Oleh : Al Azzad
Islam di Indonesia telah memperlihatkan keberagaman dalam pemikiran Islam sebagai bentuk penafsiran dan interpretasi terahdap ayat Al Qur'an dan Al Hadits baik secara normatif, historis dan kontemporer. Sehingga waran Keislaman di Indonesia hadir dengan adanya Ormas Islam yang beragam sesuai dengan visi, misi tujuan, azas dan khittah masing--masing sebagai kendaraaan dakwah berorganisasi dan bermassa. Tentu semua memiliki prinsip dan pandangan, yang bila ditarik garis tengahnya atau benang merahnya semua akan mengacu pada Islam Rahmatan Lil Alamin. Akan tetapi agenda dakwahnya baik secara politik, sosial, budaya, dan sebagainya teegantung pada pedoman AD dan ART organisasi tersebut. Kelahiran Ormas Islam berbeda-beda waktu, tempat, tokoh, dinamika, dan situasinya. Ada yang sebelum bangsa Indonesia lahir, ada yang di masa Hindia belanda, ada yang bahkan jauh sebelum itu, ada yang di masa rezim orde lama, ada yang di masa rezim orde baru dan bahkan ada yang di masa reformasi maupun di era neo reformasi milenial. Semua tujuannya ialah berdakwah untuk membumikan Islam di negeri ini dengan berbagai macam alat maupun medianya.
Hal yang menarik ialah di dalam Ormas Islam itu melahirkan adanya Ulama sebagai panutan, penasehat, pimpinan, pengarah, penggerak, prmotor dan sebagainya yang intinya ialah sosok agamis, religius dan spritualis dalam membawa kendaraan dakwah bernuansa keormasan. Sehingga perbedaan pendapat, pandangan, penafsiran, dan putusan adalah keniscayaan sekaligus manifestasi keumatan dalam rangka menajalankan dakwah islamiyyah. Akan tetapi semakin luasnya perbedaan juga memberikan implikasi krusial di tengah umat, jamaah dan masyarakat. Sebab melahirkan kebingungan yang besar terhadap banyaknya beredar produk pemikiran keislaman yang dihadirkan oleh ulama-ulama tersebut dalam memutuskan suatu perkara. Sampai pada arah impact yang luar biasa yakni adanya pembenaran mutlak, pemaksaan kehendak, dan penafsiran tunggal. Hal itu pun dilakukan sesuai dengan kemampuan keormasan tersebut, ada yang menggunakan alat kekuasaan yang berafiliasi pada kekuasaan baik itu pemerintahan, aparat dan instrumen lain. Adapula dengan kekuatan historis dengan besarnya kontrobusi yang dimiliki. Adapula dengan adanya jaringan referensi rujukan pada wilayah-wilayah tertentu. Semua dalam rangka mencari kebenaran diatas perbedaan yang begitu luas.
Dalam hal ini ialah tentang kekuasaan, dimana umaro sekaligus ulama pemersatu masih sulit diterima bahkan dideskreditkan sebagai pelemaham warna dan wajah baru. Konteks kontemporer sangat jelas bahwa di dalam ormas islam itu memunculkan adanya fanatisme baik pada organisasinya, ulamanya, pimpinannya, pengurusnya dan sebagainya. Maka dari itu masih kental adanya Ulama Hizbiyyah atau Ulama Asobiyyah yang hanya pada golongan dan kelompok tertentu. Meskipun ada yang mengarah pada pendekatan lintas iman, pendekatan inklusif, pendekatan ekslusif bahkan pendekatan progresif serta lainnya. Ini dapat terlihat dan dikaitkan dengan kekuasaan, dimana Ulama Hizbiyyah atau Asobiyyah inilah yang selalu tampak dipermukaan, maka terjadilah diskriminatif antar umat sehingga terpecah belah yang satu merasa paling besar dan kuat sehingga menegasikan yang lain. Padahal kultur adanya Ulama Hizbiyyah atau Asobiyah ini sudah tidak memiliki relevansi di era milenial, cendrung sangat konservatif dan stagnan dalam persatuan. Kekusaan pun masih sangat kental dengan hal ini yakni mengangkat Ulama Hizbiyyah atau Asobiyah. Terlihat di bangsa ini masih adanya polarisasi sekaligus kerenggangan antar internal umat Islam tentunya akibat dari keagungkannya kultur Ulama Hizbiyyah atau Ulama Asobiyah tersebut.
Interpretasi keberagaman dalam Islam saat ini semestinya dilihat dari warna baru tentang adanya sebuah kesatuan yang lebih realitis tidak hanya sebatas pemikiran, diskursus, abstrak, keilmuaan melainkan harus adanya integrasi dan konektivitas ditataran praktis, realistis, yang secara ril dan lebih nyata. Kultur baru dengan menghadirkan Ulama Wathoniyyah atau Ulama Wasathiyyah adalah hal yang lebih jauh Ihsan ketimbang sebelumnya. Tetap berada pada kendaraan keormasannya namun orientasinya lebih realistis dan praktis terhadap nilai ukhuwah. Sosok dan figur Ulama Wathoniyyah atau Wastahiyyah orientasi pada ukhuwah itu jauh lebih besar kemuliaan dan kehormatannya. Sehingga kekuasaan dihadirkan pada Umaro yang sekaligus Ulama pemersatu bukan Ulama yang menjunjung tinggi golongan dan kelompok sendiri atas pembenaran melalui campur tangan kekuasaan. Lebih baik secara gamblang dan zahir menjadi Umaro yanag sekaligus Ulama atau Ulama yang sekaligus Umaro agar dapat menjadi pemersatu umat diantara keberagaman keormasan Islam. Situasi saat ini menginginkan sesuatu dalam kerangkan Islam yang bersatu dari berbagai macam keberagaman. Sebab, umat ingin kerukunan antar sesama dan mendapatkan pencerahan dari para ulama yang ikhlas dan selalu bersahaja pasa umat serta tidak memberikan kebingungan. Tentu hal ini mesti dicontohkan dari atas atau dari Ulamanya itu sendiri agar umat pun melihat dan melakukannya karena adanya keteladanan.
Konteks Indonesia saat ini menginginkan dan mengharapakan nuansa baru dengan adanya umaro sekaligus ulama pemersatu umat. Di tengah hiruk pikuk negeri, probelemika bangsa dan persoalan politik yang arahnya sangat jauh dari nilai Islam meskipun apara aktor adalah mayoritas dari umat muslim namun arah kiblat pemahamanya sangat tidak Islamis. Sampai pada narasi intelektualitas pun adalah arah kemajuan barat yang semestinya itu juga ada pada arah timur maupun timur tengah. Pada akhirnya tujuannya yang diharapkan disetiap kekuasaan ialah umaro yang peduli umat dan sekaligus ulama yang peduli negara. Sehingga sinergitas dan konektivitas terjalin secara kolektif untuk membangun negeri, memajukan umat dan mencerahkan kehidupan bangsa dalam mengahadapi tantangan global ke depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar