Oleh : Al Azzad
Kemenangan kaum intelektual berhaluan liberal dan sekuler dalam menarasikan sistem demokrasi serta politik berada pada puncak kematangan sekaligus kemapanan. Sehingga menjadi sistem baku, rujukan semua politikus bahkan menjadi kiblat demokrasi era global masa kini. Padahal secara historis dan normatif, walau pun Indonesia mengadopsi dan mengkoptasi sistem demokrasi tidak serta merta secara mutlak maupun persis berhaluan barat, disebabkan Indonesia punya kultur dan struktur tersendiri dalam merumuskan sistem demokrasi kebangsaan terhadap unsur politik dan agama tentunya. Bangsa ini tidak ada sejarahnya kontestasi, resistensi dan dikotomi antara politik dan agama atau antara politikus dengan religius. Karna pondasi kebangsaan Indonesia merupakan dari tokoh nasionalis-religius yang merupakan hasil dialog dan kesepakatan bersama antar umat bergama saat itu. Sehingga politik dan agama seiring sejalan meksipun dinamika kontestasi ideologis terus berjalan secara politik, namun kerukunan secara agama pun terjalin dan keharmonisan secara sosial pun dapat terjaga dengan baik.
Dalam hal ini politik sebagai bentuk kegiatan seni meraih kekuasaan dan kepentingan mulai menjauhkan dirinya dari unsur agama secara esensial dan substansi. Agama hanya sebagai asesoris, nilai tambah casing atau tampilan, label atau baju kampanye sekaligus tempat berlindung ketika mulai bermasalah terhadap sandera dan problematika politik. Padahal negara menjamin Agama sebagai nilai dari sila pertama, dan semua berhak memperjuangkan nilai serta agenda maupun kepentingan agama masing-masing yang diatur oleh undang-undang yang tentu agama yang telah diakui oleh negara. Akan tetapi agama hari ini menjadi hal yang tabu untuk dibawa ke ranah politik, khususnya pada politik praktis karena dianggap akan membawa isu SARA yang implikasinya akan membawa konflik, perpecahan dan sentimen antar kelompok. Bila ditelaah lebih dalam tentu dalam hal ini dapat diterima namun tidak benar sepenuhnya, sebab bukan Agama yang menjadikan isu SARA namun aktor, perilaku, subjek, tokoh dan politikus itulah yang menggunakannya sebagai propoganda politik yang disalahartikan dikarenakan ideologi politik yang dibangun sangat liberalistik dan sekuleristik. Politiknya tidak salah dan Agamanya pun tidak salah, yang salah ialah yang memainkan peran politik dan agama sebagai alat untuk menghalalkan segala cara sehingga keluar dari nilai substansif politik dan agama itu sendiri. Inilah kesalahpahaman berpikir masyarakat saat ini tentang politik dan agama, sehingga semakin anti berpolitik semakin anti bergama bahkan semakin anti politik dengan agama atau agama dengan politik. Untuk menjauhkan agama dan politik saat ini diskurus yang dibangun ialah politisasi agama, agama khilafah, agama ekstrim kanan, agama ekstrim kiri, radikalisasi agama, terorisme agama dan lain sebagainya. Padahal tidak ada kaitanya dengan itu karena sama saja itu yang berperan ialah aktor, pelaku dan subjeknya yang tidak memahami agama atau justru karena permainan politik by desain mengatasnamakan agama sebagai kambing hitam permasalahan demokrasi pada situasi saat ini.
Politik mulai meninggalkan agama karena dianggap sebagai biang kerok permasalahan demokraso bangsa yang esensial, sehingga agama dinarasikan hanya masuk di ruang privat dan dijauhkan dalam hal politik. Sebab politik yang dibangun ialah urusan ruang publik yang tidak ada kaitanya dengan unsur agama. Padahal korelasi antar keduanya merupakan urgensi kebangsaan dalam merekonstruksi sistem kenegaraan yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Politik dan Agama itu dalam perspektif keindonesiaan itu satu tubuh yang artinya urusan ruang privat dan publik diatur dalam hal ini secara konstitusional. Hal ini dikarenakan situasi politik yang sangat mengedepankan neo-liberalisme, sehingga unsur agama mulai ditinggalkan dikarenakan akan menghambat agenda pembangunan secara global untuk masuk dalam ruang global tingkat internasional. Kapitalisasi politik membuat agama semakin jauh dan jatuh pada level terbawah, kaum agamawan dan religius hanya fokus dalam urusan pendidikan yang orientasinya hanya untuk kehidupan privat yang menanamkan nilai spritualitas Individu sebagai obat permasalahan sosial nantinya. Kepentingan agama hanya diberikan pada program yang arahnya tidak keumatan melainkan hanya pada nilai hizbi dan asobiyah pada harokah pendukung penguasa. Kapitalisasi politik menimbulkan katgorisasi kelompok agama yang semakin terkotak menjadi bagian partikular yang dipetakan, sehingga agama dengan kendaraan organisasi terbesar yang kuat hegemoni dan dominan pengaruhnya.
Tentu politik dan agama tidak hanya berlaku pada kelompok agama tertentu, melainkan berlaku pada lintas agama yang memang diakui oleh negara keberadaanya. Hanya saja kultur politik saat ini sudah mulai menjauhkan agama agar tidak menjadi ekslusif, sehingga menghambat pembangunan dan nilai kemanusiaan. Ide dan narasi agama versi barat menjadi rujukan dan referensi mutlak dan tunggal yang digunakan dalam merumuskan urusan politik saat ini, sehingga interpretasi terhadap agama menjadi jauh dari originalitasnya sendiri. Sebab bila politik dan agama diintegrasikan, dipadupadakan dan disatukan akan mengalami hambatan, gangguan, persoalan baru sehingga agenda politik tidak dapat berjalan secara makro, global, general dan luas. Agama hanya dijadikan sebagai pelengkap dan pendukung ayat suci untuk memudahkan urusan politik. Maka dalam hal ini kuasa politik jauh lebih tinggi, mulia, besar, agung dan kuat ketimbang agama itu sendiri yang justru semakin kerdil, kecil, sempit, dan lemah. Politikus yang membawa agenda agama akan dicap sebagai politikus pembawa isu SARA yang akan menjual agama demi kepentingan politik praktis sehingga politisasi agama pun menjadi sebuah cara sekaligus dinilai yang akan melahirkan kelompok radikalis, teroris dan ekstrimis. Itulah kenapa politikus liberal dan sekuler selalu diuntungkan dan bahkan menjadi pilihan masyarakat yang tidak paham akan nilai ideologi dan idelalisme. Sebab masyarakat saat ini hanya korban Kapitalisasi politik yang memanfaatkan apatisme masyarakat meskipun masih memiliki kesadaran akan partisipasi politik dalam memilih.
Regenerasi tokoh nasonalis-religius pun mulai kehilangan jumlahnya, padahal banyak tokoh dan pahlawan serta guru bangsa Indonesia lahir dari kaum agamawan yang berpolitik dan memiliki agama dalam urusan kenegaraan untuk mengatur pemerintahan dan hajat hidup masyarakat Indonesia yang beraneka ragam. Bila pun ada intelektual muslim dan cendekia muslim yang lahir dari perguruan tinggi bernuansa Islam, ketika perjalanan karir menjadi politis dan masuk dalam kendaraan partai lalu berkontestasi pada pesta demokrasi akhirnya masuk ke jurang politik kebebasan yang Idealismenya, ideologinya, pemikirannya, pemahamannya dan kiblatnya berputar arah 360 derajat. Sehingga ikut menyandera nilai esensial agama dalam berpolitik dan karena itulah yang dianggap paling laku nilai jualnya terhadap urusan publik. Sebab banyak disandera sendiri juga dari kalangan cendekia muslim dengan pemikiran globalnya yang mematahkan dan menguburkan para politisi yang berlatar belakang agama untuk dibawa ke ranah publik. Pada akhirnya agama hanya urusan privat, kembali pada akhirat, cukup menerima kebijakan maslahat, menjadi partikular umat, dan jauh dari kesalihan politik bermartabat. Kini sudah saatnya membangun nilai yang jauh lebih besar tidak hanya kesalihan individu dan kesalihan sosial melainkan kesalihan politik guna membangun kemajuan yang lebih nyata untuk merealisasikan ayat suci di seluruh aspek kehidupan umat manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar