hanya sebatas lebelitas, konteks dan citra semata. Kekuasaan digunakan untuk kesenangan diatas penderitaan dan segala penjajahan alias imperialisme kepentingan masa kini pun diiyakan dan diterima lebar begitu saja.
Ketika kelompok tradisionalis berkuasa maka kehancuran sistem akan dirasa sekaligus lemahnya negara menjadi hal buruk dan arogansi kekuasaan semakin memuncak karena besarnya dukungan para loyalis fanatik yang memang telah didoktrin dan dikerahkan. Kelompok tradisionalis agama banyak cara untuk melakukan sesuatu yang tidak ada aturannya dan sering kali justru menabrak aturan yang ada. Antara pemimpinnya dan anggotanya, pendukung dan simpatisannya sama saja lain di muka lain di belakang artinya manis di depan kasar di belakang. Hal-hal semacam ini bukan perilaku dan ciri khas karakter bangsa Indonesia, hanya saja karena berada di atas angin sedang naik daun maupun sedang berada di puncak maka perlakuan pun menyimpang jauh dan keadilan tidak merata. Rasa ingin menang sendiri, paling berkuasa sendiri, paling merasa hebat dan paling berjasa atau paling Indonesia serta pancasilais adalah klaim tunggal sebagai bentuk arogansi kekuasaan di tangan kelompok tradisionalis ini. Selalu mengedepankan sentimen benderang untuk melawan siapa saja yang menentang terhadap apapun yg datangnya dari penguasa pemilik kekuasaan, sebab menjadi benteng dan tameng penguasa kaum tradisionalis.
Ketidakmampuan untuk menjalankan sistem roda pemerintahan inilah kelemahan kelompok penguasa tradisionalis. Sehingga antara yang dijanjikan dengan yang direalisasikan itu tidak sinkron alias jauh berbeda. Sebab inkonsitensi yang terlalu fleksibel membuat kebijakan pun sesuai selera tergantung situasi yang ingin diciptakan. Namun yang menjadi kekuatan kelompok tradisionalis ketika berkuasa ialah kaki tangannya akan dibantu oleh kaum-kaum intelektual, sebab baginya gampang urusan hanya dikembalikan kepada ahlinya walaupun ia tidak mampu dan ahli mengurusnya. Karena baginya selama yang ahlinya dalam genggamannya dan berada ditangan kekuasaanya maka ketidakmampuanya pun akan tertutupi bahkan tak terlihat dari mata masyarakat bahkan media. Situasi bernegara saat ini memang sangat jauh dari aturan banyak demokrasi dicederai dengan anggapan bahwa keburukan pemimpin masa lalu menjadi argumen untuk menghalalkan segala sesuatu untuk berkuasa saat ini. Padahal semestinya dari masa ke masa demokrasi harus terus berbenah diri dan terus belajar semakin progres bukan justru mengadopsi kesalahan, kegagalan, kejahatan dan keburukan masa kekuasaan kepemimpinan masa lalu. Sebab kelompok tradisionalis itu kelemahannya ialah tingginya dendam batin sehingga susah menerima dengan hati terbuka demi kemajuan bersama. Ketegasan hampir tidak dimiliki sebab dirasa hal itu tidak manusiawi dan tidak santun terhadap manusia, maka yang terjadi ialah lemahnya kepemimpinan baik secara nasional maupun internasional.
Narasi yang dibangun ketika kelompok tradisionalis berkuasa ialah narasi keberpihakan dan kepentingan kelompok sendiri. Pembenaran dalam perbedaan adalah hak mutak yang tak bisa dikompromikan bagi kelompok tradisionalis apalagi kekuasaan berada ditangan dan pundaknya. Segala sesuatu boleh dilakukan asalkan tidak menggangu kelompok tradisionalis tersebut. Entah itu maju atau mundur, kehancuran atau kejayaan, krisis atau kemajuan atau apapun itu situasi nya baginya aman, enteng, tenang selama tidak mengusik kelompok tradisionalis tersebut. Sebab itu sama saja memberikan ancaman bagi mereka dan segala kekuatan dikerahkan untuk mematikan siapa saja yang resisten dan melakukan perlawan pada mereka. Satu-satunya cara tentu bila kekuasaan itu tidak lagi ditangan dan dipundak mereka lalu mulai dilakukan perbaikan dan disusun ulang sistem berdemokrasi yang sehat dan inklusif. Sebab apa gunanya saling serang antar anak bangsa karena tak mampu menjalankan roda pemerintahan ketika sedang berkuasa. Karena kelompok tradisionalis sangat kental dengan feodalisme dan fasisme, jadi sulit diberikan kesadaran dalam memimpin ketika berkuasa. Kebijaksanaan sangat subyektif bagi kelompok tersebut, maka sangat sulit untuk menerima hal baru, sesuatu yang lain yang dirasakan tak sesuai dengan seleranya. Tentu ini menjadi pelajaran agar tidak lagi terjadi ke depannya demi demokrasi inklusif yang tidak hanya dinikmati segelintir golongan san kelompok tertentu saja serta dapat melindungi seluruh anak bangsa apapun latar belakangnya karena masih dalam satu rumah yakni rumah Indonesia.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar