Oleh : Al Azzad
Kehidupan yang semakin sulit dan serba susah membuat sebagian manusia berpikir secara sempit dan sangat pragmatis ekstrim terhadap kebutuhan maupun keinginan dalam hidupnya. Memilih realitas baik itu sebuah pekerjaan ataupun peluang kesempatan tak lagi dengan aturan serta etika yang berlaku. Proses menghalalkan segala cara sudah menjadi ritualitas rutin dalam mencari materi memenuhi hajat life style yang tiada pernah ada habisnya dan ujungnya. Berpikir untung rugi adalah jalan sepele dan lebih jauh dari itu berpikir picik lagi pelit pun menjadi-jadi.
Pergerseran nilai dalam kelompok masyarakat sangat dramatis dan drastis tanpa terbendung dengan filterisasi kehidupan yang bermartabat serta beretika. Manusia tidak lagi sama-sama memikirkan nasib sekelilingnya namun justru bagaimana bisa mendapatkan jauh lebih banyak dari sekelilingnya tanpa ada lagi rasa berbagi karena dianggap sebagai bentuk ketergantungan dan ketidakmandirian. Apatisme yang terjadi di masyarakat sangat berlebihan, dan sangat terlihat bagi mereka yang status sosialnya mulai meningkat lagi berkembang.
Hanya sebatas orientasi individualistik yang tak lagi memiliki rasa prihatin serta empati kepada lingkungannya. Menciptakan hal yang sangat eksklusif di ruang publik yang seharusnya mengedepankan inklusivitas terhadap hubungan sosial bermasyarakat. Logika materi adalah merupakan awal rusaknya mindset yang membangun pola pikir manusia modernis menuju perilaku hedonis dan konsumtif terhadap apapun. Maka bertebaran pula lah konsep egosentris kehidupan yang terjadi di lingkungan seakan menjadi penyakit yang tak kunjung dapat diobati.
Realitas menggambarkan bahwa fenomena inilah yang dinamakan hanya sebatas logika materi. Tanpa adanya materi maka semua dianggap sia-sia dan tidak penting bahkan acuh tak acuh. Logika materi mengajarkan bahwa pikiran manusia hanya berorientasi pada benda-benda yang menggiurkan untuk menjamin hidup agar terlihat meningkat dengan segala aksesoris yang menempel.
Lantas apa yang mesti dilakukan ketika melihat realitas seperti ini agar kembali kepada makna kebersamaan dan kebahagiaan dalam sebuah lingkungan skla mikro dan makro. Yang jelas ialah logika etis menjadi cara untuk menyeimbangkannya. Atau dengan logika budi yang mengedepankan kebaikan maupun logika luhur yang menjadi sebuah tradisi baik dan tidak bertentangan dalam aspek apapun.
Jangan jadikan logika materi meracuni hidup, sehingga kerap kali terjadi manusia trendy yang lupa diri akan makna berbagi kebahagiaan secara bersama. Kualitas hidup tidak diukur dengan materi berlimpah ruah lagi top brand, dan kuantitas hidup pun bukan selalu diukur pada apa-apa yang telah melekat tapi tak lagi bermanfaat serta maslahat. Karena kehidupan sejatinya adalah berbagi agar mencapai kehidupan hakiki yang senatiasa dirahmati oleh Sang Maha Kuasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar