Selasa, 31 Juli 2018

Meragukan Habib Menjadi Pemimpin


Oleh : Al Azzad 

Banyak suara-suara rakyat berseliuran ataupun berpendapat tentang pilihannya baik calon presiden dan calon wakil presiden. Keduanya sama saja, sebab sama-sama menjadi pemimpin bangsa Indonesia yang akan menjadi RI 1 dan RI 2 untuk membangun negeri Indonesia yang tercinta ini. Hal yang menarik dan sangat berbeda ialah ketika hadirnya seorang habib yang direkomendasikan sebagaian jumhur Ulama untuk dijadikan sebagai pemimpin bangsa nantinya. Ini merupakan sebuah sejarah baru dan harapan baru bagi bangsa Indonesia ini yang masih terjadinya polarisasi dan ketegangan di tengah masyarakat. Terbukti bawah pemimpin saat ini yang meskipun RI 2 saat ini dianggap sebagai orang pemersatu pun masih lemah, bahkan sekelas tokoh nasional lain, para kiyai dan ustadz tak ada yang sanggup menyelesaikan persoalan di tengah masyarakat terhadap polarisasi dan perpecahan sehingga terus memunculkan sentimen dan konflik keoentingan. Sehingga warna kebangsaan hari ini terasa bagaikan awan gelap yang tak kunjung terang benderang karena mentupi matahai sebagai pencerah alam semesta. 

Perlu disadari bahwa bila hadirnya seorang habib yang akan memimpin bangsa menjadi harapan dan doa besar untuk kembali mencerahkan kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama. Sebab para habaib itu sangat kuat solidaritasnya, dikarenakan memang kemuliaan terhasap Nasab dan Sanad ilmu yang hadir dari kalangan Agamis berlatar belakang santri dari pondok pesantren. Para habaib itu sistemnya ialah silent majority, silet supporrt dan silet voice meskipun tidak terlalu terlihat oleh media dan terdengar vokalnya untuk kebangsaan akan tetapi mereka solid antar satu dengan yang lainnya untuk mengantarkan satu nasab mereka yang memang garisnya sampai pada Rasul Saw untuk memimpin bangsa ini. Habaib itu dicintai oleh umat, dan mampu memberikan pencerahan serta kedamaian kepada umat terhadap lintas agama pun saling menghormati serta rukun. Kultur habaib itu ialah majlis Rasulullah baik itu maulidan, sholawatan, istighosah, haulan dan lain sebagianya yang pamornya dan tingkat maqomnya lebih tinggi dibangdingkan ulama lain. Inilah yang menjadi kekuatan spritual bangsa yang sekaligus memberikan keberkahan, kemakmuran, kedamaian, keadilan, kesejahteraan dan keharmonisan bangsa. Sudah saatnya memang Indonesia dipimpin oleh garis keturunan Rasul Saw yang jelas, valid, dan shohih sanad, nasab dan jalurnya.

Meragukan Habib menjadi pemimpin Indonesia yang akan datang adalah kesalahan besar tentunya sekaligus menghilangkan kesempatan emas untuk menjadi bangsa yang harkat, martabat dan derajatnya ditinggikan. Sebab dengan adanya sosok Habib yang dicalonkan walau sebagai calon wakil presiden itu adalah sejarah besar bangsa Indonesia yang selama ini merupakan negara mayoritas Islam tapi peradaban, moralitas, kultur mulai bergeser diwarnai kebarat-baratan sehingga hilangnya dan pudarnya kultur ketimurannya. Habaib itu mewakili seluruh umat Islam, mewakili lintas agama, mewakili antar ormas Islam dan tentunya merangkul saudara sesama muslim dan mengayomi umat bergama lintas agama. Sebab Habib itu obat pencerah umat manusia yang mampu memimpin bangsa dengan baik. Selama ini Habaib hanya digambarkan sebagai pemimpin dan imam Sholawat, Imam Zikir, Imam Maulidan dan sebagainya namun belun menjadi Imam Bangsa ataupun pemimpin bangsa yang secara langsung menggunakan kekuasaan dalam hal politik secara amanah dan istiqomah. Maka perlu adanya kesempatan yang baik sekaligus harapan yang besar bila adanya kehadiran seorang Habib yang memimpin negeri ini, tidak maslalah apakah menjadi RI 1 atau RI 2 karena yang jelas masih memiliki kekuasaan untuk membangun Indonesia yang cerah, megah, dan bersejarah. Sehingga tak perlu meragukan habib memimpin bangsa, sebab itu sama halnya meragukan Rasul Saw karena Nabi Muhammad adalah pemimpin seluruh umat manusia secara Rahmatan Lil Alamin disegani, dihormati, dicintai dan disayangi oleh seluruh kelangan, kelompok umat manusia. 

Sinisme terhadap kehadiran adanya Habib yang memimpin negeri mencerminkan bahwa bangsa ini masih rusak akhlak, rusak moral, rusak akal dan tentu banyak dipengaruhi oelh paham-paham pemikiran yang bertentangan dengan Islam mulai dari Liberalisme, Sekularisme, Kapitalisme, Komunisme, Otoritarianisme, Monarkisme, Fasisme dan lain sebagianya. Sebab kehadirannya adalah angin segar untuk bangsa ini yang akan menjawab tantangan sekaligus merupakan Rahmat Allah Swt terhadap negeri Indonesia yang dihadirkan sekaligus diberikan adanya Habib untuk memimpin negeri Indonesia yang besar dan luas ini. Ini menjadi ujian sekaligus menjadi peehatian, dan Allah akan melihat bagaiman bansa Indonesia menghadirkan dalam memilih pemimpinnya. Maka wajar saja bila sumber daya alam melimpah banyak bertumpah ruah tapi tidak berkah dan tak mampu dikelola sendiri akibat lemahnya iman dan keyakinan bangsa ini terhadap kekuatan spritualitas melainkan lebih mengimani kekuatan finansial, kekuatan kapitalisme, kekuatan barat, dan kekuatan kekuasaan ditangan yang salah. Habib ialah termasuk Ulama besar yang tersebar di seluruh dunia khususnya di Indonesia kehadirannya semakin banyak, menandakan bahwa Indonesia masih diselematkan oleh Allah Swt dengan kehadiran para Habaib yang berjuang di ranah politik dalam merebut kekuasaan secara konstitusional, secara akhlak, berkeadaband dan moralitas yang tinggi. Sehingga memberikan kedamaian, kesejukan dan keharmonisan. Sebab ciri dan watak Hababib itu mempersatukan seluruh golongan, merangkul umat manusia, melindungi alam semesta dan mencerahkan segala kegelapan. Karena Indonesia akan menjadi negeri berkeadaban bila habib diberikan kesempatan memimpin Indonesia ke depan yang lebih baik. 

Hal yang mengherankan ialah bila adanya Habib yang tidak populer, viral, terkenal dan tesorot media dianggap tidak dapat dipilih oleh generasi milenial, generasi pemula bahkan lintas agama. Padahal jika berpikir lebih dalam dan cermat semua anggaoan itu dapat ditepis, sebab Habib yang berjuang untuk memimpin bangsa itu adalah representasi ulama, umat dan umaro. Lihatlah bagaimana para politisi untuk medulang suara bila adanya pilkada, pileg dan pilpres ramai-ramai mendatangi pondok pesantren, kiyai, pimipinan ormas bahkan habaib. Lantas masih meragukan bila ada Habib yang akan memimpin negeri itu adalah kesalahan fatal dalam menafsirkankanya. Sebab dintara kategorisasi Ulama itu semuanya bahwa kalangan Habaiblah yang paling sisoroti dan dicintai seluruh umat manusia. Sebab Habib tidak hanya dalam urusan pendidikan Agama, pesantren, sholawat, maulidan, haul, spritual, tarekat dan sebagainya. Melainkan perwakilan Habaib pun berhak mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin Bangsa yang mencerahkan dan memajukan umat manusia. Kekuatan spritualitas itu yang akan mengangkat Habib menjadi pemimpin bangsa, akan mulai dikenal oleh seluruh umat manusia, akan menjadi sejarah besar bangsa Indonesia, akan diviralkan secara massif dengan kekuatan spritual doa, akan menjadi penyeimbang kehidupan berbangsa, akan membawa keberkahan hidup, akan mendinginkan suasan kebatinan yang panas, akan mencerahkan segala kegelapan, akan membawa kebrkahan negeri yang subur, akan menjadi kiblat dunia abad masa kini, akan menjadi sorotan dunia, akan menjadi catatan dunia internasional, akan menjadi keagungan hidup berbangsa, akan terciptanya rahmah kemanusiaan, akan terbangunnya amanah kepemimpinan, akan mengankat marwah bangsa Indonesia, akan disegani seluruh asing, akan dipersatukannya seluruh umat manusia. Sehingga tak ada lagi alasan meragukan Habib menjadi pemimpin, karena Habib dicintai oleh siapapun dari generasi tua, muda, remaja, anak dan milenial tinggal perkenalkan saja. Sebab Habib bukan manusia pencitraan dalam memimpin melainkan manusia ikhkas penuh dengan kekuatan spritual melebihi goLongan Ulama lainnya. Semoga Allah Swt memberkahi negeri ini semakin aman, maju, subur, makmur, jaya, mandiri, independen dan berkah untuk semua.

Sabtu, 28 Juli 2018

Pentingnya Kekuasaan Untuk Kemaslahatan


Oleh : Al Azzad 

Sebagian masyarakat telah muncul sikap apatis dan skeptis terhadap urusan-urusan kekuasaan yang dalam hal ini adalah aspek politik terkhusus pada politik praktis. Sebagian menilai bahwa urusan politik praktis itu hanyalah sebatas persoalan biasa yang tidak berpengaruh pada kehidupannya secara pragmatis. Sebagian lain menilai bahwa hal itu hanyalah sementara yang tidak kekal abadi jadi tak payah memikirkan hal tersebut. Di sisi lain ada yang merasa hanya karena politik praktis ini dapat memecah belah, membuat gaduh dan melemahkan kerukunan. Dan masih banyak sebagain lainnya yang bermacam-macam memahami dan menilai politik apalagi dalam politik praktis. Ada yang karena peduli, ada yang karena tidak mau tahu, ada yang karena paham, ada pula yang tidak paham sama sekali, ada yang berkepentingan dan ada pula yang mencari celah-celah dalam problematika yang terjadi. 

Disadari atau tidak, bahwa kekuasaan itu sangat lah penting sekali. Meskipun ada yang merasa bahwa tidak berpengaruh pada kehidupannya, tidak ada efeknya atau apapun alasannya. Sebab membaca politik itu haruslah luas secara makro dan nasional agar konektivitas berpikir serta memahaminya bisa masuk sekaligus sampai pada akal maupun logika. Bahwa pentingnya politik praktis itu dikarenakan beberapa faktor yang setidaknya sebagai pemahaman dasar yang seharusnya dapat diketahui dan dipahami. Kekuasaan itu berhak untuk membuat dan menerapkan yang namanya Kebijakan. Dibalik kebijakan itulah nantinya akan berdampak apakah pro rakyat atau kontra rokyat, apakah kebijakan yang maslahat atau mafsadat, apakah berimplikasi secara nasional dan menyeluruh ataukah justru hanya berimplikasi pada kelompok tertentu, ormas tertentu atau golongan tertentu. Setiap kebijakan itu selalu ada agenda, kepentingan, perencanaan, visi, misi, program, dan tujuannya. Bila yang berkuasa agendanya tidak berorientasi kepada keumatan dalam persatuan, maka dipastikan tidak ada ksejehateraan yang merata paling hanya pada golongan dan kelompok tertentu saja. Sebab aktor kebijakan publik itu ialah para pemimpin publik dan pejabat publik baik itu tingkat kota, daerah, propinsi dan negara. 

Pentingnya kekuasaan demi kemaslahatan adalah upaya dan misi untuk menempuh keadilan serta kesejahteraan umat secara merata melalui jalur konstitusional, sah, legal dan dapat dipertanggungjawabkan. Banyak cara untuk mendapatkan kekuasaan yang berorientasi pada keumatan dan kemaslahan, tentunya dengan jalan-jalan yang sesuai dengan syariat Islam maupun nilai-nilai ajaran Islam. Lantas hubungan politik praktis dengan kekuasaan dimankah letaknya, tentu letaknya ada pada kebijakan yang dikampanyekan oleh para calon pemimpin atau pejabat publik melalui visi, misi dan programnya. Sebab segala programnya akan diatur sekaligus dilindungi oleh payung hukuk yang mengikat karena telah disusun serta mendapatkan persetujuan oleh para dewan wakil rakyat. Bila tidak peduli terhadap politik praktis, sedangkan untuk mendapatkan pemimpin itu dari mekanisme politik praktis, dan sedangkan nantinya kebijakan akan berpihak serta keberpihakan pada umat itu nantinya ada ditangan para pemimpin yang terpilih sebagai penguasa yang diamanatkan dan dimandatkan oleh rakyat. Itulah kenapa pentingnya kekuasaan untuk keumatan, agar umat mendapatkan haknya, manfaatnya, dan keadilan serta kesejahteraannya tanpa dibatasi pada golongan maupun kelompok tertentu. 

Sebab Kebijakan ada di tangan para pemimpin yang menjalankan program kepemimpinan dan kekuasaanya, dan kebijakan itu akan menggunakan anggaran negara untuk diimplementasikan. Maka, ketika nantinya produk kebijakan ataupun produk program dari seorang pemimpin ataupun pejabat publik tidak berimplikasi, tersalurkan, dan terasa oleh umat maka itulah konsekuensi yang akan diterima. Sebab banyak modus dan cara serta agenda kebijakan itu hanya berpihak sekaligus  terdistribusi pada golongan kelas menengah dan atas bahkan pada golongan maupun kelompok tertentu saja. Inilah yang harus dipahami, maka tidak jarang pula akhirnya kebijakan itu hanya bisa bersifat diskriminatif, elitis, partikulatif, destruktif dan tidak keberpihakan pada umat. Umat harus sadar terhadap pemimpin yang dipilihnya serta sadar betul apa saja agenda kebijakan yang ingin digunakannya, dicapainya, dibangunnya sekaligus dilakukannya. Jangan sampai mengeksploitasi umat muslim untuk kepentingan individu dan kelompok dengan bungkus kebijakan secara legitimate dan kekuasaan terhadap kebijakannya. Hal ini adalah keniscayaan bila umat Islam ssbagai mayoritaslah yang semestinya dan seharusnya banyak mendapatkan manfaat dari kebijakan yang tersalurkan melalui anggaran negara maupun daerah untuk membangun wilayahnya demi mensejahterkan rakyat serta memberikan keadilan hidup dan mengankat harkat marabat, derajat kaum muslim karena amanahnya seorang pemimpin yang kebijakannya sangat berpihak sekaligus keberpihakannya besar terhadap umat. 

Semua itu karena aspek politik praktis, sebab disanalah kontestasi demokrasi dalam merebut kursi kepemimpinan yang sah. Di sanalah nantinya kebijakan itu hadir dan dapat diterapkan pada masyarakat. Bila para pemimpin, pejabat, kepala daerah dan negara adalah orang-orang yang tidak memiliki agenda kebihakan orienrasi untuk umat, maka sampai kiamat pun umat tak akan sejahtera dan mendapatkan keadilan nantinya. Sebab Kebijakan hanya diskriminatif hanya untuk kepentingan golongan dan kelompok tertentu saja. Itulah kenapa pentingnya kekuasaan untuk keumatan itu harus ada untuk direbut kembali bila jatuh ditangan yang tidak amanah, kemudian diserahkan pada yang amanah berpihak pada umat secara keseluruhan. Tentu dengan cara dan jalan yang sesuai aturan undang-undang, konstitusional dan sesuai koridor bahkan syariat. Kemajuan umat, kemajuan bangsa dan kemajuan negara adalah karena hadirnya kekuasaan yang amanah dengan menghadirkan kebijakan yang keberpihakannya tinggi pro rakyat, pro umat demi kemajuan, kemakmuran dan keadilan. Tidak ada alasan lagi bahwa politik praktis tidak penting, tidak berfaedah, tidak krusial atau apapun alasannya, sebab disanalah nantinya kebijakan hadir untuk membangun suatu bangsa. Bila berada ditangan yang salah maka bersiaplah menerima Kebijakan yang tidak berpihak sehingga tidak bisa dirasakan dan dinikmati secara umum. Namun bila berada ditangan yang amanah, maka kebijakan itu akan bermanfaat dan maslahat sehingga dapat dirasakan, dinikmati dan didapatkan oleh umat tentunya. Harapannya tentu selalu menghadirkan pemimpin yang memiliki agendan kebijakan umat secara adil, merata, menyeluruh dan maslahat.

Kamis, 26 Juli 2018

Perjuangan Merebut Kursi Kekuasaan


Oleh : Al Azzad 

Partai politik adalah kendaraan dalam berdemokrasi untuk menjadi pemimpin dan pejabat publik yang masuk dalam pemilihan kepala daerah, legislatif dan presiden. Dengan begitu mekanisme demokrasi dapat berjalan sesuai sengan aturan yang berlaku untuk menjalankannya. Partai politik menyiapkan kader sebagai agen yang mengelola para calon pemimpin publik sesuai dengan Idealisme dan ideologi partai-partai yang ada sesuai latar belakang masing-masing partai. Tentu dalam dinamika partai politik selalu ditemukan kendala-kendala dan kendala tersebut bisa menjadi catatan penting bagi partai politik bila nantinya kadernya atau pemimpin rekrutannya bernuaikan berbagai macam masalah yang keluar dari koridor prinsipnya. Kendalan tersebut sangat beragam mulai dari tindakan kirimal korupsi, kolusi, nepotisme, gratifikasi, dan sebagainya yang sangat pribadi namun mempengaruhi partai politiknya. Akan tetapi, partai politik pun banyak yang menghasilkan kader dan pemimpin rekrutan yang berkualitas dan berintegritas untuk negeri ini. 

Hanya saja yang menjadi masalah selanjutnya ialah dalam pesta demokrasi ada aturan yang terkadang juatru dapat menyandera partai itu sendiri, bahkan juga bisa menjadikan partai tersebut kehilangan posisinya. Belum lagi biaya logistik yang sangat mahal disebabkan NKRI yang sangat luas dan besar ini. Sehingga untuk menghidupkan mesin partai politik membutuhkan operasional yang sangat signifikan bila menginginkan hasil yang maksimal dalam kontestasi berdemokrasi. Partai politik bila tanpa adanya sistem lokomotif politik sebagai bentuk kekuatan dalam gerakan mencapai dukungan suara dan sayap-sayap relawan maupun simpatisan yang militansinya tinggi, dapat dipastikan partai tersebut akan kalah justru sangat lemah bahkan sulit melakukan manuver. Sehingga cendrung lebih mengikuti koalisi yang ada yang telah dibentuk oleh partai yang telah mapan dan besar pengaruh perjuangannya. Itulah kenapa dalam setiap kali momentum partai berkoalisi menghitungkan segalanya secara kompleksitas dari akar sampai pusat dan pucuk tertinggi. 

Perjuangan merebut kursi kekuasaan seyogoyanya tidak semudah membalikkan telapak tangan ataupun semudah pengamatan, penilaian, komentar dan analisis para eks partai atau rakyat yang melihat.  Sebab dalam perjuangan merebut kursi kekuasaan tersebut dibutuhkan modal politik, lokomotif politik, logistik politik, militansi politik, deklarasi politik, dan atribusi politik lainnya. Perjuangan itu tentu dimulai dari pondasi serta bangunan partai politik yang bertujuan untuk mencapai kekuasaan secara konstitusional. Jatuh bangun, menang kalah, asam manis dan segalanya adalah menu utama problematika yang dirasakan oleh partai-partai politik tentunya. Yang jelas perjalanan politik itu didasari dengan agenda politiknya masing-masing dalam merebut kursi kekuasaan melalui kontestasi demokrasi. Berbagai macam metode dapat dilakukan selama tidak melanggar aturan dengan memunculkan isu-isu politik yang ada sebagai bentuk dinamika dan dialektika politik tentunya. 

Sebab bila nanti perjuangan dalam merebut kursi kekuasaan diraih oleh partai pemenang, maka berhak untuk mengeluarkan berbagai macam kebijakan sebagai bentuk misi politik dalam merekonstruksi pemerintahan dalam hal ini adalah negara. Agenda partai politik dijabarkan menjadi sebuah kebijakan yang sifatnya bisa regulatif, distributif, alternatif, akomodatif, konstruktif dan lain sebagainya sebagai bentuk cara mengelola kekuasaan dalam bernegara. Tentu semua harus sesuai amanat undang-undang yang telah dirumuskan oleh dewan wakil rakyat sebagai bentuk dari pengejawantahan dari pancasila, uud 1945, uud sampai level bawahnya. Partai pemenang yang merebut kursi kekuasaan baik diparlemen dan di presiden menjadi hak sepenuhnya dalam menjalankan roda pemerintahan dengan agenda kebijakan-kebijakan yang telah disusun melalui kampanye yang telah dilalui dari visi, misi dan program-programnya yang ditawarkan kepada rakyat melihat kondisi perkambangan pemerintahan dari satu kekuasaan terdahulu menuju ke arah kekuasaan yang baru. Estafet kekuasaan merupakan ritual demokrasi bila terjadinya pergantian kemenangan, namun bila masih bertahan dalam memenangkan maka tinggal meneruskan dan melanjutkan agenda selanjutnya saja yang memang dibatasi dalam 2 periode kekuasaannya. 

Tentu dalam kontestasi demokrasi merebut kursi kekuasaan haruslah dengan cara-cara yang bijaksana, rakyat perlu diedukasi terhadap pendidikan politik yang benar dan jangan sampai justru rakyat kecil hanya dieskploitasi semata dalam mempengaruhi suara. Rakyat sama-sama diajak maju dan membangun negera dengan partisipasi yang tinggi sekaligus diberikan jaminan atas janji kampanye sebagai program yang pro rakyat. Jangan sampai rakyat dibodohi secara sistematis secara politik dikarenakan tingkat pengetahuan dan kesadaran serta intelektulitas yabg rendah menjadi alat penjarahan secara politik. Sebagi pemimpin dan pejabat publik semestinya harus bersikap penuh kenegarawanan dengan etika politik secara normatif, jangan karena merasa dukungan besar menjadikan sikap superior, fleksibel dan agresif yang diperlihatkan sekaligus ditonjolkan seolah negara merasa dipundak sendiri. Sebab kekuasaan dan jabatan ada masanya tidak selamanya dan sebagai manusia yang menjalankan sila pertama yakni Ketuhanan Yang Maha Esa, maka semua itu adalah amanah yang semuanya akan dimintai pertanggung jawabannya kelak baik sekecil atau sebesar apapun kebijakan, perbuatan, program, agenda dan sebagainya yang bermanfaat atau maslahat atau justru sebaliknya menjadi tanggung jawab besar tentunya. Maka kesadaran sebagai moralitas kebangsaan dalam politik mesti harus dijunjung tinggi, agar setiap kepemimpinan yang dijalani adalah tujuan mulia dan tujuan yang berkemajuan untuk kedaulatan bangsa Indonesia.

Rabu, 25 Juli 2018

Meneropong Peta Politik Islam


Oleh : Al Azzad 

Keberagaman bangsa Indonesia dari masa ke masa masih belum membawa dampak pada nilai Islam secara keseluruhan. Hal ini terbukti dengan banyaknya partai Islam namun tidak bisa bersatu dan cendrung berjalan dengan sendiri-sendiri. Namun di dua rezim terdahulu yakni orde lama dan orde baru pernah terbentuk sistem partai politik yang hanya pada tiga poros yang mewakili rakyat. Hal tersebut dapat memudahkan peta politik Islam, meskipun golongan Islam terpecah menjadi tiga bagian yang mana Islam masuk di semua tiga poros tersebut baik itu dari elit politiknya maupun sebagian agenda politiknya. Pada saat itu manuver politik sangat dinamis konstruktif dan sangat jelas kontestasi ideologi masing-masing dalam merebut kekuasaan meskipun akhirnya rata-rata dan selalu dominan dimenangkan oleh partai-partai berhaluan Nasionalis. Sebab sistem demokrasi yang dibangun memang lebih mengarah liberatif dan seklurisme-modernitas yang terintegrasi dengan kultur masyarakat Islami disebabkan sebagai populasi masyarakat mayoritas sekaligus agama Islam terbesar di bangsa ini. 

Pasca terbentuknya Reformasi semua haluan berubah sangat signifikan, dan ini mempengaruhi dinamika Politik Islam dalam perspektif membangun Indonesia yang religius dan agamis. Partai-partai berbasis Islam pun beragam azas dan idelogi kepartaiannya, sehingga Secara fakta dan realitas Islam Indonesia terbagi dalam beberapa kelompok golongan yang dominasinya melalui organisasi masyarakat Islam. Ummat Islam yang tadinya mayoritas menjadi sangat minim bila terpecah menjadi partikular yang dibelah karena banyaknya Partai Islam yang terbentuk. Seolah bagaikan perumpamaan buah semangka yang habis dipotong dan dibagi menjadi beberapa potongan-potongan kecil sehingga beratnya menjadi ringan, yang seharusnya bila utuh jauh lebih berat dan besar tentunya. Hal inilah yang menjadi hipotesa bahwa partai Islam tak akan pernah bisa berkuasa atau menjadi partai pemenang terbesar dalam suaranya. Bilapun ada hanya karena dinamika koalisi, negosiaasi bersama yang memutuskan bahwa kesempatan pada partai Islam ada, namun itu presentasenya sangatlah kecil dan hanya hitungan kebereuntungan semata yang tak dapat diukur secara logis. 

Meneropong peta politik Islam di Indonesia sama halnya dengan melihat peta geografis pulau Indonesia itu sendiri terbagi dalam beberapa pulau yang terpisah. Idealnya bila ingin menjadi satu payung partai politik Islam semestinya Politik Islam dilihat dari segi pilar Indonesia, yakni bagaikan Pancasila yang merangkai lima sila menjadi satu tubuh ideologi, Bhineka tunggal ika yang merupakan semboyan berbeda menjadi satu kebangsaan, NKRI yang menjadi landasan negara menjadi satu kedaulan dan UUD sebagai suatu hukum yang mengikat dengan kesepakatan bersama. Politik Islam justru terjebak dalam dikursus dan termin politik yang menjadi isu politik, sehingga Partai Islam pun akhirnya memiliki lebel yang mengkotakkan kelompok Islam menjadi partikular golongan yang sempit. Istilah partai Islam moderat menajdi label sehingga para pendukung, pemilih, simpatisan dipetakan sangat beragam ada yang sebagai kelompok radikal, intoleran, anti Pancasila, anti demokrasi, pemberontakan ideologi yang semua itu terjadi di tubuh kelompok Islam sendiri yang terpecah ke dalam beberapa bagian. Inilah yang menjadikan politik Islam itu hanya sebuah abstrak dalam wacana kekuasaan berdemokrasi di Indonesia itu sendiri. 

Padahal bila Meneropong peta politik Islam seharusnya mana musuh, lawan dan ancaman sangat jelas bila dalam hal ini adalah manuver kekuasaan melalui kontestasi politik. Bukan berarti musuh untuk melakukan peperangan antar anak bangsa, dan bukan berarti untuk mencari lawan di tengah masyarakat serta bukan berarti melakukan ancaman pada aspek sosial, melainkan sebuah strategi politik Islam secara konstitusional dan secara moralitas politik. Tentu bila ingin membidik semestinya partai politik Islam ini berhadapan dengan agenda-agenda dari paham-paham yang memisahkan nilai dan prinsip Islam. Sebagai partai Politik berbasis Islam jelas agenda idealnya ialah membawa Risalah dan Syariat Islam yang bisa diimplementasikan secara praksis dalam mekanisme berdemokrasi. Yang dihadapi tentu yang agendanya sangat bernuansa liberalisme, sekulerisme, kapitalisme,  komunisme, otoritarianisme, dan lain sebagainya yang sangat bertentangan dengan agenda Islam.

Itulah kenapa partai-partai politik basis Islam di Indonesia ini besar bila dilihat dari paradigma teropong, seakan menguasai seluruhnya namun bila dilepas dari penglihatan teropong sangatlah kecil bahkan jauh dari realitasnya. Sering kali suara ummat Islam yang mayoritas menjadi sangat kecil, sebab masuk dalam wadah-wadah dari berbagai partai politik Islam sehingga mengalahkan suara partai politik nuansa nasionalis maupun yang bernuansa kekirian lainnya. Peta politik Islam kalah diberbagai hal dari segi strategi, manuver, taktik, metode dan arah gerakannya. Ummat Muslim pun seolah lebih nyaman memilih dan mendukung partai yang tidak basis Islam karena lebih dianggap mewarnai keberagaman Indonesia yang besar dan luas. Teropong politik Islam tidak mampu menembus langit hanya sebatas bumi datar sehingga agenda dan pencapaiannya selalu tidak pernah maksimal dan cendrung selalu kritis, lemah dan tidak berdaya. Bila saja partai politik Islam melebur menjadi satu kekuatan besar yang solid dan tidak ada egosentrisme ormas yang belajar dari masa lalu di zaman orde lama, maka tentu republik ini akan banyak diwarnai dan dihiasi dengan semangat keIslaman yang tinggi. Sudah saatnya ummat pun harus diintegrasikan dan interkoneksikan pada basis partai Islam yang terpusat dan mengerucut menjadi satu, agar menjaid kekuatan yang dapat melanggengkan tanah air seperti dulu yang diperjuangkan para syuhada dan ulama-ulama yang mempertahankan Indonesia dari penjajahan dan imperialisme yang ingin merusak bangsa ini di kemudian hari tentunya.

Minggu, 22 Juli 2018

Wabah Penyakit Budaya Koruptif


Oleh : Al Azzad 

Para koruptor merajalela di negeri yang katanya subur dan makmur ini. Memperkaya diri hanya untuk urusan perut, urusan harta, urusan kemewahan dan asesoris kehidupan lainnya. Menjadi elit bangsa yang menikmati dari hasil kekayaan ternyata membuatnya tak kenyang dan puas, sehingga selalu merugikan negara namun tak peduli dan persetan itu semua. Hal itu dikarenakan sistem politik kekuasaan yang begitu mahal, sulit, mewah, dan membutuhkan banyak logistik untuk menjadi elit kekuasaan sekaligus merebut pintu-pintu kekayaan melalui jalurnya baik masuk di parlemen maupun di kabinet istana. Kong kali kong, koruptif kolektif, korupsi jamaah, nyolong rame-rame adalah budaya dan gaya para pejabat dan elit terhadap kekuasaan. Begitu nikmat dan semua bisa diatur asalkan uang, keuntungan, barang dan apapun bisa didapatkan.

Hukum hanyalah sebatas mainan dan bagaikan democrazy games yang gambarannya bagaikan permainan judi baik secara online atau offline hanya mekanisme dan aturan mainnya saja yang berbeda. Hukum itu tak punya kuasa alias tumpul bagi para elit pejabat dan koruptor bahkan mafia negeri. Hukum begitu tajam, keras, runcing dan ganas dari arah menengah sampai ke bawah. Terbukti dari kasus-kasus kecuil lebih banyak dijadikan tugas utama ketimbang kasus-kasus besar yang ruginya lebih besar. Semacam ada Lingkaran setan yang saling menjerat, saling mengikat dan saling menggangtungkan satu sama lain yang akhirnya perangkap demi perangkap bisa masuk di dalamnya. Tinggal bagaimana bisa mendapatkan keberuntungan dan kebejoan saja agar tidak sampai ke ranah publik, tidak terskpos media dan di blow up serta di show up ke permukaan saja. Negeri kriminal yang hanya di bungkus dan dikemas layaknya negeri aman, damai, sentosa, bersih, subur, makmur, kaya dan emberedel lainnya. 

Wabah penyakit budaya koruptif adalah salah satu yang paling eksis dan sukses di negeri yang indah ini. Ini menjadi gaya hidup dan life style dari para elitis, pejabat, dan tokoh-tokoh yang gemar dengan harta, kekuasaan dan kekayaaan. Wabah penyakit ini bagi pelaku tidaklah mematikan lengkahnya, karirnya jabatannya, kehidupannya dana segalanya karena hukum dalam kendalinya. Wabah ini hanya menyeramkan bagi rakyat kecil yang tak bervokal alias yang menjadi agen-agen penjilat saja yang merasakannnya namun tetap mendapat bagian dari hasilnya. Semacam wabah musiman yang memiliki waktu dan momentum yang tepat, serta ditangani secara khusus serasa kelas eksklusif dan spesial tiada duanya. Wabah ini bisa datang dan pergi, hilang dan muncul serta timbul dan meredam. Sehingga menjadi virus tindakan koruptif konstruktif di negeri yang katanya damai ini. Budaya koruptif inilah yang dianggap sebagai kemajuan berbangsa dan bernegara, akibat dari modal politik dan modal berkuasa dengan cara instan dan serba cepat lagi ada. 

Sangat miris dan memalukan itu hanyalah penilaian normatif saja, sebab faktanya dan realitanya justru menjadi sebuah kebanggan, keberhasilan, dan kesuksesan bila telah menjadi bagian yang pernah bahkan berpengalaman menjadi koruptor negeri. Ada yang memulai karir koruptor ini dari tingkat dan level terendah ataupun terkecil sampai pada level tertinggi. Budaya koruptif ini seperti sebuah musim trend yang sedang berkembang lalu hilang lalu muncul lagi, ada siklus dan rantainya yang tak akan mudah diinterpretasikan dengan mudah. Wabah penyakit budaya koruptif ini menjadi sebuah nilai dasar kehidupan bernegara di ranah publik yang tiada lagi menyeramkan ataupun menggelisahkan. Sebab di sana akan ada seragam yang keren, tempat yang nyaman, jaminan hukum yang mewah, jaringan dukungan yang luas, selalu populer dalam pemberitaan, diamati dan digemari banyak publik bahkan menjadi cita-cita sebagian bibit bangsa yang tidak mengerti akan kejahatan negara budaya koruptif ini. Koruptor merajalela di mana-mana sambil tersenyum manis, tertawa bahagia, dan tertunaikan sebuah tugas mulianya. Baginya negeri ini kecil, gampang,  sepele semua bisa diatur dan semua bisa dilakukan dengan mudahnya.

Virus korupsi, kolusi dan nepotisme ini adalah bagian yang paling menguntungkan untuk dilakukan dan dikembangkan. Sebab penawarnya pun ada karena semua bisa dikenadalikan dengan mudah. Posisi sebagai elit bangsa sudah ditangan dan dicapai maka distitulah hukum hanya berada di saku, di kantong dan di alas kaki saja. Mau dikatakan seperti apapun, dikecam bagaimanapun, ditindak sekeras apapun, diintervesi sehebat apapun tak akan mudah lagi goyah, sebab dia leluasa punya kuasa bagaikan tangan besi, benteng istana dan markas besar yang tidak akan bisa dibidik. Penegak hukum semua adalah kawannya dan semua bisa menjadi bagian dari lingkarannya karena kekuatan itu berada dipundaknya. Negeri kacau penuh drama kekyaaan habis di mana-mana, uang kas terkuras entah ke mana, alam tereksploitasi entah untuk siapa, negeri hancur entah salah siapa dan gambaran-gambaran sadis lainnya mewarnai negeri yang katanya indah permai lagi damai aman sentosa.

Sabtu, 21 Juli 2018

Presiden Negara Ataukah Perusahaan


Oleh : Al Azzad 

Negara yang besar tentu memiliki sumber daya alam berlimpah tuah serta banyak. Namun apakah sebanding dengan sumber daya manusia yang ada didalamnya atau justru tidak sebanding pula. Negara memiliki banyak komponen, instrumen dan institusi serta perusahaan di dalamnya yang semua memberikan manfaat maupun keuntungan dengan tujuan akhirnya ialah untuk kesejahteraan rakyatnya. Negara akan kuat atau lemah juga tergantung pada pemimpinya dan pada presidennya sebagai kepala negara maupun kepala pemerintahan tertinggi tentunya. Peran negara harus lebih besar dari peran lainnya, hal ini agar negara menjamin hak sekaligus kehidupan setiap rakyat yang dipimpinnya terlepas itu pemilihnya atau tidak, yang mendukung ataupun tidak, yang menjadi pecintanya atau pembencinya semua mesti harus dilindungi sesuai dengan konstitusi. Karena pemimpin sebuah negara dalam hal ini presiden adalah representasi rakyat, karena rakyatlah yang memilihnya dan kedaulatan itu hanya ada ditangan rakyat yang juga sebagai alat legitimasi negara.

Namun apakah negara jauh lebih berdaulat ataukah justru perusahaan sebagai korporasi yang meguasai pasar yang lebih kuat melangkahi peran negara. Ataukah justru negara adalah perusahaan bagi rakyat yang mengambil wewenangnya, semua menjadi diskursus yang krusial dan esensial untuk dikaji sedalam mungkin. Jangan sampai negara menjadi perusahaan atau perusahaan menjadi negara, karena keduanya itu berbeda arahnya. Perusahaan tentu mencari keuntungan dan memberikan manfaat bagi negera bila prosedurnya benar sesuai dengan undang-undang. Akan tetapi bisa menjadi masalah besar bila menjadi alat kekuasaan serta alat hukum yang ditransaksionalkan untuk mendapatkan hegemoni profit atas nama negara dna hukum. Terkadang negera menjadi kecil bila peusahaan mengambil banyak peran dalam sepak terjang politik yang akhirnya mengkerdilkan posisi negara yang akan dipimpin oleh manusia-manusia berjubah korporasi. Cendrung negara akan berjalan ditempat dan akan terkuras persediaannya dalam hal ini kas negara maupun aset-aset negara. Sehingga perusahaan bagaikan bayangan pada sebuah negara yang menjadi pengarah kekuasaan dibalik layar sebagai bagian yang privat.

Bila melihat konteks hari ini, apakah presiden sebagai presiden negara ataukah sebagai presiden perusahaan di dalam negara. Tentu tidak semudah yang dibayangkan dalam merumuskannya, sebab presiden tugasnya sangat luas dikarenakan negara yang begitu besar. Menjadi problematika sekaligus dinamika bangsa ialah ketika presiden ternyata lebih banyak berperan sebagai presiden perusahaan atas aset-aset yang dimiliki oleh negara. Entah itu untuk mendapatkan keuntungan, mencari kepentingan atau menutup segala hutang pinjaman yang memang menjadi prioritas kebijakan presiden sehingga membutuhkan banyak pundi-pundi dana segar dalam mengalokasikan anggaran sekaligus membelanjakannya demi kebutuhan-kebutuhan pembangunan sebagai kebijakan utamanya. Lantas seberapa besarkah manfaatnya untuk kepentingan rakyat kecil bukan pada rakyat elit atau wakil rakyat atau dewan rakyat tentunya. Terkesan remeh temeh dan sedehana namun indiaksi serta implikasinya sangat besar bagi negara.

Hal yang menjadi perhatian sebagai rakyat yang kritis demi merekonstruksi negara ialah sebuah kritik bahwa presiden dalam hal ini haruslah benar-benar menjadi presiden negara, meskipun disekitarnya adalah orang-orang perusahaan yang berkepentingan dalam aset-aset negara serta agenda korporasi yang dibalut dengan politik etis dan politik jasa asal tuan senang maupun asal tuan terbalaskan budi. Sebab bila presiden hanya berputar-putar dan berkutik dengan urusahan yang lebih prioritas pada hal perusahaan dan korporasi, maka sudah dapat dipastikan bahwa negara tidak memberikan kesejahteraan rakyat, tidak memberikan kepastian hukum dan tidak memberikan perlindungan pada rakyat. Justru sibuk dalam urusan kepentingan perusahaan yang akhirnya menjadi presiden perusahaan dengan baju, kostum, atribut negara serta mengatasnamakan rakyat melalui media sebagai tempat membangun pencitraan. Karena sesungguhnya presiden negara itu adalah memberikan jaminan atas rakyat dan mempertahankan aset negara yang merupakan manifestasi rakyat serta alamnya dan tanahnya. 

Kepemimpinan yang berkeberpihakan pada rakyat kecillah yang harusnya menjadi prioritas negara untuk hadir dan memberikan jaminan kesejahteraan. Jangan sampai negara justru menjadi alat permainan senda gurau, lucu-lucuan, guyonan dan canda tawa namun disisi lain ketika urusan perusahaan dan korpirasi malah seriusnya bukan main, fokusnya sangat besar, konsentrasinya tinggi dan bila perlu media, pinjaman, hutang dam semua apapun dilakukan bahkan dibela-belain. Akan tetapi bila urusan-urusan kenegaraan, kebangsaan, kerakyatan malah cengar-cengir, tawa lebar, senyum langit diatas penderitaan rakyat. Namun emosi memuncak bila dikritik, bila diluruskan dan sebagainya. Menandakan bahwa suatu bangsa kehilangan pemimpin negara yang dari masa ke masa merosot karakter, kehilangan integritas dan  hancur etika. Negara harus kembali menjadi bangsa yang bermartabat, sehingga semua yang dapat merusak, mengganggu, mencuri, menghancurkan dapat dicegah dan diatasi dengan baik. Yakinlah bahwa masa depan bangsa akan cemerlang ditangan-tangan para pemimpin yang bertanggung jawab, berani, jujur, ikhlas, beribawa dan berkeTuhanan tentunya.

Kamis, 19 Juli 2018

Ketika Idealisme Menjadi Uangisme


Oleh : Al Azzad 

Sudah sangat jarang melihat adanya para aktivis yang sangat kuat dan militan terhadap idealisme berpikir sekaligus bertindak bahkan berjuang. Aktivis dari berbagai organisasi manapun baik kampus, masyarakat, LSM, komunitas, kelompok dan perkumpulan lainnya  telah kehilangan Idealisme dan tergadaikan dengan uangisme. Pemuda dan pemudi yang idealis dan ideologis bahkan revolusionis telah hilang dan pupus di era milenial, mereka menjadi pemuda pemudi pencitraan melalui sosial media dari berbagai aplikasi dengan cara viral, eksis dan beken. Eksis yang beragam mulai dari masuk di dunia politik sehingga jadilah politisi yang politiktainment, ada yang di dunia hiburan jadilah sebagai penghibur yang entertainment, ada yang menggemari media informasi jadilah infotainment dan sebagainya sehingga berujung pada konsep hiburan dan menghibur. Inilah yang menyebabkan sebuah peristiwa lucu-lucuan itu hadir dalam berbangsa, bernegara dan beragama. Lihatlah ketika negara jadi bahan hiburan dan lelucon, lihatlah bangsa ini menjadi bahan olok-olok dan hiburan, serta lihatlah agama pun baik mayoritas atau minirotitas jadi mainan senda gurau dan hiburan. 

Generasi muda mudi yang kehilangan Idealisme dan menjadi generasi profit oriented layaknya sebuah perusahaan atau korporasi yang sedang berjualan mencari untung dan uang. Tidak hanya itu generasi yang mengalami degradasi moral sehingga seiring dengan kemajuan zamannya namun runtuh serta roboh peradaban manusianya khususnya generasi muda mudinya. Hal ini juga karena hilangnya teladan dari oara generasi tua sebagai generasi seniornya yang tidak lagi menjadi teladan di tengah gejolak serta problematika bangsa. Generasi yang saling sikut layaknya hewan sedang berebutan makanan yang akhirnya tidak lagi ada akal sehat dan logika intelektual melainkan insting untuk menang, kenyang dan serang. Ini menyebabkan hilangnya arah bangsa yang semakin hari semakin nirnalar dan tidak lagi menjunjung tinggi nilai persaudaraan, keharmonisan dan kemanusiaan. Budaya bullying baik di sosial media dan di realitas sosial terus berjalan dari anak sampai dewasa, akhirnya saling bully dengan sebutan-sebutan, istilah-istilah dan julukan-julukan yang tidak baik.

Generasi muda mudi sebagai jembatan rakyat untuk mendapatkan haknya maupun tersampainya aspirasi kepada pemerintah dan parlemen tak lagi terdengar justru berubah menjadi seorang karakter buruh yang terjajah baik secara karakter, Idealisme, intelektual, dan pergerakan. Sebab bila dianggap mengkritisi pemerintahan, rezim berkuasa atau para pejabat parlemen adalah sebagai oposisi yang menjadi bagaian partai tertentu yang berada di luar pemerintahan istana dalam kabinet. Karena seharusnya generasi muda mudi inilah yang terus mengawal, mengkritisi, bahkan melawan dan bila menjatuhkan atau melengserkan bila penguasa dianggap sudah tak lagi mampu memajukan serta membangun negara. Bila pun ada keberhasilan tentu harus diapresiasi, namun tetap sebagai jiwa yang memiliki Idealisme tinggi memperjuangkan hak rakyat kecil, rakyat tertindas, rakyat miskin yang termarjinalkan baik secara sistematis ataupun tidak sengaja harus dibela, dilindungi dan diberikan keadilan maupun kesejahteraan. Karena dengan begitu lah suara-suara rakyat yang berada di bawah dan berada di garis kemiskinan harus terus diperjuangkan sehingga negara hadir secara nyata dalam membantu sekaligus memberikan jaminan kehidupan pada rakyatnya. 

Namun ketika Idealisme menjadi uangisme semua akan berbuah, akhirnya bungkam, tak bersuara, nyenyak, kenyang bahkan naik menjadi elitis hanya karena uangisme yang menjadi beberapa keuntungan entah itu harta, tahta ataupun wanita. Uangisme inilah yang menjadi penyakit bagi kaum revolusionis, kaum pergerakan, kaum pejuang rakyat marjinal, kaum aktivis gerakan karena Idealisme itu berubah menjadi uangisme sebagai paham kehidupan yang tercuci otak nalar intelektualnya sehingga apapun bisa berpaling dari kata keikhlasan untuk rakyat kecil. Kadang memang terjebak pada momentum politis karena dianggap sebagai oposisi mewakili partai, padahal tidak semua orientasinya pada politik sebab yang diperjuangkan adalah sesuatu yang sangat esensial mengenai idelologi kesejahteraan bagi rakyat kecil tentunya. Hal itu disebabkan suara-suara sosial media yang tak bertanggung jawab dalam menyuarakan dan memprosuksi isu serta konten melalui akun anonim, buzzer yang orientasi hanya keuntungan semata sesuai tuan yang membayar.

Anak muda mudi yang tergadai Idealismenya ini juga karena tangan-tangan yang tak bertanggung jawab, lebih cendrung ingin merusak moral bangsa dengan memanfaatkan situasi khususnya penggunaan sosial media yang diternak, diproduksi dan dikembangkan untuk membenci, merusak, melawan, menyerang, membela, membuat gaduh dengan isu-isu yang hoax, invalid dan palsu. Tentu harus dibangun kembali semangat literasi, semangat pergerakan, semangat aksi dan semangat membela rakyat dengan ikhlas, dengan kesungguhan dan dengan kerendahan hati yang terdalam. Bangsa ini hadir di tangan-tangan para pemuda yang hatinya hanya untuk negara yang tercinta ini.

Selasa, 17 Juli 2018

Kepentingan Politik Tujuan Utama


Oleh : Al Azzad 

Diskusi dalam Demokrasi dan Politik selalu hangat serta tidak ada habisnya untuk dibahas, sebab dinamikanya selalu cair sekaligus terbuka dengan komunikasi politik yang terus dibangun. Di dalam politik tidak ada kawan atau lawan yang abadi, karena justru yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Itulah kenapa aspek politik yang digambarkan oleh partai politik terus berkembang sehingga banyak fenomena politik unik lagi menarik. Dari saling koalisi, menjadi oposisi, berpindah haluan, bertukar kepentingan, menyamakan tujuan, dinamika manuver, komunikasi politik, transaksi kabinet, hegemoni parlemen dan aktivitas politik lainnya. Semua yang menjadi aktor dan elit politik mengambil perannya masing-masing sesuai dengan tupoksi maupun arahan partainya, baik dari juru bicara, pengamat, surveyor responden, loyalis partai, konsultan, dan kader militansi. Berkumpul menjadi satu rumah di partainya sebagai kendaraan politik yang mewadahi aspirasi sekaligis tujuan kepentingan tentunya.

Event demokrasi menjadi hal penting bagi partai politik baik itu pilkada, pileg, dan pilpres sebagai event nasional demokrasi maupun event pendukung lainnya dari kampanye, sosialisasi, pelatihan, blusukan, kunjuangan, silatirahmi serta kegaiatan lainnya. Satu hal yang terpenting ialah Suara Rakyat sebagai bentuk representasi partai baik di parlemen maupun di istana nantinya dan hal itu pula yang menentukan eksistensi partai dalam menyuarakan aspirasi serta kepentingan seluruh komponen di dalam partai. Partai juga merupakan instumen demokrasi sekaligus wadah suara rakyat di dalamnya yang setidaknya telah berada di partai yang terfasilitasi, terwadahi dan tertampung. Karena memang syarat terbentuknya sebuah partai ialah memiliki dukungan suara rakyat sebagai pemilih tetap ataupun anggota komponen partai tetap. Ini yang mendasari adanya sebuah koalisi dan pentingnya makna partai baik sebagai pendukung atau pengusung bahkan perwakilan partai di setiap pemilihan yang ada sebagai kandidat.

Kepentingan politik adalah tujuan utama partai politik dalam memainkan perannya untuk berkontestasi menuju gebang kekuasaan di parlemen maupun di istana. Tentu ada aturan mainnya yakni diatur sesuai hukum melalui undang-undang dan kosntitusi yang berkaitan dengan aktivitas politik tersebut. Di Samping itu pun ada institusi lain yang berperan seperti adanya KPU, BAWASLU, bahkan KPK sekalipun bisa ikut andil bila ada bakal calon ataupun pejabat yang terbukti koruptif yang lahir dari rahim partai. Tentu pengadilan juga penting sebagai penentu dalam vonis yang telah dijalankan. Diluar itu juga TNI dan POLRI ialah hal penting dalam menjaga keamanan dan ketertiban yang menjunjung tinggi netralitas tentunya. Yang jelas partai politik akan fokus pada tujuan utamanya yakni kepentingan abadi sebagai pemikiran dasar, ideologi partai, aspirasi rakyat, rumah suara, dan jaminan kesejahteraan. Sehingga partai juga bisa dikatakan sebagai miniatur negara terkecil bagian dari respresentasi kebangsaan sekaligus manifestasi demokrasi.

Akan tetapi pendidikan politik, edukasi politik, dan sosialisasi politik masih sangat lemah. Sehingga hal ini masih belum dipahami oleh rakyat menengah ke bawah bahkan mungkin sebagain rakyat golongan atas pun tak sanggup memahaminya. Hal itu pula yang menjadi kan sitausi politik terpecah yang mengakibatkan adanya kebencian, fitnah, hoax, polarisasi yang belum mampu disikapi secara bijak, arif, integritas dan adil. Akhirnya larut dalam dinamika politik yang sempit akibat dari fanatisme dan loyalisme yang berlebihan yang tak kunjung bertepi. Bahkan menjadi alat pula bagi kalangan tertentu untuk memanfaatkan situasi agar hal ini larut sehingga dapat menguntungkan pihak-pihak tertentu. Padahal jika melihat elit partai politik mereka akan terlihat baik-baik saja saling berkomunikasi, bersilaturahmi dan bermanuver politik yang terus cair sehingga sangat membingungkan serta sulit ditebak akibat dinamisasi politik.

Politik itu sangat praktis, realistis, dinamis, humanis, dan pragmatis. Itulah kenapa di partai politik pasti juga memiliki relawan, kader militan, sayap organisasi, barisan laskar partai, tim sukses, sekaligus atribusi lainnya yang menjadi simbol dan identitas partai politik itu sendiri. Semuanya sah-sah saja mewadahi seluruh rakyat dengan paham pemikiran yang beragam sesuai dengan keinginan dan kepentingannya masing-masing, asalkan semuanya berada di jalur dan jalan yang sesuai hukum. Jangan sampai bangsa ini secara otomatis membangun nilai yang mulai bergeser yakni menjadikan demokrasi semakin destruktif, koruptif, intimidatif, diskriminatif, konfrontatif, dan liberatif. Kepentingan adalah tujuan utama setiap partai politik dan harga mati itu sah-saja, hanya saj perlu diperhatikan segala nilai serta pokok dasar bernegara agar menjadi pribadi yang negarawan sejati membangun bangsa dengan penuh rasa juang yang tinggi dari sanubari sebagai panggilan hati. Dengan begitu berpolitik memelihara akal sehat, menjaga nalar konstruktif, dan mengembakan nilai integritas di dalamnya. Apapun itu visi, misi, tujuan, anggaran dasar, anggaran rumah tangga, perencanaan, agenda sekaligus filsofinya di setiap partai politik yang ada, tetap ideologi ketuhanan, ideologi pancasila, ideologi kesejahteraan, ideologi keadilan dan ideologi kemanusiaan adalah pondasi dasar negara yang lebih utama serta harus prioritas yang memahang harus diutamakan di atas segalanya termasuk segala kepentingan dalam politik tentunya.

Minggu, 15 Juli 2018

Halal Haram Hantam Habiskan


Oleh : Al Azzad 

Sistem demokrasi menjadi rumah bersama dari berbagai paham dan ideologi untuk memainkan peran serta agendanya masing-masing. Di era reformasi gong dan gaung kebebasan semakin melebar sekaligus meluas di setiap aspek dalam urusan kenegaraaan. Semua dengan prinsip dasar, pondasi fundamental, agenda kepentingan, dan eksistensi kekuasaan yang disusun sedemikian rupa guna menata kehidupan berbangsa maupun bernegara. Aspek politik khususnya, menjadi bagian penting dan dominasi utama dalam menentukan arah kebijakan nantinya bila telah memegang kekuasaan melalui mekanismenya yang telah dilegitimasi. Tak jarang memang politik hanya selalu dikuasai dan dimenangkan oleh para elit, mafia, korporasi, bandar, bandit, dan agen-agen yang terus bermain di dalamnya dari skala lokal, regional, nasional maupun internasional. Semua memiliki kepentingan, sehingga tak pernah lepas dari campur tangan baik secara langsung ataupun tidak langsung. 

Perhatian khusus tersorot pada paham Liberalisme, Sekularisme,  Kapitalisme dan Komunisme yang meski telah lama dibubarkan sesuai dengan aturan hukum yang telah berlaku. Paham-paham tersebut memang sangat luas kebebasannya dalam mengurusi negara untuk membangun segala sektor pembangunan. Tak jarang semua aturan pun dapat merusak falsafah Pancasila dan Uud 1945 maupun aspek Agama. Sehingga segala hal dapat dilakukan dengan menghalalkan segala cara, sebab semua hal menjadi hal bila telah diputuskan secara bersama. Sehingga tak peduli haram karena haram pun dapat menjadi halal bial telah disepakati dikarenakan para aktor yang tidak berlatar belakang dengan agenda Agama. Semua hal bisa dihantam atas nama undang-undang dan mampu mencari celah-celah hukum sekaligus drama pembenaran bila kekuatan kekuasaan berada ditangan. Akhirnya segala apa yang telah dimiliki negara pun dihabiskan menjadi kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Ini bukan berarti menentang demokrasi, melainkan sebuah fenomena terburuk bagi kaum yang menjunjung tinggi nilai Agama dan Pancasila. 

Unsur mayoritas dan minirotas pun tak menjadi hal penghambat, meski negara ini mayoritas Agama Islam namun agenda Islam sangat sedikit ruang dan spacenya kalau pun ada hanya sebagian kecil saja itu pun masuk pada ormas atau kelompok tertentu saja. Sebab yang dipakai memang bukan nilai ajaran agama Islam melainkan paham dan ideologi itulah yang menjadi ide sekaligus pondasi dalam menyusun agenda kekuasaan. Kalaupun Islam menjadi sebuah paham dan ideologi yakni Islamisme, maka dianggap sangat radikal, ekstrim dan berpotensi mengulang sejarah kelam dari kebangkitan pemberontakan kelompok ekstrim kanan yang meskipun pada dasarnya bagian dari perlawanan terhadap kelompok ekstrim kiri yang sama-sama dilarang secara hukum. Islam di negeri ini pun secara umum tergambarkan dan dikategorisasikan setidaknya menjadi tiga bagian yakin Islam kanan, tengah dan kiri yang semua dapat terintegrasi, terkoneksi dan terinjeksi dengan paham maupun ideologi-ideologi yang ada. Sehingga menganut paham Dualisme-Agama yakni beragama sekaligus menganut paham baik Liberalisme, Sekularisme, Kapitalisme, Komunisme dan paham lainnya. Itulah kenapa istilah dari Islam Liberalis, Islam Kapitalis, Islam Seklueris, Islam Komunis, Dan istilah lainnya. Karena memang secara individu jika dilihat aktornya mayoritas beragama Islam namun agendanya sesuai agenda paham yang dianut.

Sehingga istilah halal-haram-hantam-habiskan itu memang benar adanya di negeri dan bangsa ini. Tak peduli dari latar belakang agama apa, karena secara prinsipnya hampir sama yang membedakan hanya pada pilihannya masing-masing. Inilah yang menjadikan negeri ini jauh dari perjuangan para pendahulu yang memang sangat idealis dan idelogis namun berada pada tataran menegakkan keadilan, kesejahteraan dan ketuhanan secara benar tidak terkontaminasi virus 4 H tersebut. Inilah yang dinamakan virus, wabah, penyakit dan kuman di dalam demokrasi Indonesia yang harus dihancurkan, dimusnahkan dan ditenggelamkan oleh pada manusia yang berprinsip jauh lebih mulia. Jangan sampai komponen demokrasi baik itu legislatif, ekskutif dan yudikatif diisi oleh manusia tidak berintegritas dan bernilai. Sehingga negara dapat berjalan lebih cepat bergeraknya dengan budaya berkemajuan dan keikhlasan dalam membangun bangsa ke depan yang lebih baik.

Hal ini menggambarkan realitas dan keadaan yang begitu nayata serta bukan menjadi makar bagi negara Indonesia. Melainkan sebagai bentuk keprihatinan atas kerusakan sistem negara, sehingga rakyat secara keseluruhan perlu diedukasi, diajarkan, ditanamkan pendidikan politik sejak dini dengan nilai-nilai yang bermartabat. Jangan sampai virus 4 H dari halal-haram-hantam-habiskan menggerogoti APBN/APBD dengan cara-cara dan tangan-tangan kotor tidak bertanggungjawab. Negeri ini harus dibangun atas dasar prinsip sekaligus azas ketuhanan agar mendapatkan kemulian, keberkahan dan kemakmuran. Wajah bangsa ini jangan dirusak dengan sebuah sistematika dan struktur yang cacat, amoral dan destruktif. Melainkan mesti dibangun, dikembangkan, dan ditanamkan benih serta bibit berkualitas yang tidak akan melumpuhkan pondasi dasar negara yang baik serta mampun membendung serangan-serangan kepentingan dari arah mana saja serta dari isu-isu apa saja bahkan dari agen-agen manapun, sebab ini negeri BekeTuhanan yang Maha Esa dan bukan negeri Menuhankan Manusia menjadi Maha Kuasa atas segalanya. Belajar dari sejarah panjang bangsa sendiri maupun bangsa lain, kemudian lalukan sebauh terobasan kemajuan tanpa menghapus dan menenggelamkan sejarah hanya karena ambisi-ambisi ingin merebut bangsa yang besar dan berlimpah ini. Karena ini bangsa yang besar, maka masyarakat ataupun rakyatnya adalah masyarakat yang BerkeTuhanan.

Sabtu, 14 Juli 2018

Sebuah Fenomena Berbalik Arah


Oleh : Al Azzad 

Akhir-akhir ini dinamika kebangsaan diperlihatkan dengan femomena unik lagi menarik yang memberikan nilai positif dan negatif terhadapnya. Anak bangsa yang saling memiliki pilihan dukungan terkadang larut dalam situasi loyalitas dalam membela pilihan masing-masing. Sehingga tak jarang sebagian telah masuk dalam fanatisme yang akhirnya selalu menebarkan kebencian dan permusuhan baik di sosial media maupun di kehidupan sosial secara nyata. Nalar intelektual masyarakat di ranah publik semakin menjadi nirnalar, amoral, anomali dan destruktif. Tidak ada lagi dialog dan diskusi terbuka dengan sikap besar hati melainkan hanyalah saling serang, saling berbantahan, saling menyudutkan yang ini terjadi dari kalangan bawah sampai kepada sebagian elit. Semua ingin menjadi pemenang dan super power sehingga tak ada yang menjadi wasit atau bahkan pihak mengalah, karena mengalah pun dianggap kalah. 

Di dalam urusan kekuasaan itu selalu berlalu hukum roda berputar, yang artinya kadang di atas dan kadang di bawah atau kadang berkuasa pada posisinya dan terkadang tidak berkuasa menjadi oposisinya. Sebab setiap urusan selalu ada dinamika yang terus berkembang, sehingga setiap masa punya problematika dan punya warna kebijakan tersendiri yang tak akan bisa dipaksakan untuk selalu sama. Hanya saja perubahan ke arah perbaikan dan kemajuan sangatlah penting, itulah kenapa bila urusan dianggap tidak memberikan jawaban sebagai solusi perbaikan dan kemajuan maka selalu menginginkan sebuah perubahan maupun pergantian. Tentu semua akan berjalan dengan semestinya sesuai dengan jalur koridor yang benar berdasarkan kedaulatan rakyat karena harus mampu mensejahterakan rakyat secara keseluruhan. Semua dengan gayanya, jalannya, pilihannya, pandangannya masing-masing dan hanya saja jangan sampai pada nilai keburukan serta kekeliruan yang sistematis dengan secara sengaja membuat keburukan melalui jalan legitimasi kekuasaan yang disalahgunakan. 

Sebuah fenomena berbalik arah bangsa saat ini sangat tidak mencerminkan nilai dan azas pancasila. Dari tokoh yang berbalik arah dukungan, dari kader yang berpindah partai, dari pendukung menjadi pencela, dari valid menjadi hoax, dari benar menjadi salah, dari maju menjadi terpuruk, dari sejahtera menjadi sengsara begitu pula sebaliknya atau kebalikannya yang mungkin saja pun akan terjadi. Ini yang membuat bangsa ini bisa lemah dalam arti bukan pesimis melainkan peradaban yang semakin merosot. Harapan dan optismis selalu ada dan bahkan menjadi jiwa nasionalisme serta patriotisme, namun bila salah jalannya pun bisa saja dapat merusak dan menghancurkan sendiri sehingga bangsa ini kembali berada ditangan para penjajah, imperialis, kolonialis di era globalisasi. Negeri yang sangat kaya raya sumber daya alamnya, namun hanya sedikit manfaat serta hasilnya yang bisa didapatkan itu pun kebanyakan besar berada di kalangan elit. Manusia-manusia berkualitas pun yang saat ini mulai tak lagi hadir, karena semua hanya sibuk mencari kepentingan yang mengesampingkan kepentingan rakyat dan bangsa. 

Fenomena berbalik arah ini bila jalurnya pada sebuah nilai kemunduran maka sangat berbahaya sekali. Bila berbalik arah pada hal kebaikan dan kemajuan tentu sangat bagus serta menjadi prioritas. Apalagi para tokoh nasional, politisi dan sebagain ulama menunjukkannya dalam fenomene berbalik arah ini membuat masyarakat kebingungan dan kehilangan nilai integritas. Padahal akan jauh lebih baik bila memegang prinsip dasar yang kuat tanpa harus berbalik arah, karena semua juga bakal ada masanya sendiri sebab roda akan terus berputar tinggal bagiamana bisa bertahan atau justru mengalah lagi menyerah. Contoh sederhana sebagai analoginya bila kendaraan berada di jalan tol yang lurus kemudia ingin berbalik arah melawan arus maka sangat berbahaya, dan itu yang terus dipaksa dengan terus melakukan pembenaran sekaligus memaksakan kepentingan dengan berjuta argumentasi sebagai alasan yang terus dipaksakan logis maupun ilmiah. 

Tidak elok dan etis rasanya bila berbalik arah terhadap tujuan yang sesaat dan sesat terus dipaksakan dengan pembenaran lalu didukung oleh berbagai instumen sebagai modal kekuatan entah media, institusi dan sebagainya. Nilai budi pekerti yang diajarkan para leluhur bangsa semakin hilang dan tak lagi dihiraukan, justru yang ada ialah melakukan inovasi dengan pembaharuan yang lebih buruk pada arah dan kiblat yang notabene dari penjajah sehingga jadilah mental-mental penjajah abad modern yang secara sadar atau tidak sadar dan secara langsung atau tidak langsung merusak bangsa sendiri. Maka perlu kesadaran untuk terus memperbaikinya dan mengoreksinya agar ke depan semakin lebih baik dan jangan sampai ada lagi sebuah fenomena berbalik arah kepada burukan menjadi budaya dan pilihan untuk melakukan aksi yang tidak seusai dengan nilai kebangsaan.

Jumat, 13 Juli 2018

Kombinasi Umaro Dengan Ulama


Oleh : Al Azzad 

Untuk mendapatakan keberkahan dan kemajuan dalam suatu bangsa perlu adanya kerjasama yang baik. Negeri yang begitu luas dengan berbagai macam perbedaan dan kemajukan menjadi nilai tersendiri untuk dapat mewarnai bangsa ini dengan penuh ketulusan. Tidaklah mudah untuk menyelesaikan segala masalah, namun tidak pula susah untuk mendapatkan solusi hidup berbangsa dan berbudaya. Aspek politik khususnya yang mengatur segala tatanan kehidupan sebagai bentuk kekuasaan dalam mengatur pemerintahan dan juga masyarakat ataupun rakyat. Sehingga semua harus mendapatkan haknya sekaligus kewajibannya dapat terlaksana dengan baik serta mengayomi seluruh kalangan ataupun elemen. Itulah pentingnya hidup berbangsa, bernegara dan beragama agar semua berada pada jalur koridor yang benar sesuai aturan, norma, hukum, undang-undang, etika, moral dan budaya. 

Di dalam demokrasi ada siklus pergantian pemimpin dan kekuasaan maupun kondisi dalam memilih, mengangakat dan mengakui pemimpin untuk menjalankan pemerintahan yang sah melalui legitimasi hukum berdasarkan kedaulatan rakyat. Sehingga pemimpin pemerintahan menjalankan amanat sesuai undang-undang dan konstitusi sehingga tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk pribadi atau kelompok atau justru secara secara bersama melalui jakan legalitas untuk menyelewengkan kekuasaan yang mencederai rakyat berserta demokrasi tentunya. Karena demokrasi akan tumbuh maju dan berkembang sekaligus menjadi sebuah peradaban yang maslahat dan manfaat tergantung pada kualitas pemimpin, kualitas rakyat dan kualitas ulama. Semua tidak dapat dipisahkan karena saling mendukung, membahu, dan menguatkan segala sumber daya yang ada. 

Banyak hal yang terlupakan bahwa peran ulama juga sangat penting, baik yang berada di luar urusan politik maupun yang terintegrasi dengan politik bahkan yang sekaligus masuk di dalam dunia politik. Demokrasi yang juga sekaligus mewadahi berbagai macam paham dapat memberikan tekanan dan ancaman bagi kekuatan Islam yang ditopang oleh para Ulama yang ikhlas. Ulama pun tidak harus alergi dengan paham-paham tersebut, sebab itu juga merupakan ladang dakwah untuk terus mengakkan Agama Allah yakni Islam Rahmatan Lil Alamin termasuk kepada berbagai macam paham yang telah ada di negeri ini. Tinggal peran Umaro dan Ulama inilah yang harus saling sinergi, berintegrasi, kombinasi dan berjuang secara kolektif demi mewujudkan kehidupan yang adil dan sejahtera. Dengan begitu tidak menjadi bagian Umaro atau Ulama yang menyimpang, yang keluar dari jalur agama, yang hanya mementingkan pribadi maupun kelompok tertentu sehingga diskriminatif sekaligus yang membawa suasana terpecah belah antar sesama umat hanya karena kepentingan sesaat. Harus menurunkan segala egoisme, arogansi, superior, otoritasi, dan hegemoni maupun dominasi yang bersifat partikulatif serta diskriminatif. 

Kombinasi Umaro dengan Ulama merupakan solusi sekaligus jalan terbaik yang harus menjadi budaya kebangsaan agar tetap bermarwah, bermartabat dan berkemajuan. Sebab untuk menghadirkan kepemimpinan kebangsaan yang totalitas berkarakter harus dengan adanya kombinasi yang saling membangun, mengayomi, mendukung, mengawasi, menasehati, mengevaluasi dan menginisiasi ke arah yang terus diperbaiki dari waktu ke waktu. Dengan demikian rumah bangsa dapat dirawat, diatur dan dikelola sesuai dengan koridor kebangsaan yang berlandaskan ketuhanan demi keadilan dan kesejahteraan. Negeri ini tidak hanya perlu maju dan berkembang hanya karena urusan orientasi keduniaan semata, melainkan harus dikombinasikan dan diintegrasikan dengan keakhiratan yang membawa keberkahan dalam kekekuasaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Maka upaya membangun budaya kombinasi umaro dan ulama adalah merupakan prinsip dasar fundamental yang mesti ditegakkan di negeri agar tetap mendapatkan ridho serta berkah untuk semesta alam.

Kamis, 12 Juli 2018

Dakwah Berkemajuan Yang Mencerahkan

Oleh : Al Azzad 

Situasi kebangsaan saat ini sedang tidak sehat lagi menyehatkan. Hal ini dikarenakan antar kelompok baik kiri dan kanan terus saling berbantahan dari atas pemuka sampai bawah di akar rumput. Belum lagi antar internal Agama yang kian hari sibuk diskusi atau debat pemikiran di dalam agamanya masing-masing dengan situasionalnya melihat segala perkembangan dan dinamikanya. Tak jarang yang menjadi bulan-bulanan serta menjadi arah kebingungan bagi umat serta jamaah yang hanya senang mengikuti tanpa lagi harus banyak berpikir sekaligus mengkaji. Akhirnya dampaknya pun sangat besar bisa tersesatkan, bisa pula tergoyahkan dan bahkan menjadi kehilangan pedoman hidup diakibatkan para pemuka agama baik yang tua dan muda selalu menghadirkan pemikiran Islam dan islam pemikiran yang begitu menekankan nalar intelektual pula untuk memahaminya dengan logika yang sehat. Sehingga metode untuk sebuah ajakan pun mesti harus dirubah lagi, apalagi bila sulitnya melakukan sebuah seruan kebaikan, ajakan kebenaran, dan panggilan keagamaan yang telah dicampuri oleh para pemuka Agama intelektual yang terus bedebat dalam urusan pemikiran.

Hal yang paling mendasar adalah umat menjadi gaduh, galau, bingung, pusing, sehingga merugikan Islam itu sendiri. Akhirnya jumlah populasinya menurun dan tingkat perpindahan agama karena berbagai macam faktornya pun meningkat. Kualitas umat yang belum sepenuhnya terkendalikan justru malah lemah dari segi jumlah akibat degradasi moral yang mulai masuk dalan aspek keagamaan. Akibat dari semua kelompok muslim dari berbagai kalangan dapat dengan mudahnya bersuara secara vokal dengan media yang mudah bibuat, diakses, diproduksi dan didistribusikan melalui instrumen media informasi yang semakin canggih. Sehingga para Da'I, Ustadz, Kiyai, Muballigh, Habib dan pemuka Agama lainnya yang memiliki semangat menjaga persatuan, persaudaraan dan perlindingan terhadap umat mulai terkalahkan sekaligus tergeserkan oleh kelompok yang sama yang lebih kuat pengaruhnya namun lebih menekankan pada kontestasi dakwah terhadap Islam dan Pemikiran Islam. 

Untuk merawat persaudaraan sesama muslim tentu tidaklah mudah, disamping juga merawat kebangsaan sebagai rumah besar dalam mencintai tanah airnya. Sering kali kemajuan dalam Agama terhambat hanya karena situasi yang dibangun ialah selalu dalam perdebatan pemikiran, kontestasi dakwah, diskriminasi golongan, dan narasi keislaman yang sangat beragam. Akhirnya Agama tak sampai pada tataran implementasi, aplikasi, dan realisasi yang diterapkan, diamalkan sekaligus dikembangkan secara nyata demi kepentingan umat secara kemaslahatan. Selalu saja terjebak pada diskursus yang menjebak pada fenomena dikotomi sejarah, politik dan budaya. Seharusnya situasi keberagamaan saat ini divisualisasikan, ditampakkan dan dimunculkan pada arah pesan yang mencerahkan, menggembirakan serta membahagiakan. Dengan begitu esensi Agama dapat dirasakan oleh seluruh elemen yang ada begitu indah memberikan kesejukan. 

Dakwah berkemajuan yang mencerahkan ialah salah satunya yang mesti dilakukan untuk situasi kebangsaan dan keumatan saat ini untuk menjembatani sekaligus membimbing, mengarahkan dan mengingatkan pada setiap peristiwa yang selalu terjadi. Sebab bila dakwah tidak diupayakan dengan strategi dakwah yang sistematis, maka akan kehilangan momentum dan kehilangan peluang dalam menjunjung nilai keadilan. Dakwah berkemajuan memiliki indikasi dan implikasi yang sangat besar dengan tingginya hasil pencapaian nyata di kemudian hari bila situasi bangsa dekat dengan krisis maupun diambang gejolak dunia internasional. Sehingga Islam dan umat Islam akan terselamatkan di kemudian hari serta tidak akan lemah lagi dilemahkan oleh tekanan-tekanan yang arahnya akan merusak akidah, tauhid, keimanan, keislaman dan amalan. Sebab estafet dalam dakwah itu sangatlah penting untuk kemajuan umat di masa yang akan datang sebagai proses menuju peradaban Islam yang berkemajuan dan mencerahkan. Maka dari itu mulai ditanamkan sejak dini keseriusan dan konsentrasi dalam menggapai peradaban, sehingga tidak hanya ketergantungan pada akomidasi dan amunisi negara beserta proyek swasta lainnya yang kemudian hari bisa runtuh akibat perkembangan zaman yang juga merupakan keniscayaan. 

Dengan menerapkan dakwah berkemajuan itu menandakan bahwa pentingnya investasi akhirat baik dalam pemikiran, pergerakan, persatuan dan peradaban Islam di dunia ini dengan nilai ketuhanan yang berketauhidan. Rasional dalam bersikap dan beraktivitas kehidupan sehari-hari, Empati dalam nilai kemanusian sebagai representasi keumatan, dan Progres dalam membangun pondasi-pondasi yang menjadi bangunan-bangunan peradaban Islam dikemudian hari. Karena dakwah hari ini adalah dakwah yang mestinya dan seharusnya mencerahkan, menggerakkan, menggembirakan, membahagiakan tanpa adanya sentimensi yang dibangun baik disengaja atau tidak disengaja. Mulai tinggalkan budaya dan kebiasaan evolutif yang menghambat kemajuan dakwah Islam untuk membina dan memajukan umat yang kian hari jumlah besar ini pun merosot akibat kelalaian-kelalaian. Butuh gerak cepat agar tidak terjadinya situasi stagnan dalam kemajuan Dakwah Islam di era globalisasi, agar tidak pula diserang dari berbagai arah untuk melemahkan pergerakan Islam dalam memajukan dakwah, agar dapat terhindar dari segala tipudaya atau makar sistemik dan agar menjadi kiblat manusia di kemudian hari. Semangat dalam dakwah berkemajuan yang mencerahkan untuk membangkitkan dan memajukan umat dari segala pesoalan dan keterpurukan, sehingga membawa arah kemajuan dakwah yang bernilai tinggi dan menuai manfaat lagi maslahat dikemudian hari serta yang dapat membawa nila ketuhanan yang abadi.

Selasa, 10 Juli 2018

Lemahnya Negara Karena Pemimpinnya


Oleh : Al Azzad 

Fenomena aneh tapi nyata menjadi marak di bangsa ini dan sungguh-sungguh benar terjadi di setiap tingkatannya. Untuk memilih pemimpin dari skala terkecil sampai terbesar jika diambil titik simpulnya akan terlihat sama barometer yang aka dipakai meskipun akan jauh berbeda dari segi sistematikanya, dinamikanya, prosedurnya, mekanismenya dan metodenya. Contoh kecil saja di lingkungan sekolah sebagai aspek pendidikan, sering kali untuk memilih ketua kelas selalu yang menjadi pilihan adalah anak yg cendrung lemah, dianggap netral, mudah ditekan, bermental kacung, bersikap feminis,  rada gemulai, bahkan yang sangat dekat dengan wali kelas atau gurunya, atau justru populer di kelas, bahkan bisa yang paling nakal dan lain sebagainya. Namun rata-rata yang diangkat adalah yang berjiwa lemah atau netral. Hal ini karena adanya tekanan dari teman-temannya yang cendrung lebih mendominasi terhadap kenakalan di sekolah maupun di kelasnya. Sehingga peran ketua kelas harus lemah jangan sampai menjadi tukang mengadu, tukang suruh, tukang pilih kasih atau bahkan yang paling sok bijak dan bermanis muka dengan guru atau wali kelasnya. Bahkan tidak jarang justru pemimpin ketua kelas lah yang menjadi suruhan, menjadi alat untuk tutup mulut terhdap kenakalan-kenakalan yang ada di sekolah maupun di kelas.

Ternyata tidak hanya sampai di situ saja, ini pun mengalir dari tingkatan paling kecil bisa dari TK, SD, SMP, SMA, bahkan ke perguruan tinggi serta di setiap komunitas, organisasi, dan kelompok-kelompok kecil maupun besar. Posisi pemimpin lemah dan netral menjadi langganan terpilih untuk mewakili anggotanya yang didalamnya terdapat dua, tiga atau lebih kubu yang memiliki kepentingan serta keinginan yang berbeda meskipun masih dalam satu barisan tujuan yang sama dalam kelompok ataupun organisasinya. Bila pun ada prestasinya biasanya sangat sedikit dan bahkan kalah dengan anggotanya yang memiliki segudang prestasi dan kemampuan, akan tetapi memilih pada jalan aman sebagai anggotanya saja dan tidak ingin berada di posisi puncak sebagai pemimpin di pucuk kepemimpinan untuk menggerakkan anggotanya. Alasannya pun beragam bisa takut tidak mampu membawa anggota serta organisasi maju, bisa karena tidak berpengalaman, bisa karena tidak memiliki potensi, atau karena banyak anggota yang tidak suka dan lain sebagainya. Inilah fenomena aneh tapi nyata yang ada di bangsa ini, dalam memilih pemimpin pun masih sangat jauh nilai kualitasnya baik manusianya itu sendiri dan kesadarannya. Masih sangat subjektif dalam menilai, memilih, mematuhi, mempercayai dan sebagainya terhadap pengakuan pemimpin. Lebih menekankan pada aspek sosiologis-psikologis ketimbang pada aspek agama-budaya dalam memandang sebuah kepemimpinan yang baik. 

Inilah yang menjadi negara ini sangat lemah dalam menghadirkan kualitas manusia untuk memimpin. Sangat mudah tertekan oleh kelompok yang dianggap keras, ekstrim, nakal, jahat atau lainnya yang lebih banyak mengarah ke arah negatif yakni untuk mengacau balau, menabrak aturan, kriminalisasi, penyelewengan, dan berbagai macam motif buruk lainnya. Di sisi lain juga pemimpin yang sangat dekat ke arah sebaliknya sehingga meninggalkan jauh jaraknya terhadap kelompok tersebut yang seharusnya mampun dirangkul untuk terus diperbaiki, namun ini sangatlah beresiko tinggi butuh keberanian dan nyali. Hal itulah yang terjadi dalam membangun sebuah negara serta mempertahankan dan mengelolanya. Bila negara lemah maka sudah dipastikan yang memimpin jauh lebih lemah karena kenetralan yang tidak memiliki kualitas dan integritas tinggi namun hanya sekedar bahkan tidak dimiliki sama sekali. Akhirnya negara hilang wibawa dan martabatnya, sehingga negara lain sangat mudah melakukan negosiasi, diplomasi, intervensi, ekspansi dan kegaiatan lainnya yang akan mengarah pada neo kolonialisme dan neo imperialisme di era baru dan si seluruh aspek baik politik, ekonomi, budaya, pendidikan, agama, seni, sosial maupun kesehatan serta yang lainnya. Negara hanya menjadi alat dan mainan nansional serta internasional dalam menjalankan misinya baik berdagang, berbisnis, bertransaksi, dan bermain kepentingan yang dapat melemahkan sebuah negara karena kepemimpinan yang sangat lemah. 

Lemahnya negara karena pemimpinnya adalah peristiwa yang sangat miris untuk membangun kedaulatan negara sekaligus mengembalikan kejayaan dalam kemandirian bangsa. Akhirnya negara hanya bermodal ketergantungan dan bermental pengikut dalam permainan politik internasional sekaligus permainan pasar internasional. Dikarenakan negara sangat lemah dibawah kekuasaan para pemimpinnya yang lebih senang bergurau, bercanda ria, bersenang-senang, guyonan, melucu, tertawa-tawa, terbahak-bahak dan bermain-lain layaknya seorang anak-anak yang sedang bermain karena mendapatkan mainan baru tak dapat berpikir jauh bila sudah lelah barulah akan menangis sekencang-kencangnya agar mendapatkan belas kasih orang tuanya. Bila mengurus negara saja tak bisa dikerjakan dan membedakan mana yang urusan pribadi mana yang urusan publik, maka negara akan kacau berantakan karena dianggap lelucon, mainan dan hal lucu yang enteng dan mudah, sehingga kehilangan keseriusan dalam mengelola sebuah negara bagaikan kapal besar yang sedang berlayar yang setiap saat ombak datang menghempas kapal di lautan luas lepas. Sehingga perlu kekuatan, ilmu, pengalaman, mental, jaringan dan segalanya untuk membentuk negara yang kuat, berdaulat dan mandiri. 

Tentu semua berharap agar negara harus dipegang dan dikendalikan oleh para pemimpin yang berkualitas, berkomitmen, berintegritas yang tidak sekedar menjadi juru penyelamat dengan dalih keadilan untuk semua yang tidak diprioritaskan. Jangan sampai negara ini lemah karena setiap kepemimpinan strategis diisi oleh pemimpin lemah, dan akan memberikan efek serta indikasi panjang ke depan nantinya. Negara harus diisi oleh para pemimpin yang berkarakter, berbudaya, berbangsa, bernegara dengan baik yang tidak mencari celah buruk untuk meraih keuntungan pribadi atau kelompok di dalam kekuasaan terhadap negara. Negeri ini subur makmur alamnya, dan tentu harus subur makmur pula manusianya yang berkualitas dan berdidikasi tinggi peduli terhadap nilai ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan dan keharmonisan. Karena dengan begitu akan terhindar dari fenomena miris yakni negara lemah hanya karena pemimpinnya yang sibuk memikirkan perutnya, pribadinya dan kelompok kecilnya.

Senin, 09 Juli 2018

Membangun Semangat Budaya Literasi


Oleh : Al Azzad 

Semakin canggih teknologi dan informasi tidak berarti semakin tingginya peradaban manusia dan yang ada justru sulitnya terbangun budaya literasi dari generasi ke generasi.  Budaya instan sekaligus konsumsi informasi sangat mudah dan cepat namun hanya sebatas kenutuhan singkat. Informasi pun tak selamanya benar sebab informasi negatif, hoax, palsu juga lebih mudah diterima keberadaanya disebabkan mengandung unsur kontrovesi, reaksi, responsif dan viral yang sangat konfrontatif. Untuk mencerna banyaknya informasi yang bertebaran sekaligus bemunculan adalah dengan nilai literasi sebagai bentuk cara, metode, ukuran, baro meter untuk dapat mengoreksi informasi secara benar. Informasi baik dari berita, sejarah, peristiwa, kejadian, fenomena dan apapun itu tentu harus melewati beberapa tahapan seperti adanya usaha untuk melakukan koreksi, usaha melakukan cros cek, usaha konformasi, usaha tabayun maupun usaha lainnya dengan analisis secara ilmiah maupun empiris. 

Informasi yang sedang marak dewasa ini adalah melalui sosial media baik itu facebook, wa, tiwitter dan instagram yang paling popular bahkan media-media mainstream atau media kredibel atau legal pun bisa terjebak melakukannya baik sengaja atau tidak disengaja. Namun informasi hoax selalu memberikan suasana yang tidak harmonis dan membawa semangat kerukunan juga akan terus menghilang. Masyarakat dunia maya atau disebut netizen pun banyak yang terjebak dengan informasi hoax yang terus merajalela. Bahkan sebagian mereka menjadi produsen informasi hoax demi mendapatkan keuntungan secara finansial ataupun kepentingan lainnya. Sekalipun adanya undang-undang ITE tidak membuat mereka ketakutan atau lumpuh, karena hukum pun terkadang tidak menjunjung nilai keadilan. Artinya kepastian hukum yang lemah dan keberpihakan hukum pada Individu dan kelompok tertentu sangat besar. Terkadang informasi hoax juga bagian dari resistensi terhadap ketidakadilan bahkan menjadi alat kekacuan sosial baik di dunia maya maupun nyata. Ini juga karena lemahnya budaya literasi pada netizen dan masyarakat karena terlalu ektrim pada hal-hal yang instan serta apatisme yang tinggi. 

Tingkat kecerdasan manusia ternyata tidak lagi diukur dari segi budaya literasinya melainkan dilihat dari segi kreativitas instan yang membangun fenomena eksistensi dengan cara viralisasi dari berbagai macam bentuknya. Cerdasnya hanya melihat paradigma digital yang hanya melihat berita dari setiap kejadian namun tidak cerdas dari mengukur berita tersebut melalui jalur yang benar untuk mendapatkan substansi informasi yang bertebaran, berceceran dan bertaburan luas yabg dengan mesin-mesin aplikasi dapat diakses dengan mudah tanpa adanya filterisasi. Menjadi ancaman, virus buruk bagi kecerdasan lintas generasi dan penyakit masyarakat sosial media yang dusta, palsu, hoax dan bohong. Sehingga harus ada penanganan yang tepat untuk menangkalnya dan harus dibangun kembali semangat budaya literasi yang kembali pada semangat membaca, menulis, belajar dari berbagai sumber, literatur, referensi yang ilmiah, benar, empiris, valid dan legal. Semua dengan berbagai tahapan yang serius dan penuh konsentrasi yang tinggi dalam membangun budaya informasi yang menjunjung tinggi validitas informasi tentunya.

Membangun semangat budaya literasi harus mulai digalakkan, digaungkan, dan digemakan kembali agar semua dapat mempelajari segala sesuatu dengan baik dan benar. Tidak dengan serta merta menerima segala informasi secara mentah, serampangan dan sembarangan begitu saja. Tentu dimulai dari membangun daya baca, daya tulis, daya pikir, daya filter, daya tafsir, daya koreksi dan daya intelektual agar dapat mencerna, menulis, membagikan, memahami sekaligus menafsirkan segala informasi yang ada. Tidak mudah dan tidak pula sulit selagi terus berupaya untuk terus mencapai kemajuan dalam budaya literasi yang mencerahkan dan mencerdaskan. Semua harus dipertanggungjawabkan bagi seorang penulis sekecil apapun karya tulis nya dan iti juga termasuk bagi pembaca sekliagus yang ingin membagikannya sebagai bentuk informasi yang dirasa menarik serta sesuai dengan pemikiran karena terwakilkan dengan informasi yang telah dituliskan. Jangn sampai produsen hoax merajalela dalam mengembangkan sekaligus membangun informasi yabmng dapat membingungkan masyarakat, memcah belah, membuat kegaduhan, menyinggung isu SARA, mengadu domba, merusak hamonisasi, dan membodohi publik dengan tulisan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. 

Dengan membangun semangat literasi artinya adanya sebuah harapan yang bagus untuk diwujudkan dalam mencedaskan kehidupan bangsa. Dari aktivitas menulis, membaca, menginterpretasi, menelaah, menganalisis dan sebagainya adalah bagian dari budaya literasi yang positif dan progresif. Terus mengcounter segala bentuk pembodohan publik melalui adanya fenomena untuk merusak budaya literasi dengan adanya budaya amoral dan anomali yang mencederai seluruh anak bangsa di era teknologi dan informasi ini. Karena dengan budaya literasi inilah akan menyelamatkan anak bangsa dari segi pemikiran, idelogi, imajinasi, harapan, semangat, mindset serta karya maupun kreativitas lainnya yang dapat membangun semangat literasi yang berkemajuan lagi mencerahkan demi peradaban manusia yang berkarakter dan berkahlak mulia tentunya.

Kamis, 05 Juli 2018

Meredupnya Gerakan Aktivis Mahasiswa


Oleh : Al Azzad 

Era Milenial telah menampilkan wajah baru generasi muda dalam kehidupan sehari-hari. Budaya digital, gudget, sosial media, dan aktivitas cyber lainnya menjadi pola hidup masa kini. Begitu aktif di dunia maya seakan melampaui batas-batas dan mampu menguasai dunia dalam genggaman sekaligus dalam hitung detik. Namun menjadi kaku serta beku di dunia nyata seakan dunia begitu berat sehingga sangat apatis dan skeptis terhadap segala problematika sosial. Menjadi bangga dengan karakter pribadi yang eksis karena jalan narsis dengan banyakanya pengikut, penonton, pemuja, pendukung, pecinta, pembenci dan semuanya melebur jadi satu. Semakin banyak dan popular di sosial media maka semakin mendapatkan panggung ketenaran yang tergantung bakatnya bisa dalam entertainment, infortainment, edutainment, polithictainment, sociotainment, dan lain sebagainya yang akhirnya menjadi ajang hiburan, ketenaran, popularitas serta pengakuan. 

Generasi milenial di kalangan mahasiswa khususnya semakin mulai bergeser perkembangannya. Kini generasi menjadi miskin literasi namun kaya eksistensi, pola pikir sangat apatis dan realistis sehingga sulit menemukan yang masih ideologis dan idealis. Mahasiswa milenial tidak lagi hanya kehilangan idealitas melainkan untuk mengimbangi dengan realitas saja sudah tidak ada bahkan realitas saja redup menjadi mahasiswa kreativitas yang transaksionalitasnya tinggi maupun tingkat popularitas yang terus dikembangkan. Jadilah mereka mahaiswa aktivis sosial media yang juga tidak kaya pemikiran sehingga tak pernah ada kontribusi, solusi dan progres yang bisa diberikan untuk membangun bangsa yang besar ini. Semua terjebak pada budaya konsumtif aplikasi, konsumtif fashion, konsumtif ane food, konsumtif traveling, dan lain sebagainya. Kompetisi dalam setiap ajang prestasi pun sangat relatif kecil, prestasi mulai bergeser dengan bermodalkan viral bila mendapatkan panggung popularitas secara mendadak dengan adanya booming yang kuat. Hal ini pun menjalar kepada kalangan pelajar, remaja dan anak-anak sehingga semua terbolak balik. 

Setiap ada perosalan bangsa terkait kebijakan kontroversial ataupun musibah kebencanaan, berita aktual, informasi korupsi, kegaduhan sosial semua hanya cukup dengan membuktikan suara-suara kicauan di sosial media semata. Tiada lagi aksi, gerakan, demonstrasi, panggung keadilan atau semacamnya yang hadir di permukaan melalui para aktvis mahasiswa. Semua berada pada almamater masing-masing dengan tingkat kesibukan akademik yang tak bisa ditinggalkan akibat mengikatnya aturan. Ruang yang dapat dicapai semakin sempit, sehingga lebih ditekankan pada kegiatan prestatif bersifat minat, bakat, hobby, kemampuan dan kegemaran para mahasiswa. Lebih garang di dalam kampus agar terlihat populer atau senioritas atau kebanggaan lainnya. Bila pun ada sebuah gerakan aksi maupun demonstrasi telah menjadi fenomena transaksional, aksi tebengan, maupun digerakkan karena adanya kepentingan individu ataupun kepentingan kelompok ataupun kepentingan korporasi ataupun kepentingan yang sangat profit oriented. Sehingga aksi pun tak lagi murni Idealisme dan ideologi dari para aktivis mahasiswa melainkan aksi tebengan bersifat politis melalui jalur-jalur dukungan kontrak politik. 

Meredupnya gerakan aktivis mahasiswa menjadi fenomena agen of chage terburuk di era milienial. Suara tergadaikan, idealisme terbayarkan, pemikiran tergeserkan, kekuatan tesudutkan, keberanian terhapuskan dan perubahan terasingkan. Suara hati nurani, suara yang mendengar setiap jeritan rakyat kecil, rakyat tertindas dan rakyat lemah tak lagi dapat didengarkan sehinga tidak peka, non empati bahkan acuh pada lingkungan kondisi masyarakat sektiarnya. Pada akhirnya hanya berbangga dengan aksesoris yang dimilikinya baik dari kendaraannya, kampusnya, pakaianya, nilainya, gudgetnya, sosial medianya, status sosial dan sebagainya yang dimiliki. Mulai adanya stigma dan paradigma bahwa dengab adanya sebuah gerakan, aksi, demonstrasi atau yang lainnya dapat menbuat gaduh kebangsaan, membawa ketidakharmonisan sekaligus ketidaknyaman, memberikan sentimen yang tinggi, dan mengganggu aktivitas lainnya. Semua karena kehilangan nilai yang sangat esensial di seluruh elemen dan lapisan masyarakat di era milenial ini. 

Sudah saatnya mahasiswa bangkit dari tempatnya dengan warna baru yang mencerahkan di era milenial ini. Jangan jadikan alasan-alasan anomali dan fiktif sebagai senjata argumentasi hanya karena fenomena telah berubah. Karena bangsa ini membutuhkan para aktivis mahasiswa yang terpanggil jiwa raganya, rasa solidaritasnya, nilai kemanusiaannya dan seluruh tumpah darahnya untuk membangun, menjaga, merawat, mengawasi, mengembangkan, mengelola, dan mengatur segala tatanan kehidupan yang berkeadilan, berkeadaban dan berkemajuan. Semua tentunya untuk seluruh manfaat nusa bangsa dan agama dalam bingkai NKRI yang tercinta ini. Mulai peka dengan segala isu, diskursus, persoalan, problematika, berita, dinamika, perkembangan dan segalanya agar membawa bangsa ini berada di jalan undang-undang seperti yang telah dicita-citakan oleh para pendahulu. Karena dari para aktvis mahasiswa inilah bangsa ini akan bermartabat, berbudaya, dan bekualitas. Jangan sampai kalah dengan konstetasi dunia internasional serta mampu melakukan resistensi terhadap segala proaganda sekaligus konspirasi jahat yang terus menggempus bangsa ini baik secara langsung maupun tidak langsung dan tetap berada pada jalur konstitusi yang benar untuk membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tenggelamnya Gaya Politik Pencitraan

Oleh : Al Azzad  Ada masa dimana dulu demokrasi sempat heboh dengan model politik pencitraan yang dikemas apik sedemikian rupa. Dit...