Jumat, 18 Mei 2018

Rakyat Menjerit Penguasa Tertawa


Oleh : Al Azzad 

Entah harus bagaimana lagi untuk menyadarkan para penguasa yang sudah kenyang kekuasaan namun diambang keterpurukan masa kekuasaan. Antara janji dan bukti sangat kontradiksi secara diskriminasi tanpa henti. Salah prioritas dan salah tujuan dalam kerangka negara serta kebangsaan. Yang ada justru prioritas korporasi dan elitis negeri yang katanya sedang eksis toleransi dari massa yang menguasai aspek ekonomi.

Kebijakan yang lebih mengarah pada middle class ke atas menjadikan nasib rakyat kecil semakin menjerit dan menderita. Rakyat kecil hanya dijadikan umpan sekaligus tempat untuk mendapatkan suara dukungan yang setelahnya hanya menajadi ancaman kepentingan dalam menyusun kebijakan. Rakyat dan penguasa memiliki jarak yang sangat jauh bagaikan sebuah kerajaan yang dibatasi oleh tembok raksasa kerajaan penuh penjagaan dan pengawalan. Seolah negara hanya tempat bersenang-senag untuk menghabiskan uang dan merampas uang dari kantong-kantong rakyat kecil yang berjumlah massive dan banyak sehingga bila diakumulasikan menjadi sangat besar jumlahnya.

Rakyat menjerit penguasa tertawa adalah sama-sama dalam suatu keadaan serta situasi dan kondisi yang berbeda konteks maupun  tujuannya. Sloganisasi selalu bertuliskan kesejahteraan rakyat dengan bentuk visualisasi rakyat kecil. Namun pada kenyataanya dan realisasinya ternyata kesejahteraan rakyat yang besar sangat elitis menjadi jamuan negara yang utama. Akan sampai kapan nasib rakyat yang terus menjerit layaknya sudah mulai kerasukan dikarenan merasa stress, depresi, dan tak tahu lagi apa yang akan dilakukan. Jeritan rakyat yang hari demi hari semakin tak bersuara dan tak terdengar lagi. Sebab semua para pejuang aktivis dan mahasiswa pun telah apatis sedang sibuk dengan suasana akademisnya yang semakin tinggi nilainya dan prestasinya.

Akankah rakyat yang menjerit ini terus seperti ini hingga tiada bisa diakhiri. Jeritan rakyat seolah sudah mejadi bagian sistematisasi yang diagendakan serta terjadwal terhadap nasib negara. Rakyat seolah menjerit bagaikan belajar  huruf dari jeritan A sampai pada jeritan Z. Jeritan ini seolah menjadi sebuah lagu wajib negara untuk mendapatkan simpati yang pada dasarnya rumusan kebijakan selalu tak searah dengan implementasi kebijakannya.

Pagi siang dan malam selalu terdengar jeritan rakyat kecil dari yang menangis histeris sampai pada yang marah berapi-api. Dari nasib kebutuhan dapur, kebutuhan anak, kebutuhan sekolah, kebutuhan kesejateraan, kebutuhan kesehatan dan kebutuhan lainnya. Para politisi yang piawai pun memanfaatkan situasi dan moment sehingga memperkeruh suasana untuk menemukan hal baru yang telah didesain secara sistemik. Tak mesti muluk melihat konspirasi barat dan konspirasi dunia internasional, sebab ternyata konspirasi negeri dimulai dari penguasanya sendiri.

Berharap rakyat berjalan sendiri, mencari sendiri, mengais sendiri, dituntut mandiri dengan lahan yang semakin sempit sehingga tak lagi ada ruangnya. Penguasa sedang dimabuk kuasa hingga arah dan tujuannya tak lagi jelas dan menentu terus berubah-ubah tanpa esensi hanya sensasi. Tertawa dengan kemenangan dan pencapaian yang entah untuk siapa dan entah apa hasilnya. Semoga ini hanya dongeng belakang cerita ilusi dan viksi penuh imajinasi dan halusinasi negeri yang haus hiburan.

Harapan pun masih selalu agar penguasa kembali sadar dijalannya, sehingga merumuskan kembali kebijakan sampai pada implementasinya kepada rakyat kecil. Rakyat kecil pun kembali bahagia dan jeritannya kini menjadi sebuah lagu dan nyanyian riang gembira yang seakan ingin diperdengarkan ke seluruh dunia. Rakyatku yang tercinta dan penguasaku yang tersayang kini kita bahagia bersama untuk membangun rumah mencukupi kebutuhan agar tercukupi sehinga riang penuh gembira lagi bahagia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tenggelamnya Gaya Politik Pencitraan

Oleh : Al Azzad  Ada masa dimana dulu demokrasi sempat heboh dengan model politik pencitraan yang dikemas apik sedemikian rupa. Dit...