Selasa, 14 Agustus 2018

Provokasi Atas Nama Umat


Oleh : Al Azzad 

Demokrasi itu mahal dan biaya yang harus dikeluarkan tidaklah sedikit dikarenakan Indonesia itu sangat luas wilayahnya. Sehingga dalam situasi kontestasi politik tertinggi yakni dalam pemilihan presiden merupakan hal yang harus diketahui secara terbuka oleh publik agar tidak terjadinya kesalahpahaman maupun pemahaman yang dangkal. Tentu dalam situasi pilpres ialah hal yang paling dinantikan, sebab dari sanalah akan melahirkan sosok pemimpin bangsa yang menjadi RI 1 dan RI 2 sebagai orang yang nantinya akan memimpin banga ke depan. Partai politik merupakan jalan dan mekanisme politik yang menjadi sarana untuk dapat melakukannya sehingga terstruktur, terencana dan terukur. Hanya saja dinamika politik sangat hangat dan faktual, sehingga banyak menghasilkan opini publik yang berawal dari isu kontemporer yang bertebaran baik di sosial media maupun di media mainstream. Pesta demokrasi itu tidak gratis, bahkan negara pun masih snagat minim mengakomonasinya apalagi situasi negara juga tingginya hutuang serta lemahnya ekonomi. Hal itu membuat proses demokrasi sangat liberal, tinggal tergantung bagaimana para politisi mampu memainkannya. 

Fenomena menarik ialah ketika adanya koalisi penantang melawan koalisi petahana, dimana koalisi petahana snagat digambarkan melalui media sebagai koalisi yang solid, mapan, tenang dan sangat akur. Padahal yang namanya partai politik selalu ada manuver baik pada lawan maupun pada kawan sendiri. Yang menarik justru sorotan publik dan media sangat intens hanya kepada koalisi penantang, yang dalam hal ini sangat ligai strategi politiknya, manuver politiknya bahkan dinamika politiknya. Sehingga muncul provokasi yang bertebaran untuk menggonjang ganjing barisam koalisi penantang. Lain halnya dengan koalisi petahana yang sangat gemuk dan diisi oleh elit politik yang sekaligus pengusaha kaya, korporasi besar dengan kaki tangan asing dan aseng yang luas. Kemunafikan politik sering kali muncul di publik melalui framing media massa dan media sosial bahwa tidak ada kepentingan, tidak ada bagi-bagi kursi, tidak ada mahar politik, tidak ada logistik politik. Padahal yang namanya pesta demokrasi itu mahal sekali untuk kampanye dan segala kegiatan-kegiatan politik lainnya. Ini yang harus disadari oleh publik tentunya untuk tidak terkecoh dengan pencitraan yang tidak masuk akal, karena rasionalitas politik adalah bagain dari keterbukaan, transparansi politik, keberanian, dan kejujuran yang tersampaikan pada publik. 

Provokasi atas nama umat pun semakin marak, ketika pilihan-pilihannya tidak masuk bursa capres dan cawapes seakan-akan urusan politik seperti ikut dalam pengajian dan seperti wisata alam. Lalu mengajak umat lainnya untuk tidak berpartispasi Politik akibat kecewa. Pemahaman yang tidak pernah mengerti bahwa politik harus melalui mekanisme partai politik ialah bagaian dari kendaraan politik. Seharusnya umat itu sadar dan memberikan keprercayaan kepada para politisi yang juga merupakan bagian dari umat. Apalagi situasi negara saat ini sangat tingginya hutang dan berbagai permaslahan yang tidak tuntas. Maka kehadiran sosok pemimpin yang mapan sekaligus nasionalis dan religius adalah jalan terbaik. Pemimpin yang tepat ialah yang mapan dan kuat baik secara mental, finansial, spritual, intelektual dan manajerial. Sudah cukuplah dengan pemimpin yang selalu dicitrakan seolah merakyat namun tersandara oleh mahar politik, logistik politik dan biaya politik melalui para korporasi yang akhirnya ketika terpilih justru selalu kena jaring intervensi yang akhirnya mengeluarkan banyak kebijakan kontriversial dan tidak pro rakyat. Semakin banyak provokasi atas nama umat tertuju pada koalisi penantang, padahal yang bermasalah adalah koalisi petahana menandakan bahwa kekuatan orang dibalik layar petahan sedang bermain untuk menjegal lawan penantangnya melaui cara invisible hand atau tangan-tangan ghaib yang mengobrak-abrik penantangnya. Dan itu yang tidak disadari umat justru malah kena provokasi bahkan ada yang memprovokasi atas nama umat. 

Situasi lain pada koalisi petahan itu pun memanas, hanya saja publik, media baik massa dan sosial media tidak intens melihatnya. Bagaimana mungkin koalisi petahana yang gemuk dan banyak tidak ada pembahasan pembagain kepentingan, bahar logistik politik, bahas strategi pemenangan timses, membahas anggaran dan sebagainya. Ketidakberanian koalisi petahan memperlihatkan hal tersebut, karena yanh diperlihatkan ialah seolah koalisi atas nama rakyat dan umat tidak ada pembahsan kepentingan dan logistik karena memang itulah yang dicitrakan kepada publik dan publik pun terkocoh pengawasannya terhadap koalisi petahana yang justru paling berpotensi untuk melakukan hal diluar dugaan karena pengausa yang memiliki segalanya dan dapat mengatur segalanya. Partisipasi publik khususnya kepercyaan umat terhadap kehadiran sosok pemimpin yang mapan secara finansial dan spritual tentu nantinya tidak akan mendapatkan tekanan dna intervensi, sehingga dalam kampanye pun seluruh biaya menggunakan hasil sendiri tanpa adanya campur tangan korporasi atau asing dan aseng yang selalu ikut dalam kegiatan tersebut. 

Tentu dalam menghadirkan sosok pemimpin dalam bursa capres dan cawapes bukan hanya dengan keinginan umat melalui deklarasi, tekanan melaui sosial media, atau bentuk isu viral semata. Melainkan dengan mekanisme mesin partai politik. Lihatlah betapa banyak provokasi atas nama umat yang justru banyak bersuara, berkicau dan bertaburan hanya kepada koalisi penantang dan bukan pada koalisi petahana. Tentu umat yang mana ini, sebab bila umat tentu memiliki jiwa kesadaran yang tinggi, memberikan kepercayaan kepada pada partai politik pilihan, serta ikut serta berpartispasi untuk memenangkannya an bukan justru sebagai provokator atas nama umat. Lagian koalisi penantang ini bertalar belakang sosok yang siap baik mental, finansial, spritual, intelektual dan manajerial sehingga tidak ada intervensi dari pihak mana pun, tidak dibiayai oleh korporasi, tidak dibiayai asing dan aseng justru asli anak bangsa yang mapan yang sekaligus aset pemimpin masa depan agar negeri ini selamat untuk dapat melunaskan hutangnya dan agar tidak lagi membuka keran hutang kepada negara asing dan aseng yang selalu memberikan pinjaman, selalu mengintervensi dan sebagainya. Sebuah hal yang aneh jika ada umat yang tidak masuk dalam barisan bahkan merusak barisan hanya karena kecewa terhadap pilihan pemimpin yang tidak disepekati oleh koalisi. Karena dalam dinamika politik tentu ada yang namanya koalisi dan disanalah kerjasama dan kesepakatan itu harus ada untuk meneima setiap calon yang bisa mewakili kerja sama. Tentunya umat dan masyarakat memberikan dukungan, kepercayaan sekaligus partisipasi yang nyata untuk memenangkannya, sebab calon presiden dan wakil presiden yang dihadirkan ialah termasuk representasi rakyat dan umat seluruh kalangan yang tidak hanya ekslusif pada entitas keagamaan tertentu dikarenakan Indonesia sangat luas maka pemilih segemen lintas kalangan adalah bagian dari politik inklusif. Sudah saatnya kita mendapatkan pemimpin mapan secara mental, finansial, spritual  intelektual dan manajeril agar tidak ada lagi intervensi, ekspansi, imperialisasi dan terhindari dari tangan-tangan korporasi yang selama ini merusak demokrasi melaui konspirasi kekuasaan. Negeri ini perlu diselamatkan oleh pemimpin yang kuat, integrritas dan tidak banyak pencitraan serta memiliki latar belakang yang jelas baik itu siapa kawannya, darimana asalnya, bagaimana kinerjanya, serta apa saja kontribusinya yang nyata tanpa framing bukan by desgin tentunya. Sebagai umat tentu merapatkan barisan bukan memecah belah apalagi melakukam provokasi atas nama umat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tenggelamnya Gaya Politik Pencitraan

Oleh : Al Azzad  Ada masa dimana dulu demokrasi sempat heboh dengan model politik pencitraan yang dikemas apik sedemikian rupa. Dit...