Jumat, 31 Agustus 2018

Bahayanya Model Politik Anarkis


Oleh : Al Azzad 

Ketika berkuasa maka semua bisa diatur sedemikian rupa. Begitulah kira-kira fenomena kekuasaan dalam kehidupan manusia, karena kuasa semuanya ada dan karena kuasa apa saja menjadi bisa. Satu hal yang paling urgensi dalam teori kekuasaan ialah berkuasa untuk berdaya dan memiliki sumber kebijakan multidimensi, artinya *the power of policy* menjadi alat kekuasaan yang tak terbantahkan. Aturan itu dibuat jikalau punya kuasa dan aturan dapat dilanggar pun demikian jikalau memiliki kuasa yang besar. Kekuasaan selalu identik dengan arogansi yakni menang sendiri, benar sendiri, hebat sendiri, besar sendiri yang ujungnya merupakan klaim dan pengakuan mutlak yang tak bisa dibantahkan oleh siapa pun selagi kekuasaan berada di pundak dan digenggaman. Resistensi pada kekuasaan akan memberikan efek tragis dan efek dramatis, artinya bahwa semakin kuat menentang kekuasaan maka semakin tersakiti dan semakin menjadi drama yang tidak dapat disentuh maupun diubah kecuali oleh sutradara atau sang skenario pemiliki alur dramanya. Upaya resistensi terhadap kekuasaan memberikan pukulan serta tamparan secara politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama. 

Dibalik kekuasaan selalu ada benteng pertahanan diluar perthanan secara formal ada model yang namanya anarkisme kekuasaan. Anarkisme kekuasaan adalah paham perlawanan secara keras dengan menggunakan kekuasaan melalui instrumennya sebagai alat untuk memukul, menggebuk, menghantam, melibas, menghakimi, menghajar dan membiarkannya. Anarkisme kekuasaan akan digunakan ketika kekuasaan berada diujung tanduk serta ketika berada pada situasi terburuk dan terjatuhnya wibawa serta martabat kekuasaannya. Dampaknya tidak hanya pada kubu bersebrangan atau yang resistensi melainkan sangat frontal pada internal lingkungan kekuasaan sendiri akibat sensitivitas yang semakin meningkat karena gejolak perlawanan. Kekuasaan itu selalu menganut azas tunggal kebenaran dan azas tunggal keadilan. Sehingga siapapun tidak dapat bernegosiasi dan mampu menepisnya termasuk Pemilik kekuasaan itu sendiri. Karena kekuasaan yang terlalu berlebihan tidak akan sanggup dikendalikan oleh pemegang kekuasaan sendiri, sehingga egoisme dan aroganisme membanjiri sikap, perilaku dan pemikiran. Itulah kenapa kekuasaan harus diimbangi dengan nasehat kebenaran. Akan tetapi hal itu pun tak kan mampu mengendalikannya bila advice tidak memiliki impact yang signifikan. 

Bahayanya model politik anarkis ialah strategi politik untuk mematikan lawan dan kelompok yang bersebarangan dengan kekuatan kekuasaan, politik anarkis itu mencerminkan ketika berdebat ia mencaci, ketika berdialog ia sangat monolog, ketika dikritisi ia melakukan resitensi, ketika diingatkan dia justru menghantam, ketika diawasi ia menghabisi dan ketika jatuh ia menghancurkan segala yang ada. Politik anarkis itu bentuknya ialah berbeda pilihan dan pandangan politik akan tetapi melakukan kekerasan, melakukan persekusi, menebarkan ancaman bahkan intimidasi yang selalu dipolitisasi demi mengaja benteng pertahanan kekuasaan. Bermain playing victim, pembunuhan karakter, rekayasa aksi serta konfrontasi aksi adalah bagian dari model politik anarkis. Pendekatan model politik anarkis ini tidak spontanitas atau improvisasi, melainkan sistematis melalui sebuah mapping plan ataupun pemetaan perencanaan yang berjalan sinkron antara input-proccess-ouput. Cara kerjanya pun beragam dari mobilisasi massa, brainwatch, mengumpulkan segala sumber daya, strategi provokasi, aksi huru hara, dan kerusuhan massa. Semua berjalan sesuai perencanaan dan skenario yang bagian dari by desgin baik atas perintah, pesanan, dan program agenda. 

Bahayanya model politik anarkis tentu akan merusak, mencederai dan menghancurkan demokrasi sebagai sistem kekuasaan musyawarah model abad modern masa kini. Politik anarkis itu bagian dari agenda kekuasan untuk merekayasa situasi dan keadaan agar dapat memberikan rasa takut dan ancaman pada kelompok yang ingin resistensi kepada pemegang kekuasaan dengan cara soft, senyap dan sangat implisit. Permainan yang sangat politis sekaligus terkoneksi dengan operasi dan misi intelijen dalam menciptakan keadaan yang sangat tidak kondusif, stabil dan aman. Model ini dapat digunakan siapa saja dengan latar belakang apapun, hanya saja yang membedakannya ialah hasil dan efeknya ada yang akhirnya terbaca publik namun adapula yang tak mampu dibaca serta dianalisis oleh publik. Karena desainnya memang sangat senyap namun dampaknya sangat ril dan nyata terjadi di lapangan. Pelakunya bisa diambil dari latar belakang mana saja, asalkan terkena indikasi dan implikasi doktrin, paradigma dan dogma kekuasaan yang terlah diinjekkan kepada setiap kepala, otak dan pemikirannya. Hampir serupan dengan aksi terorisme namun tidak sekestrim dan seradikal itu. Karena anarkisme dilakukan secara sadar dan tahu arahnya. Sebab model politik anarkis ini ada kompensasi dan keuntungan sekligus manfaat yang didapatkan, bahkan jaminan perlindungan baik secara hukum ataupun secara ikatan non struktural akan dibela. 

Tentu bahaya sekali bila model-model politik anarkis ini terus dilakukan baik di musim politik ataupun di luar musim politik. Modusnya tentu selalu melakukam ajakan secara persuasif dengan adanya iming-iming, upah atau apapun bentuk pemberiannya karena memang digunakan untuk sebagai alat transaksi politik anarkis yang tidak sekedar cuma-cuma namun ada hitung-hitungan keuntungan dibaliknya. Modus dengan memobilisasi massa baik banyak atau sedikit besar atau kecil tetap bagian dari permainan model politik anarkis, hal ini memang sulit dibuktikan secara hukum namun keberadaanya sangat ril, nyata, fakta dan terasa realitasnya. Karena memang kekuatan permainan ini bagian dari mesin kekuasaan untuk mengokohkan benteng dan pondasi kekuasaan terhadap resistensi yang ada baik dari kalangan bawah ataupun atas. Situasinya memberikan kekacauan secara sosial dan budaya, akan tetapi secara politik di sisi lain menguntungkan dan di sisi lain pula merugikan. Tergantung bagaimana respon yang ada serta output dan outcome yanh terjadi, sebab bisa juga keluar dari rencana dan dari formasi atau plan2 yang ada. Nalar inetelektual dan akal sehat menjadi hal penting untuk mencegah skenario-skeneario dari permainan model politik anarkis yang sangat membahayakan ini, karena dapat merusak moralitas bangsa, intelektualis bangsa dan spritualitas bangsa.

Kamis, 30 Agustus 2018

Persekusi Bagian Dari Demokrasi


Oleh : Al Azzad 

Dalam demokrasi selalu ada perbedaan dan perbedaan itu dilindungi secara hukum bila memang tidak melanggar. Demokrasi itu ada yang oposisi atau di luar pemerintahan dan ada yang posisi atau berada di pemerintahan sebagai pemegang kekuasaan atas kemenangan. Tidak sampai disitu pula, demokrasi menghadirkan situasi yang namanya persekusi kepada yang tidak sepemahaman, artinya perlakuan diluar tindakan hukum oleh individu maupun kelompok sebagai oknumnya. Namun demokrasi pun menghadirkan situasi ganda yakni intervensi kepada perangkat negara atau instrumen negara atau komponen negara untuk menghadang kelompok yang berbeda karena dinilai mengancam kekuasaan ataupun menggoyang kursi sekaligus singgasana kekuasaan. Sistem demokrasinya mungkin pilihan yang cukup baik, hanya saja manusia yang menjalankan sistem tersebut belum cukup baik baik secara intelektual, spritual, sosial, emosional, manajerial dan profesional. Karakter manusia yang berdemokrasi masih sangat jauh bahkan cendrung kontradiktif dan bertolak belakang dengan sistem demokrasi yang bangun. Sehingga demokrasi bagaikan sebuah sistem yang setiap kepala negara akan berbuah haluan sesuai dengan cita rasa model kekuasaan yang diinginkan. 

Idealnya dalam berdemokrasi ialah sepakat untuk tidak sependapat dan sepakat untuk tetap bermufakat menjunjung tinggi martabat demi situasi yang maslahat. Artinya tentu ada yang sepemahaman adapula yang bersebrangan, namun tetap taat hukum dan konstitusi yang dilakukan sesuai dengan aturan yang ada. Hanya saja saat ini alat demokrasi mulai lemah mengalami distorsi dan diskresi yang sangat jelas, menjadi jelas bahwa demokrasi akan lumpuh kepada kekuasaan dan negara tidak dapat memegang ideologi serat netralitas dalam mengayomi masyarakat yang berbeda pandangan. Sepertinya para pemimpin tidak belajar dari setiap pemimpin dan rezim terdahulu, bahkan malah melakukan replikasi dan duplikasi kejahatan demokrasi seperti sejarah masa lalu sebagai bentuk putusan yabg dianggap legal dan dilegitimasi. Demokrasi pun tidak hanya persoalam pada sistemnya, melainkan pada sumber daya manusia yang menjalankan sistemnya dan tentu otoritas penuh kepada golongan penguasa yang memiliki kekuasaan atas kemenangan melalui kontestasi demokrasi. Di sanalah akan terlihat kepada siapa sistem demokrasi jatuh berada ditangan siapa dan bagaimana manusia-manusia itu menjalankan sistem demokrasi karena kemenangan atas kekuasaanya. 

Persekusi bagian dari demokrasi bukan hal baru dan bukan pula hal tabu. Sebab realitanya itu dibiarkan, dipertontonkan, diwadahi bahkan difasilitasi serta bisa disistemisasi sedemikian rupa melalui alat kekuasaan. Persekusi seolah menjadi alat penguasa secara implisit yang tidak diperlihatkan secara publik namun fakta dan realitasnya ada. Tentunya penguasa akan menghadirkan edukasi secara publik yang ditampakkan secara eksplisit dan jelas bahkan melalui media-media sebagai framing penambah cita rasa kemesannnya agar terlihat indah dan rapi. Persekusi adalah bagian demokrasi untuk membumkan kelompok bersebrangan dan untuk mengahantam golongan yang berbeda pandangan serta menghantam Individu yang kritis terhadap kekuasaan. Itulah kenapa perskusi menjadi halal, legal dan sangat aktual dalam demokrasi. Ini sudah tebrukti melalui sejarah di masa lalu baik ketika orde lama dan orde baru, mungkin hanya istilahnya saja yang belum lahir namun esensi dan substansi serta modelnya serupa. Bila tidak ingin mengambil resiko dalam keadaan ini maka dekatlah pada penguasa serta ikutalah berada dibarisannya dijamin aman serta mendapatkan perlindungan bahkan kekuatan untuk menekan atau mengintimidasi setiap lawan-lawan yang ada. Namun bila memilih untuk berjuang dalam keadilan dan kebenaran maka kritislah terhadap penguasa maka bersiaplah mendapatkan menu perskusi hasil demokrasi secara implisit atau bahsa lain secara tidak tampak, ghaib, dan tertutup. Karena yang kritis akan libas habis dan yang sinis pada yang kritis akan diperlakuakn manis. 

Menyampaikan pendapat, pandangan dan pemikiran yang berbeda di tempat umum secara publik adalah hak setiap warga negara sebagaimana pula bila menyampaikan yang membela atau mendukung adalah hak setiap warga negara. Hanya sjaa negara harus tetap menegakkan keadilan untuk dapat melindungi, mengayomi, dan memfasilitasi kepada kedua belah pihak yang bersebrangan secara adil, proporsional, dan profesional. Bukan bekerja hanya sekedar kerja, kerja, kerja tapi kerja karena tekanan intervensi atau kerja karena image atau pencitraan dan karena kerja untuk kepentingan korporasi dan kelompok lains sehingga membelok dengan janji dan komitmen. Melainkan kerja benar-benar bekerja secara totalitas yakni kerja integritas, cerdas, ikhlas, tuntas, spritualitas, dan profesionalitas. Bila hanya sekedar bekerja maka buruh dan tukang pun berkerja, bila hanya sekedar membela maka premanisme dan brutalisme pun saling membela dalam kejahatan. Jangan sampai negara mengambil musuh dari internal bangsa sendiri atau memusuhi anak bangsa karena perbedaan pandangan sehingga menggangap kawan setia pada negara asing yang hakikatnya ialah musuh besar dan ancaman besar negara. Meskipun di dalam kebangsaan sendiri adanya kelompok perusak, pengkianat, preman, penghancur dan sebagainya harus diadili secara hukum dan undang-undang yang berlaku.

Pesekusi bagian dari demokrasi bukan hal yang aneh lagi di mata publik. Karena begitulah adanya selalu menghadirkan kekacauan di masyarakat yang berlindung atas alat negara dan penguasa. Semakin frontal bentuk kritisisme personal dan kelompok maka semakin represif dan dekat persekusi kepadanya. Semakin eksplisit sinisme personal dan kelompok pada yang kritis maka semakin kebal hukum dan mendapatkan standar ganda kepadanya. Demokrasi otoriter pun dirasakan meskipun kemasannya melalui simbol dan slogan sederhana, merakyat dan pencitraan. Otoriter tidak melulu berlatarbelakang militer karena sipil pun berpotensi dan bukti sejarah telah banyak menceritakannya. Model demokrasi otoriter itu selalu dua yakni demokrasi otoriter secara mutlak yang artinya pelakunnya langsung terlihat sebagai pimpinan atas penguasa dan terlihat jelas. Kemdian demokrasi otoriter secara abstrak yang artinya pelakunya dibalik orangnya secara tidak langsung yang menajdi kendali dan sutradara dibalik layar. Maka persekusi telah menjadi budaya demokrasi yang mengakar secara radikal. Hal ini harus dihancur leburkan sebelum negara menjadi lemah dan hancur berantakan.

Rabu, 29 Agustus 2018

Ketika Negara Kehilangan Haluan


Oleh : Al Azzad

Krisis kepemimpinan negara sedang terjadi disaat demokrasi sudah mulai berbenah dari hari ke hari. Negara menjadi alat untuk menyalahgunakan kekuasaan menjadi sangat rentan bagi mereka pejuang kekuasaan secara absolute. Melabelkan diri diawal sebagai pejuang politik ternyata hanya sebuah citra dan image yang dibangun, karena misi ternyata menjadi pejuang kekuasaan. Pejuang kekuasaan sangat berdampak buruk terhadap kepemimpinan yang lemah, sehingga lebih cendrung untuk menghabiskan anggaran dengan mudahnya belanja negara. Selain itu sangat gampang memudahkan persoalan negara yang ada hingga akhirnya keputusan cendrung kontriversial dan blunder bahkan tidak ada impact substansial. Pengalaman mengurus negara ditingkat wilayah terendah bukan pula jaminan mampu mengelola negara pada wilayah yang sangat luas dan besar. Kemampuan terhadap memange institusi adalah hal yang sangat urgensi untuk merekonstruksi sebuah sistem dan aturan yang efektif serta efisien. Bukan hanya sekedar lelucon untuk sekedar menghibur dalam bernegara melainkan sikap egaliter dan elegan dalam menjalani persoalan dan problematika negara.

Dibalik perjuangan kekuasaan itu tipologi hanya ada dua yakni kekuasaan diatas kewenangan dan kekuasaan diatas kesewenang-wenangan. Hal yang sangat identik namun sangat jauh berbeda bila ditelah lebih detail. Akan berbeda karakter pemimpin yang orientasinya adalah kekuasaan diatas kewenangan dengan yang kekuasaan diatas kesewenang-wenangan. Tentu kekuasaan diatas kewenangan ialah yang mengerti hirarki hukum, konstitusi dan aturan perundang-undangan yang berlaku sehingga proses pelaksanaan dalam menjalankan tugas terarah, terukur dan terpercaya. Berbeda halnya dengan kekuasaan diatas kesewenang-wenangan akan sangat mudah untuk mencari celah hukum, konstitusi dan undang-undang sehingga sangat kontroversif, destruktif dan konfrontatif. Hal tersebut dapat dibaca melalui arah kebijakan yang ditawarkan ketika pada masa janji kampanye kemudian bertolak belakang realisasi dan implementasi ketika telah memenangkan kontestasi kekuasaan. Hal ini karena kehilangan orisinalitas pemimpin ketika membangun citra yang sangat berlebihan over image, over action, over policy. Lain dijanjikan lain pula yang direalisasikan, lain yang diucapkan lain pula yang dibuktikan, lain yang dibicarakan lain pula yang dimaksudkan begitu seterusnya. Sehingga nalar yang terbangun justru anomali dan nirnalar karena lemahnya etika kepemimpinan.

Ketika negara kehilangan haluan, maka yang terjadi ialah orang-orang yang berada dibelakangnya akan sangat mudah mengendalikan melalui invisible hand, secret intervention, exploitation policy. Sehingga tangan-tangan gelap, tangan-tangan Tuhan atau tangan-tangan setan akan merajalela menghisap kekayaan negara. Intervensi yang sangat rahasia dan tertutup sehingga publik tidak tahu sehingga tidak transparan dan cendrung mendisplaykan hal-hal remeh temeh demi menutupi kelemahan negara yang dikelola. Kemudian kebijakan eksploitasi pun terjadi karena kuatnya tekanan para pemain balik layar yang bisa dari latar belakang mana saja entah asing, aseng, mafia, korporasi dan sebagainya mengambil alih agenda kebijakan negara. Disitulah terjadi situasi ketika negara kehilangan haluan dan negara diserahkan bukan pada ahlinya, bukan pada yang komitmen, bukan pada yang amanah, bukan pula kepada yang memiliki nasionalisme dan patriotisme yang tinggi. Hal tersebut tidak boleh terus larut dibiarkan, tentu harus direbut kembali melalui jalan konstitusional yang dilegitimasi secara hukum. Keadaan seperti sangatlah berbahaya sangat rentan krisis dan potensi krisis akan dirasakan nantinya yang kemudian terjadi ketidakstabilan negara yang besar sehingga dapat memberikan ancaman.

Ketika negara kehilangan haluan artinya kekuasaan itu sedang berada diatas kesewenang-wenangan penguasa dan para pemimpin yang memiliki kekuatan diatas kekuasaan tersebut. Negara menjadi lemah yang mengakibatkan keadilan sulit ditegakkan, kesejahteraan yang tidak merata, kepercayaan yang semakin punah, keharmonisan yang terus ternodai, kedamaian yang semakin sulit diterapkan, dan kesatuan yang semakin terpolarisasi. Ketidakdewasaan pemimpin negara menjadi akar masalah ketika kekuasaan negara berda dipundaknya, akan tetapi malah sibuk untuk dipermainkan meskipun dengan cara bekerja. Ini yang namanya bekerja tidak visoner, bekerja non esensial, bekerja hanya sekedar rutinitas dan tuntutan dari skenario yang telah mengendalikannya. Beban negara sebetulnya tidak dirasakan olehnya melainkan oleh rakyatnya dan oleh para pemimpin yang lebih bertanggungjawab hanya saja tidaj dipercayakan diberi amanah sekaligus tugas kenegaraan disebabkan diserahkan kepada model dan tipe orang-orang yang ingin berkuasa dengan model diatas kesewenang-wenangan. Akan berakibat fatal dan memberikan efek buruk untuk masa depan negara serta kehidupan generasi selanjutnya dalam melanjutkan estafet kepemimpinan kenegaraan. Harus segera ambil tindakan dan sikap arif, bijaksana, egaliter, dan tegas melalui mekanisme yang sesuai koridor hukum.

Dengan demikian krisis keteladanan pemimpin dan hilangnya keadaban kepemimpinan dalam bernegara akan semakin besar. Sebab pemimpinnya saja dengan enteng mengampang-gampangkan sesuatu sehingga efeknya menjadi tidak sistematis, terukur dan transparan. Justru malah bertambah besar persoalan sekaligus probelematika negara yang tak kunjung ada jalan alternatif sekaligus bangunan solutif. Cendrung menghakimi orang lain yang lemah, menyalahkan kepemimpinan masa lalu, dan mengkambinghitamkan situasi global yang tidak ada kaitannya dengan model kepemimpinannya. Hal seperti ini tidak baik untuk membangun peradaban model kepemimpinan kebangsaan, karena secara tidak langsung mengedukasi generasi untuk semena-mena, sesukanya, sewenang-wenang, dan sesuai seleranya yang akhirnya banyak menabarak aturan hukum yang ada dan bahkan melawan rakyatnya sendiri serta menipis antar anak bangsa dengan imoralitas yang tidak disadari sangking bengisnya memimpin. Menjadi pelajaran sekaligus hikmah yang kelak tidak boleh lagi terjadi, agar segala sesuatu yang dibangun di negeri ini berdasarkan nilai spritualitas, nilai intelektualitas, dan nilai mentalitas yang mengacu pada filosofi bangsa. Karena memimpin negara itu untuk merepresentasikan rakyatnya, maka perlu menghadirkan kembali pemimpin yang memiliki niali identik sikap, perilaku, pemikiran, narasi, gagasan, pejuangan, dan pergerakan yang bukan haya terletak pada bungkus kemesan semata. Sehingga ketika negara kehilangan haluan, maka rakyat yang memliki jiwa, raga dan hati yang mulia akan mengingatkan, mengawasi, mengkritsi, dan menasehati pemimpinnya.

Selasa, 28 Agustus 2018

Mengenali Orang Dibelakang PresIden


Oleh : Al Azzad 

Selama ini publik hanya mengenali sosok presiden sebagai pemimpin negara pilihan rakyat dengan suara terbanyak. Kemudian mudah termakan oleh para juru bicara dan politisi partai yang memainkan isu sesuai kepentingan politik dan partainya. Presiden itu adalah pemimpin publik yang tugasnya sangat kompleks dan salah satunya ia realisasi program kerja melaui janji kampanye yang dulu dicanangkan dan disosialisasikan kepada rakyat. Membandingkan presiden yang bekerja dengan tokoh lain yang bukan pejabat publik dan pemimpin publik adalah hal yang salah kaprah dan tidak intelektual. Ada tokoh nasional non pejabat atau mantan pejabat dan ada pula tokoh nasional yang memiliki jabatan atau sebagai pejabat publik. Tentu sebagai pemimpin publik harus menerima segala macam kritikan dari rakyat baik yang solutif, konstruktif, alternatif bahkan yang konfrontatif atau destruktif sekalipun. Itu adalah konsekuensi presiden sebagai pemimpin negara yang memegang kekuasaan dan menjadi pejabat publik. 

Menjadi presiden porsesnya panjang dan tidak berkerja secara Individu ataupun sendirian. Akan tetapi melalui mekanisme politik yang cukup kompleks melalui partai politik serta dinamika politik lainnya. Tentu presiden dapat memenangkan kontestasi politik karena adanya orang-orang kuat, besar, mapan, elit, besar yang berada dibelakangnya. Orang-orang tersebut tentu jabatannya bukan paling atas atau paling strategis, namun mereka bisa mengisi di semua lahan-lahan basah, lahan empuk dan lahan profit yang sangat menguntungkan. Mereka lah yang disebut sebagai back up presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dalam menggunakan anggaran negara beserta segala kekuasaan, kewenangan dan kebijakan tentunya. Intervensinya bisa sangat kuat bila ia memiliki banyak partai koalisi pengusung yang ada di parlemen dan kabinet. Bukan berarti presiden bekerja sesuai keinginannya melainkan ada aturan yang lebih tinggi yakni undang-undang.

Mengenali orang dibelakang presiden adalah satu hal yang sangat penting selain hanya membanggakan, menyukai, menginginkan dan mengharapkan presidennya. Akan tetapi siapa saja orang yang mempengaruhi, yang melindungi, yang mengawal, yang menasehati, yang mengelilingi sekitar presiden itu sangat lah penting. Sebab bisa saja kelompok mafia, koruptor, penjahat, preman, bandar, atau dari mana saja yang berbeda-beda latar belakangnya. Sejarah telah banyak mencatat dari presiden pertama sampai ketujuh saat ini, presiden akan lemah sehingga sangat kontriversial, otoriter, krisis karena orang-orang yang dibelakang adalah para pengkhianat, perusak, pengacau dan penjarah aset bangsa. Orang yang dimaksud berada dibelakang presiden itu antara lain yakni dari partai mana, siapa ketua partainya, apakah dia ketua partai, siapa penasehatnya, siapa dukungan korporasinya, siapa konsultan politiknya, siapa investor program pembangunannya, siapa yang mempengaruhi arah kebijakannya, siapa kawan dialog politik kesehariannya, siapa yang mengendalikan arah pemikirannya, siapa yang menjadi lawannya sekaligus musuhnya, siapa yang disejahterakannya, siapa yang dilindunginya dan sebagainya. Agar publik memiliki tanggung jawab dalam memilih presiden yang dimandatkan untuk amanah menjalankan pemerintahan secara keseluruhan dari hulu sampai hilir dari pendukung, simpatisan, pengusung, pengawal dan seterusnya harus diketahui dan dimengerti. Agar publik tahu akan ke mana arah kebijakannya diimplementasikan. 

Jangan sampai hanya melihat dan meilih presiden hanya sekedar sloganistik dan simbolik atau Pencitraan entah karena terlihat sederhana, merakyat, ndeso, mapan, religious atau sebagainya. Sehingga tidak otentik dan tidak bersifat original bahkan orisinalitasnya sangat kontradiktif terhadap arah kepemimpinannya. Presiden mau tidak mau pasti akan memegang ideologi partainya atau partai yang memandatkannya jika bukan seoarang ketua umum partai. Memang dalam Demokrasi siapa pun bisa menjadi presiden, akan tetapi meilih presiden yang ideal juga bagian dari demokrasi substansial. Menjadi presiden akan menjadi panutan sebagaian rakyat dan publik. Model kepemimpinannya dan pemikirannya akan dilihat bahkan bila yang sangat minim intelektual akan terlalu mudah dan cepat menelan mentah-mentah apapun yang dipraktikkan serta perlihatkan presidennya. Sebab presisen pun akan merasa berhutang budi terhadap seluruh komponen yang telah memperjuangkanya sampai menuju kursi tertinggi negara. Presiden pun akan mengambil agenda orang-orang yang berada dibelakangnya yang telah menjadi back up tadi. Sebab biaya politik dalam sistem demokrasi itu tidak murah melainkan mahal tidak mudah melainkan susah tidak kecil melainkan besar tidak sederhana melainkan kompleks dan sebagainya. Hal itulah yang menjadi kan semua menarik dalam prebutan kontestasi presiden.

Satu hal yang pasti ialah ingat selalu istilah jangan membeli kucing dalam karung atau jangan membeli barang tanpa mengenal produknya. Semua harus jelas, pasti, valid dan benar adanya sehingga tidak salah dalam memilih secara bijak dan benar. Karena presiden itu representasi dari rakyatnya dan pemimpin itu teladan bagi masyarakatnya. Bila ia saja sebagai orang nomor satu misalkan melanggar hukum dan aturan maka begitu juga rakyatnya, bila ia keras kepala dan anti kritik maka begitu pula rakyatnya begitu seterusnya. Maka memilih presiden harus bijak dan mengetahui selu beluk, bibit, bebet, bobot dan seluruh informasi pemimpin itu perlu dan penting. Rekam jejak, rekam pendidikan, rekam karir, rekam pemikiran, rekam digital dan rekam kehidupan lainnya. Agar memiliki presiden yang amanah, jujur dan menjadi teladan yang baik bagi rakyatnya.

Sabtu, 25 Agustus 2018

Kritik Terhadap Pejabat Publik


Oleh : Al Azzad 

Masyarakat publik maupun netizen sering kali tidak memahami konteks terhadap tupoksi atau tugas pokok dan fungsi dari institusi maupun para pemimpin serta pejabat publik. Asal kritik dan asal berkomentar yang sifatnya justru omong kosong dan tidak konstruktif bahkan menjerus pada fitnah sekaligus cacian yang tidak esensial. Antara yang dikritik maupun orang yang dikritik pun malah jauh, sedangkan para pemimpin, pejabat dan tokoh yang sedang mengemban amanah sebagai pejabat publik lah yang semestinya dikritik terhadap kinerjanya bukan malah orang-orang yang bukan mengembang amanah kepemimpinan publik. Bahkan simpatisan atau para pendukung pejabat publik ini sangat fanatik, sehingga anti kritik dan dianggap sebagai pelaku ujaran kebencian, kaum radikal serta fitnah. Aneh tapi nyata, peradaban manusia yang semakin bergeser tanpa makna akibat dari imoralitas yang merajalela dan degradasi kepemimpinan akibat dari hasil polesan yang tidak lagi otentik alias semua diatur dengan dikemas sedemikian rupa layaknya lakon sandiwara teater suatu drama. Masyarakat publik dan netizen mulai bergeser nilai sosial dan nilai aktivis dalam dirinya yang pada akhirnya terjebak pada narasi bungkus kemesan bukan isi dalam kemesan tersebut. 

Semestinya bagi para aktivis sosial, aktivis sosial media dan aktivis keadilan penggerak demonstrasi menyadari bahwa para pemimpin publik, pejabat publik dan  pemerintahan itu harus diawasi, dikontrol, dan dikritik terhadap kekurangan dan kelemahan. Namun tidak pula cepat puas hati terhadap hasil kinerja pejabat publik, sebab akan selalu ada kelemahannya yang ditutupi oleh para pejabat publik. Ini yang dinamakan masyarakat peduli pemerintahan demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan. Akan tetapi etika dan moralitas harus dijaga, sehingga yang dikritik ialah kinerjanya bukan justru pribadinya. Sentimen terhadap kinerja pejabat publik itu bernilai positif sedangkan sentimen terjadap pribadi atau privasi pejabat publik itu sangat negatif. Hal yang aneh yang sering didapat khusus bagi masyarakat sosial media ialah banyak kritikan yang dillontarkan justru kepada orang-orang atau tokoh yang bukan pejabat publik, artinya kepada orang-orang yang sedang tidak mengemban amanah bahkan bukan pelaku pemerintahan bukan praktisi publik. Hal tersebutlah akhirnya membuat para pejabat publik merasa diuntungkan sehingga memproduksi buzzer alias mesin sosial media untuk menyerang orang-orang yang mengkritiknya sehingga para aktor pejabat publik layaknya seorang yang suci, anti kritik, otokritik dan sangat represif. Nalar publik semakin lemah dan jatuh ke jurang nalar pembelaan serta pencitraan semata. 

Kritik terhadap pejabat publik itu adalah bagian dari demokrasi untuk melihat kinerja dan hasil pemimpinnya yang telah dimandatkan serta dipercayakan untuk menjalankan roda pemerintahan sebagai amanah yang harus dijalankan dengan sebaik-baiknya. Berapa banyak para aktivis yang vokal, yang lantang bersuara, yang menjadi aktor kritik bahkan sebagai pengawas pemerintahan diluat struktural pemerintahan menjadi bulan-bulanan yakni menjadi tersangka diseret sehingga terjadi pembungkaman terhadap para aktivis. Pejabat publik itu ialah penguasa pemerintahan yang memiliki kekuatan secara hukum dan institusi sehingga penyalahgunaan kekuasan tentu sangat rentan. Tugasnya ialah memberikan pelayanan terhadap publik demi memberikan keadilan, kesejahteraan dan kedamaian. Mengayomi seluruh elemen dan kalangan tidak berlaku diskriminatif apalagi Interventif terjadap yang tidak sejalan. Bila tidak adalagi suara dan vokal kritik terhadap pejabat publik, maka potensi penguasa tirani, otoriter dan fasis akan mewabah di setiap institusi pemerintahan publik yang tugasnya untuk melayani publik. 

Lihatlah bertapa menyedihkan negeri ini, justru kritik dan hujatan tertuju kepada tokoh nasional diluar pemerintahan atau orang yang tidak mengemban amanah sebagai pejabat publik atau bahkan kepada para aktivis yang vokal penegak keadilan dan pengawal kesejahteraan publik. Sehingga masyarakat kehilangan keberanian sebagai bentuk pondasi demokrasi yang ditakut-takuti oleh penguasa dengan instrumen negara dan institusi negara. Seolah-olah pejabat publik adalah raja yang sangat berkuasa dan tidak dapat disentuh dengan apapun. Publik dan masyarakat menjadi buta bahkan dibutakan dalam berdemokrasi sehingga menghilangkan akal sehat, nalar publik dan kontrol publik atas penguasa sebagai pejabat publik. Justru masyarakat dan netizen kebbanyakan jumlah dan volumenya ialah sebagai tameng penguasa, benteng pertahanan penguasa, buzzer penguasa, supporter penguasa bahkan pasukan pembela penguasa yang tidak boleh dikritik atau didemonstrasikan. Justru yang ada dipaksa menerima pencapaian hasil kinerja dan penyambung lidah penguasa bukan lagi penyambung lidah rakyat terhadap penguasa dalam hal ini merekalah yang menjadi aktor pejabat publik. 

Tentu nilai-nilai perjuangan demokrasi di ranah aktivis sosial dan aktivis sosial media mulai luntur serta hilang dalam perjuangan suara-suara kebenaran melalui kritikan dan saran bahkan masukan. Pejabat publik bukanlah Tuhan yang seolah-olah menjadi penguasa mutlak atas mandat rakyat yang telah memilihnya bukan pula nabi pemerintahan yang membawa risalah kebenaran mutlak pula serta bukan pahlawan pengusir penjajah yang darah, nyawa, harta, benda dan keluarganya dikorbankan. Karena yang ada semuanya akan didapat oleh pejabat publik sebagai bentuk fasilitas dan instrumen pejabat publik dalam menjalankan tugas dan wewenangnya. Pergeseran nilai semakin hari semakin merosot dan jatuh pada ketidakadilan. Sehingga barang siapa yang justru vokal dan lantang pasang badan dan lantang bersuara secara vokal membela membenarkan, serta mendukung secara mutlak terhadap penguasa pejabat publik maka amanlah hidupnya nyamanlah aktivitasnya bahkan berlimpahlah pendapatannya. Sehingga barisan pengawas pejabat publik akan hilang dan pudar serta dibully rame-rame oleh buzzer pejabat publik maupun ditekan rame-rame oleh pasukan pembela pejabat publik yang sifap untuk menerumuskan ke ranah hukum, penjara dan pembunuhan karakter. Hilanglah semua akal sehat dan hilanglah kebenaran melalui paradigma rakyat tentunya kehilangan kebenaran melalui kaca mata rakyat kecil rakyat lemah. Merajalelah semua kebohongan dan semua kediktatoran para pejabat publik di setiap institusi strategis yang mengemban amanah rakyat yang terbaikan.

Rabu, 15 Agustus 2018

Sang Petahana Dan Penantang


Oleh : Al Azzad 

Alkisah suatu negeri yang katanya keadilan tegak dan kesejahteraan tercapai masih dalam slogan harapan rakyat semata. Namun negeri tersebut sedang mengalami pergantian musim, yakni musim pergantian pemimpin yang akan membawa negerinya ke arah yang lebih baik. Di dalam situasi tersebut ada hiruk pikuk masyarakat yang terpolarisasi akibat pemimpinnya yang kurang peka untuk mempersatukan rakyatnya. Sehingga terjadilah dinamika kepemimpinan yang diinginkan baik yang petahana maupun adanya penantang. Semua berlomba dalam perebutan kekuasaan untuk memimpin bangsa dengan caranya dan gayanya masing-masing. Terjadilah kontestasi dan kompetisi untuk meraih kursi kekuasaan di istana negeri yang diagungkan oleh semua kalangan. Sebab bila hak itu dapat diraih, maka roda pemerintahan istana dapat dijalankan sesuai dengan visi yang ada. Hal yang menarik ialah sang petahana sebagai penguasa yang berhadapan dengan sang penantang sebagai kompotitor yang bersaing secara konstitusional dan penuh warna aroma dukungan masing-masing. Hal itu demi untuk merubah suasana kebangsaan yang merupakan kontestasi setiap lima tahunan. 

Dalam kontestasi dan kompetisi itu ternyata ada aturan main, sehingga harus saling berkoalisi dan beraliansi untuk bisa mendapatkan hitung-hitungan berlaga karena aturan yang mengikat. Maka langkah selanjutnya ialah mencari teman koalisi untuk memperkuat barisan, dukungan serta kekuatan dalam merebut kursi kekuasan tertinggi di negeri permai ini. Saling berhubungan, berkunjung, bersilaturahmi dan bermanuver secara politik agar dapat mengerakkan kekuatan organisasi di setiap laga kontestasi tersebut. Hal yang sedikit diuntungkan ialah posisi petahana sebab kursi kekuasaan masih dapat dirasakan. Sedangkan penantang pun sama halnya sedikit diuntungkan sebab masih segarnya dukungan yang ada. Perhelatan ini cukup dinamis dan memberikan ketegangan publik, dikarenakan teka teki terhadap strategi yang sulit ditebak membuat banyak persepo sekaligus banyak penilaian yang membingungkan rakyat itu sendiri. Menjadi pemimpin bangsa itu ternyata tidaklah mudah, butuh perjuangan dan pengorbanan yang besar untuk meraihnya yang tentunya tidak murah dan mudah. Ada banyak hal yang mesti harus dilakukan agar sampai pada kursi kekuasaan di istana nanti. 

Antara sang petahana dan penantang itu memiliki gayanya masing-masing. Sang petahana yang akhirnya berkoalisi gemuk dan besar membuat sang petahana memiliki strategi yang dirasa lebih jitu. Namun begitu pun sebaliknya sang penantang pun memiliki taktik jitu yang membuat publik dan petahana pun tidak menyangka untuk membacanya. Apapun alurnya diantara keduanya ialah menuju muara aliran kekuasaan di istana negeri nanti. Petahana memiliki banyak instumen mulai dari media maupun institusi sehingga peluang lebih dianggap paling besar. Penantang memiliki jalan lain sehingga strategi untuk mencapai kemenangan pun dilakukan dengan kuat. Optimisme masing-masing pun terbangun agar semangat kontestasi dapat dihadapi dengan segala keadaan. Saling lirik antar kontestan baik petahana dan penantang adalah hal yang biasa untuk melihat modal kekuatan masing-masing. Rakyat dan publik yang justru penasaran akan ke manakah cerita kompetesi ini nantinya berlabuh dan berakhir.

Baik yang menginginkan untuk melanjutkan serta yang menginginkan pergantian serta perubahan adalah hal sangat yang wajar dalam kontestasi politk demokrasi menuju kursi kekuasaan agar menjadi penguasa. Tentunya moralitas dan integritas harus dijaga sebagai prinsip dasar kebangsaan agar persatuan serta kesatuan selalu terjaga. Tentu harapan baru di tahun depan adalah hal yang perlu didapatkan dan diperjuangkan oleh rakyat dan publik tentunya. Jangan sampai  kesalahan di masa lalu kembali terjadi, sehingga kesejahteraan terasa mahal dan keadilan tidak pernah pasti. Sebab siapapun yang akhirnya menjadi pemenang dan penguasa wajib untuk merangkul, mengayomi dan menjaga seluruh anai bangsa agar tetap terjaganya keharmonisan bangsa. Tidak ada kekacauan dan kerusuhan akan tetapi tetap menjaga semangat baru yang harus dibangun. 

Sebagai pendukung dan sebagai simpatisannya pastilah ada yang merasa kecewa baik dari petahana maupun penentang. Sebab kontestasi pada akhirnya mewajibkan untuk berkoalisi yang terpilih hanyalah dua pasangan, maka pendukung militan sebagian pengusung tentu ada yang tidak puas dan ada yang kecewa. Tapi itulah dinamika politik penuh warna, penuh strategi, penuh teka teki yang tidak akan pernah secara mudah ditafsirkan oleh publik. Setiap masa pemimpin pasti memiliki ciri khasnya masing-masing dan memiliki konteksnya masing-masing dalam membawa kepemimpinan negara. Apapun itu harapannya ialah tentu tetap menjaga persatuan, menjaga kerukunan dan menjaga solidaritas kebangsaan. Sebab ini adalah persaingan anak bangsa dalam merebut kekuasaan secara politik praktis dan bukan sedang melawan musuh penjajah, jadi tidak perlu adanya sikap negatif yang berlebihan nantinya. Saling mendukung secara bijak dan dewasa tanpa harus merasa jumawa yang akan memunculkan sentimen dan konflik antar sesama, karena keteladanan dan keadabaan ialah hal mutlak secara bersama demi bangsa, negara dan agama.

Selasa, 14 Agustus 2018

Provokasi Atas Nama Umat


Oleh : Al Azzad 

Demokrasi itu mahal dan biaya yang harus dikeluarkan tidaklah sedikit dikarenakan Indonesia itu sangat luas wilayahnya. Sehingga dalam situasi kontestasi politik tertinggi yakni dalam pemilihan presiden merupakan hal yang harus diketahui secara terbuka oleh publik agar tidak terjadinya kesalahpahaman maupun pemahaman yang dangkal. Tentu dalam situasi pilpres ialah hal yang paling dinantikan, sebab dari sanalah akan melahirkan sosok pemimpin bangsa yang menjadi RI 1 dan RI 2 sebagai orang yang nantinya akan memimpin banga ke depan. Partai politik merupakan jalan dan mekanisme politik yang menjadi sarana untuk dapat melakukannya sehingga terstruktur, terencana dan terukur. Hanya saja dinamika politik sangat hangat dan faktual, sehingga banyak menghasilkan opini publik yang berawal dari isu kontemporer yang bertebaran baik di sosial media maupun di media mainstream. Pesta demokrasi itu tidak gratis, bahkan negara pun masih snagat minim mengakomonasinya apalagi situasi negara juga tingginya hutuang serta lemahnya ekonomi. Hal itu membuat proses demokrasi sangat liberal, tinggal tergantung bagaimana para politisi mampu memainkannya. 

Fenomena menarik ialah ketika adanya koalisi penantang melawan koalisi petahana, dimana koalisi petahana snagat digambarkan melalui media sebagai koalisi yang solid, mapan, tenang dan sangat akur. Padahal yang namanya partai politik selalu ada manuver baik pada lawan maupun pada kawan sendiri. Yang menarik justru sorotan publik dan media sangat intens hanya kepada koalisi penantang, yang dalam hal ini sangat ligai strategi politiknya, manuver politiknya bahkan dinamika politiknya. Sehingga muncul provokasi yang bertebaran untuk menggonjang ganjing barisam koalisi penantang. Lain halnya dengan koalisi petahana yang sangat gemuk dan diisi oleh elit politik yang sekaligus pengusaha kaya, korporasi besar dengan kaki tangan asing dan aseng yang luas. Kemunafikan politik sering kali muncul di publik melalui framing media massa dan media sosial bahwa tidak ada kepentingan, tidak ada bagi-bagi kursi, tidak ada mahar politik, tidak ada logistik politik. Padahal yang namanya pesta demokrasi itu mahal sekali untuk kampanye dan segala kegiatan-kegiatan politik lainnya. Ini yang harus disadari oleh publik tentunya untuk tidak terkecoh dengan pencitraan yang tidak masuk akal, karena rasionalitas politik adalah bagain dari keterbukaan, transparansi politik, keberanian, dan kejujuran yang tersampaikan pada publik. 

Provokasi atas nama umat pun semakin marak, ketika pilihan-pilihannya tidak masuk bursa capres dan cawapes seakan-akan urusan politik seperti ikut dalam pengajian dan seperti wisata alam. Lalu mengajak umat lainnya untuk tidak berpartispasi Politik akibat kecewa. Pemahaman yang tidak pernah mengerti bahwa politik harus melalui mekanisme partai politik ialah bagaian dari kendaraan politik. Seharusnya umat itu sadar dan memberikan keprercayaan kepada para politisi yang juga merupakan bagian dari umat. Apalagi situasi negara saat ini sangat tingginya hutang dan berbagai permaslahan yang tidak tuntas. Maka kehadiran sosok pemimpin yang mapan sekaligus nasionalis dan religius adalah jalan terbaik. Pemimpin yang tepat ialah yang mapan dan kuat baik secara mental, finansial, spritual, intelektual dan manajerial. Sudah cukuplah dengan pemimpin yang selalu dicitrakan seolah merakyat namun tersandara oleh mahar politik, logistik politik dan biaya politik melalui para korporasi yang akhirnya ketika terpilih justru selalu kena jaring intervensi yang akhirnya mengeluarkan banyak kebijakan kontriversial dan tidak pro rakyat. Semakin banyak provokasi atas nama umat tertuju pada koalisi penantang, padahal yang bermasalah adalah koalisi petahana menandakan bahwa kekuatan orang dibalik layar petahan sedang bermain untuk menjegal lawan penantangnya melaui cara invisible hand atau tangan-tangan ghaib yang mengobrak-abrik penantangnya. Dan itu yang tidak disadari umat justru malah kena provokasi bahkan ada yang memprovokasi atas nama umat. 

Situasi lain pada koalisi petahan itu pun memanas, hanya saja publik, media baik massa dan sosial media tidak intens melihatnya. Bagaimana mungkin koalisi petahana yang gemuk dan banyak tidak ada pembahasan pembagain kepentingan, bahar logistik politik, bahas strategi pemenangan timses, membahas anggaran dan sebagainya. Ketidakberanian koalisi petahan memperlihatkan hal tersebut, karena yanh diperlihatkan ialah seolah koalisi atas nama rakyat dan umat tidak ada pembahsan kepentingan dan logistik karena memang itulah yang dicitrakan kepada publik dan publik pun terkocoh pengawasannya terhadap koalisi petahana yang justru paling berpotensi untuk melakukan hal diluar dugaan karena pengausa yang memiliki segalanya dan dapat mengatur segalanya. Partisipasi publik khususnya kepercyaan umat terhadap kehadiran sosok pemimpin yang mapan secara finansial dan spritual tentu nantinya tidak akan mendapatkan tekanan dna intervensi, sehingga dalam kampanye pun seluruh biaya menggunakan hasil sendiri tanpa adanya campur tangan korporasi atau asing dan aseng yang selalu ikut dalam kegiatan tersebut. 

Tentu dalam menghadirkan sosok pemimpin dalam bursa capres dan cawapes bukan hanya dengan keinginan umat melalui deklarasi, tekanan melaui sosial media, atau bentuk isu viral semata. Melainkan dengan mekanisme mesin partai politik. Lihatlah betapa banyak provokasi atas nama umat yang justru banyak bersuara, berkicau dan bertaburan hanya kepada koalisi penantang dan bukan pada koalisi petahana. Tentu umat yang mana ini, sebab bila umat tentu memiliki jiwa kesadaran yang tinggi, memberikan kepercayaan kepada pada partai politik pilihan, serta ikut serta berpartispasi untuk memenangkannya an bukan justru sebagai provokator atas nama umat. Lagian koalisi penantang ini bertalar belakang sosok yang siap baik mental, finansial, spritual, intelektual dan manajerial sehingga tidak ada intervensi dari pihak mana pun, tidak dibiayai oleh korporasi, tidak dibiayai asing dan aseng justru asli anak bangsa yang mapan yang sekaligus aset pemimpin masa depan agar negeri ini selamat untuk dapat melunaskan hutangnya dan agar tidak lagi membuka keran hutang kepada negara asing dan aseng yang selalu memberikan pinjaman, selalu mengintervensi dan sebagainya. Sebuah hal yang aneh jika ada umat yang tidak masuk dalam barisan bahkan merusak barisan hanya karena kecewa terhadap pilihan pemimpin yang tidak disepekati oleh koalisi. Karena dalam dinamika politik tentu ada yang namanya koalisi dan disanalah kerjasama dan kesepakatan itu harus ada untuk meneima setiap calon yang bisa mewakili kerja sama. Tentunya umat dan masyarakat memberikan dukungan, kepercayaan sekaligus partisipasi yang nyata untuk memenangkannya, sebab calon presiden dan wakil presiden yang dihadirkan ialah termasuk representasi rakyat dan umat seluruh kalangan yang tidak hanya ekslusif pada entitas keagamaan tertentu dikarenakan Indonesia sangat luas maka pemilih segemen lintas kalangan adalah bagian dari politik inklusif. Sudah saatnya kita mendapatkan pemimpin mapan secara mental, finansial, spritual  intelektual dan manajeril agar tidak ada lagi intervensi, ekspansi, imperialisasi dan terhindari dari tangan-tangan korporasi yang selama ini merusak demokrasi melaui konspirasi kekuasaan. Negeri ini perlu diselamatkan oleh pemimpin yang kuat, integrritas dan tidak banyak pencitraan serta memiliki latar belakang yang jelas baik itu siapa kawannya, darimana asalnya, bagaimana kinerjanya, serta apa saja kontribusinya yang nyata tanpa framing bukan by desgin tentunya. Sebagai umat tentu merapatkan barisan bukan memecah belah apalagi melakukam provokasi atas nama umat.

Sabtu, 11 Agustus 2018

Koalisi Kebangsaan Dan Keumatan


Oleh : Al Azzad 

Dinamika politik selalu berjalan dengan situasi cair dan penuh teka teki yang tak pernah bisa ditebak secara pasti sebelum adanya pernyataan resmi serta hasil keputusan akhirnya. Membuat publik pun terus merespons sesuai dengan pemahaman dan pandangan masing-masing yang hanya menjadi komentator pilitik melalui analisa, pengamatan sekaligus argumentasi melalui referensi isu media, framing media baik media mainstream, media massa dan sosial media. Hal ini tidak terlepas dari aktivitas para politisi untuk mendapatkan kepentingan partainya sebagai kendaraan politik yang sah yang banyak mewadahi para politikus di dalamnya. Semua akan berjuang sesuai dengan cita-cita masing-masing partai dalam merebut kekuasaan yang tidak hanya sebatas mengikuti pesta demokrasi dalam setiap agenda pemilihan pemimpin bangsa. Kompleksitas kepentingan terahdap kekuasaan itu adalah tujuan dasar semua partai, karena dengan itulah jalan secara legal formal dan konstitusional dapat berjalan dengan baik. Masa depan politisi tidak hanya melalui popularitas Individu, elektablilitas individu dan kapabilitas individu saja melainkan simbol partai, nama partai dan bendera partai juga sangat penting sebagai bentuk peserta demokrasi yang menjadi alat politik kekuasaan dan kepentingan. Tentu tidak semua publik paham dan mengerti kompleksitas partai dan dinamika politik praktis yang terus berjalan secara cair. 

Partai tidak dapat berjalan dengan sendiri, sehingga membutuhkan aliansi, sekutu, mitra atau kata lain yang populer ialah koalisi untuk lebih mendapatkan segmentasi suara pemilih yang lebih luas agar dapat mendongkrak suara partai terhadap calon pemimpin yang ditawarkan kepada rakyat dalam setiap pemilihan. Disinilah terjadi kecocokan antar satu dengan yang lainnya sehingga ada kultur yang dibangun sebagai bentuk kutub ataupun kubu baik dua, tiga empat atau lebih dengan koalisi masing-masing. Di dalam koalisi selalu ada yang namanya kesepakatan dalam kepentingan. Munafik bila ada yang mengatakan dalam koalisi tidak ada pembahasan pembagian formasi kepentingan, Karena selama ini publik selalu diceritakan oleh para polisi yang membangun pencitraan di media selalu mengatakan koalisi adalah membahas tentang kebangsaan. Memang benar kebangsaan itu adalah secara umum dan secara khusus ialah kepentingan. Sebagai publik yang kritis dan memiliki akal sehat serta rasionalitas yang tinggi pasti paham tinggal mana yang memang bekerja untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan dan mana yang hanya berkerja untuk rakyat secara sebahagian golongan dan kelompok tertentu yang sangat partikular sekaligus sangat terkategorisasi. Sebab dalam kerja sama koalisi partai itu membahas segala teknis, taktis, dan tujuan akhir yakni kemenangan.  Tentu ada yang membawa suasana dengan seolah memperlihatkan koalisi yang membicarakan pro rakyat, rakyat kecil, wong cilik atau apapun itu jargonnya. Karena memang publik dan masyarakat Indonesia sebagian besar belum mendapatkan edukasi politik secara lebih subtantif dan edukatif. Masih dalam kategori rendah dalam memahami rasionalitas politik antara panggung depan politik dan panggung belakang politik. 

Koalisi kebangsaan dan keumatan adalah salah satu cara untuk menggabungkan dua pandangan yang berbeda menjadi satu aliansi politik. Sehingga memiliki nuansa baru untuk menempuh jalan kekuasaan lebih egaliter, humanitarian dan solid. Antara kalangan elit dan masyarakat bawah menjadi satu kekuatan bersama dalam menyongsong demokrasi untuk menempuh jalan politik praktis untuk memenangkan pemimpin pilihan masing-masing. Pesta demokrasi politik sangat mahal, secara general publik tidak pernah tahu urusan-urusan kompleksitas politik, sebab itu urusan dapur politik partai yang sifatnya privatisasi, rahasia dan sangat ekslusif. Sudah berapa banyak pemimpin publik yang terpilih itu menghabiskan banyak biaya dan dana politik yang tidak sedikit. Sehingga pemasukan, uang kas, anggaran dan biaya itu semua bagian dari aktivitas politik. Jangan dianggap semua kegaiatan itu gratis dan tidak memakai biaya sekalipun negara memberikan namun tidak akan cukup memenuhi setiap kebutuhan partai politik, sehingga banyak jalan, banyak cara, banyak jaringan, banyak pencapaian, banyak lobby, banyak korporasi dan semuanya adalah bagian dari kemitraan partai politik. Pada prinsipnya dalam koalisi itu ialah kebangsaan dan keumatan, entah dari poros mana dan kubu siapa yang membedakan ialah kepartaiannya saja. 

Dalam koalisi kebangsaan dan keumatan tentunya ialah memperjuangkan suara kaum nasionalis dan kaum religius yang memang memiliki kepentingan masing-masing. Untuk mendapatkan pemimpin negara atau presiden dan wakil presiden negara yang dingingkan sesuai janji progrmnya sekaligus bentuk dari sikap pronya. Selama ini publik menilai bahwa partai politik dalam koalisi hanya berjalan sesuai dengan dinamikanya sendiri, sehingga masyarakat tidak pernah dilibatkan secara langsung. Keterlibatan masyarakat hanya harapan, keinginan, cita-cita dan kenginginan saja terhadap pilihan-pilihan pemimpin anak bangsa yang ada. Satu hal yang tidak akan sampai frekuensi publik dan masyarakat ialah bahwa koalisi bagaikan hidup dan matinya partai yang menangung segala kompleksitas baik itu partainya, kadernya, masa depannya, keuangannya, lokomotifnya, simpatisannya, pemilihnya, dan semua komponennya yang menajdi bagian penuh tubuh partai politik. Itulah sebabnya partai politik dalam setiap koalisi akan kekeh dan tegas terhadap pilihan nya sendiri. Sebab bila tidak mendapatkan kemenangan maka konsekuensinya cukup besar bisa biaya partai yang habis, kader yang habis, suara yang habis dan tenaga bahkan kekuatan partai itu sendiri. Jangan dianggap bahwa menjalankan roda politik partai bagaikan mengendarai sepeda atau motor atau mobil tapi bisa jadi seperti pewasat dan helikopter yang memang harus ahli, mahir dan ligai mengendarainya yang tidak semau orang paham serta mampu menjalaninya. 

Tentu sebagai masyarakat yang memiliki partsipasi politik dengan memilih partai maka dukungan dan keprercayaan lah yang diberikan sebagai bentuk kontribusi politik. Bukan justru mencari kelemahan sendiri atas pilihan sendiri, maka akan menguntungkan pihak lawan politik. Dalam politik sesuatu dapat mungkin atau tidak mungkin itu tergantung partisipasi publik. Kuasa penuh ada pada pemilih militan, pemilih aktif, pemilih peduli, pemilih setia, pemilih kontributif dan pemilih yang sadar akan kebangsaan dan keumatan. Bila untuk kemajuan bangsa dan umat, maka dukungan nyata harus diberikan secara penuh dengan militansi, solidaritas, fanatisme demi meraih kemenagan mutalak meraih kekuasaan agar janji program dapat direalisasikan. Bagaimana mungkin keinginan akan tercapai bila saja yang didukung kalah dalam pemilihan, maka kepercayaan, kepeduliaan, dan keikutsertaan tanpa bantahan, komentar, serta sanggahan adalah cara yang bijak sebagai publik yang bertarung di luar arena karena memang itulah kontribusinya. Sehinga agenda kebangsaan dan keumatan nyata didapat kan tidak hanya sebatas wacana politik, isu politik publik semata melainkan benar adanya karena kesolidan yang dibangun atas kepercayaan dan dukungan kontributif secara nyata. Maka merebut kekuasan demi kepentingan bangsa dan umat adalah bagian dati jihad politik yang harus diperjuangkan bersam diatas solidaritas dan kepercayaan kolektif tentunya.

Rabu, 08 Agustus 2018

Menyikapi Perbedaan Pilihan Politik


Oleh : Al Azzad 

Pesta demokrasi adalah kultur politik dalam memilih pemimpin publik untuk menata, membangun, mengembangkan dan memajukan negeri ini dengan segala persoalan maupun problemnya. Politik dilakukan dengan mekanisme organisasi melalui kendaraan partai politik sebagai wadah untuk menyiapkan kader, calon pemimpin dan segala sesuatu yang berususan dengan segala administrasi politik sebagai bentuk persyaratan bakal calon yang akan diikuti. Pemilihan kepala daerah atau pilkada dari level kota, daerah maupun provinsi, pemilihan legislatif dari level kota, daerah maupun provinsi atau pileg dan pemilihan presiden serta wakil presiden atau pilpres merupakan serangkaian pesta demokrasi politik Indonesia yang telah mengalami dinamika dari waktu ke waktu dan masa ke masa. Berbagai partai politik lahir pun sesuai dengan konteksnya masing-masing yang memiliki ideologi partai serta tujuannya dalam merebut kekuasaan secara konstitusional. Kultur roda berputar pun bagian dari perjalanan partai politik karena tidak selamanya berkuasa dan tidak selamanya berada di puncak serta pucuk kekuasaan akan ada masanya selalu bergantian. 

Manuver politik adalah bagian dari cara para politisi partai dalam memainkan peran terhadap isu-isu yang ada untuk saling merespons antar komunikasi para politis partai melalui propaganda maupun melalui framing yang bisa saja diawali oleh media, masyarakat, tokoh nasional, akademisi, dan politikus itu sendiri. Artinya manuver politik akan sering dilakukan ketika mulai masa panen demokrasi yakni masa-masa pesta baik pilkada, pileg dan pilpres tersebut. Dari sinilah akan muncul banyak penafsiran dan penilaian masyarakat bawah atau masyarakat akar rumput yang diantara mereka bisa terjadi kegaduhan sosial, konflik sosial, sentimen sosial, ujaran kebencian dan sebagainya. Apalagi ditambah dengan maraknya berita hoax, akun buzzer, media yang berpihak, framing ekstrim dan segala hal macam yang nampaknya halal di pesta demokrasi. Sehingga semua bisa jadi bahan untuk mendapatkan keuntungan serta kepentingan dari pihak-pihak yang menginginkan suatu kondisi dan keadaan yang memang memanas maupun tegang terhadap sistuasi politik yang ada. Karena semua akan merasa benar dengan pilihan masing-masing dan melakukan klaim pembenaran dengan segala cara untuk dapat meyakinkan banyak pihak sebab disitulah letak suara Tuhan akan bicara yakni suara demokrasi yang dihitung berdasarkan banyaknya pemilih serta dukungan. 

Menyikapi perbedaan pilihan politik adalah dengan cara kebijaksanaan memilih, kedewasaan memilah, dan kemampuan memutuskan atas pilihan-pilihan masing-masing orang terhadap apapun partai politiknya, calon pemimpinnya dan kader yang dirawarkannya. Dengan begitu semua atas dasar tanggung jawab yang tidak hanya bisa memilih tapi tidak bijak atau hanya memilih karena keterpaksaan atau tekanan bahkan intervensi maupun politik uang atau apapun motifnya. Sebab yang namanya demokrasi itu banyak pilihan dan beraneka ragam, sehingga semua harus mampu menyikapi perbedaan pilihan politik dengan penuh sikap arif dan bijaksana. Silahkan memilih dengan pilihan nya masing-masing dan pastikan yang dipilih berdasarkan pengetahuan dengan mengetahui siapa orangnya, latar belakangnya, kontribusinya, siapa pendukungnya bila perlu sangat detail muti informasi atas pilihan sendiri agar dapar bertanggung jawab atas pilihan-pilihan sendiri. Karena pilihan itu bagian dari tanggung jawab atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, disebabkan pemimpin itulah yang akan membawa amanah bangsa, mengawal konstitusi, meneggakkan keadilan, kepastian hukum, kesejahteraan rakyat dan keharmonisan bangsa. Pilihan boleh berbeda akal sehat, hati nurani dan kesadaran kemanusiaan tetap terjaga dengan baik sehingga selalu menjunjung tinggi kebersamaan dalam bingkai kebhinekaan. Jangan sampai berbeda meruncingkan konflik antar anak bangsa karena berbeda maka Indonesia ada dan merseka. 

Hanya saja sebagian besar masyarakat Indonesia belum mampu menyikapinya terhadap perbedaan pilihan Politik. Hal ini tidak serta merta masyarakat bawah atau masyarakat yang belum luas wawasan saja akar permasalahannya, namun hal ini juga bagian dari para politikus, elit politik, pemimpin politik bahkan pejabat publik sendiri yang tidak memberikan keteladanan dan keadaban dalam menyikapinya. Rasa keadilan sekaan hanya mimpi dan imajinasi ketika berkuasa berkata akan segalanya dan ketika yang tidak berkuasa sengsara selamanya begitu seterusnya sampai roda terus berputar bergantian. Menandakan bahwa sistem dmeokrasi masih banyak yang harus dibenahi demi kemajuan dan keberlangsungan sistem politik demokrasi Indonesia. Terlihat budaya koruptif yang menghasilkan banyak koruptor, mental maling berpenampilan pejabat publik berjas, berdasi, berjakert atau apapun bentuk tampilan kostum maupun wajah yang diperlihatkan kepada publik. Lain di publik lain pula di belakang, seolah ketika memasuki panggung politik semua akan memakai jubah masing-masing yang hanya mengelabu publik sehingga hanya banyak menawarkan kemasan, casing, tampilan, citra dan image semata tapi tidak sampai pada esensi, substansi dan output maupun outcome. Ini yang menjadikan kesalahan dalam menyikapi pilihan yang berbeda menjadi tidak bijak dan rasional. 

Sebagai warga negara Indonesia yang beradab, beragama dan beretika maka setiap pilihan politik yang berbeda adalah bagian dari keberagaman bangsa. Maka tidak perlu untuk melakukan hal-hal yang negatif apapun itu bentuknya dan wujudnya karena itu akan merusak sekaligus mencederai demokrasi Indonesia yang berketuhanan yang tidak mutlak seperti demokrasi lainnya yang menganut kebebasan tanpa batas mengubur serta mengseampingkan niali dasar ketuhanan. Hal itulah yang membedakan bangsa Indonesia ini unik dari bangsa lainnya akan tetapi masih lemah dalam pandangan perbedaan pilihan politik. Apalagi yang berkaitan dengan politik praktis tidak ada habisnya untuk dibicarakan dan dibahas di ruang publik karena menjadi konsumsi publik sehari-hari yang hangat dibicarakan dimana saja dan kapan saja. Maka rawatlah akal sehat, jagalah solidaritas, dan selamatlanlah kebangsaan ini dari segala hal yang mengancam, menghancurkan dan menjajah. Jangan sampai kehilangan fokus untuk melihat segala ancaman besar dari luar akibat meruncingkan perbedaan pilihan politik. Karena semua kembali kepada sikap arif dan bijaksana serta keteladanan untuk menyambut hari-hari demokrasi politik dengan penuh rasionaltas dan akal sehat.

Selasa, 07 Agustus 2018

Politik Mulai Meninggalkan Agama


Oleh : Al Azzad 

Kemenangan kaum intelektual berhaluan liberal dan sekuler dalam menarasikan sistem demokrasi serta politik berada pada puncak kematangan sekaligus kemapanan. Sehingga menjadi sistem baku, rujukan semua politikus bahkan menjadi kiblat demokrasi era global masa kini. Padahal secara historis dan normatif, walau pun Indonesia mengadopsi dan mengkoptasi sistem demokrasi tidak serta merta secara mutlak maupun persis berhaluan barat, disebabkan Indonesia punya kultur dan struktur tersendiri dalam merumuskan sistem demokrasi kebangsaan terhadap unsur politik dan agama tentunya. Bangsa ini tidak ada sejarahnya kontestasi, resistensi dan dikotomi antara politik dan agama atau antara politikus dengan religius. Karna pondasi kebangsaan Indonesia merupakan dari tokoh nasionalis-religius yang merupakan hasil dialog dan kesepakatan bersama antar umat bergama saat itu. Sehingga politik dan agama seiring sejalan meksipun dinamika kontestasi ideologis terus berjalan secara politik, namun kerukunan secara agama pun terjalin dan keharmonisan secara sosial pun dapat terjaga dengan baik. 

Dalam hal ini politik sebagai bentuk kegiatan seni meraih kekuasaan dan kepentingan mulai menjauhkan dirinya dari unsur agama secara esensial dan substansi. Agama hanya sebagai asesoris, nilai tambah casing atau tampilan, label atau baju kampanye sekaligus tempat berlindung ketika mulai bermasalah terhadap sandera dan problematika politik. Padahal negara menjamin Agama sebagai nilai dari sila pertama, dan semua berhak memperjuangkan nilai serta agenda maupun kepentingan agama masing-masing yang diatur oleh undang-undang yang tentu agama yang telah diakui oleh negara. Akan tetapi agama hari ini menjadi hal yang tabu untuk dibawa ke ranah politik, khususnya pada politik praktis karena dianggap akan membawa isu SARA yang implikasinya akan membawa konflik, perpecahan dan sentimen antar kelompok. Bila ditelaah lebih dalam tentu dalam hal ini dapat diterima namun tidak benar sepenuhnya, sebab bukan Agama yang menjadikan isu SARA namun aktor, perilaku, subjek, tokoh dan politikus itulah yang menggunakannya sebagai propoganda politik yang disalahartikan dikarenakan ideologi politik yang dibangun sangat liberalistik dan sekuleristik. Politiknya tidak salah dan Agamanya pun tidak salah, yang salah ialah yang memainkan peran politik dan agama sebagai alat untuk menghalalkan segala cara sehingga keluar dari nilai substansif politik dan agama itu sendiri. Inilah kesalahpahaman berpikir masyarakat saat ini tentang politik dan agama, sehingga semakin anti berpolitik semakin anti bergama bahkan semakin anti politik dengan agama atau agama dengan politik. Untuk menjauhkan agama dan politik saat ini diskurus yang dibangun ialah politisasi agama, agama khilafah, agama ekstrim kanan, agama ekstrim kiri, radikalisasi agama, terorisme agama dan lain sebagainya. Padahal tidak ada kaitanya dengan itu karena sama saja itu yang berperan ialah aktor, pelaku dan subjeknya yang tidak memahami agama atau justru karena permainan politik by desain mengatasnamakan agama sebagai kambing hitam permasalahan demokrasi pada situasi saat ini. 

Politik mulai meninggalkan agama karena dianggap sebagai biang kerok permasalahan demokraso bangsa yang esensial, sehingga agama dinarasikan hanya masuk di ruang privat dan dijauhkan dalam hal politik. Sebab politik yang dibangun ialah urusan ruang publik yang tidak ada kaitanya dengan unsur agama. Padahal korelasi antar keduanya merupakan urgensi kebangsaan dalam merekonstruksi sistem kenegaraan yang berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Politik dan Agama itu dalam perspektif keindonesiaan itu satu tubuh yang artinya urusan ruang privat dan publik diatur dalam hal ini secara konstitusional. Hal ini dikarenakan situasi politik yang sangat mengedepankan neo-liberalisme, sehingga unsur agama mulai ditinggalkan dikarenakan akan menghambat agenda pembangunan secara global untuk masuk dalam ruang global tingkat internasional. Kapitalisasi politik membuat agama semakin jauh dan jatuh pada level terbawah, kaum agamawan dan religius hanya fokus dalam urusan pendidikan yang orientasinya hanya untuk kehidupan privat yang menanamkan nilai spritualitas Individu sebagai obat permasalahan sosial nantinya. Kepentingan agama hanya diberikan pada program yang arahnya tidak keumatan melainkan hanya pada nilai hizbi dan asobiyah pada harokah pendukung penguasa. Kapitalisasi politik menimbulkan katgorisasi kelompok agama yang semakin terkotak menjadi bagian partikular yang dipetakan, sehingga agama dengan kendaraan organisasi terbesar yang kuat hegemoni dan dominan pengaruhnya. 

Tentu politik dan agama tidak hanya berlaku pada kelompok agama tertentu, melainkan berlaku pada lintas agama yang memang diakui oleh negara keberadaanya. Hanya saja kultur politik saat ini sudah mulai menjauhkan agama agar tidak menjadi ekslusif, sehingga menghambat pembangunan dan nilai kemanusiaan. Ide dan narasi agama versi barat menjadi rujukan dan referensi mutlak dan tunggal yang digunakan dalam merumuskan urusan politik saat ini, sehingga interpretasi terhadap agama menjadi jauh dari originalitasnya sendiri. Sebab bila politik dan agama diintegrasikan, dipadupadakan dan disatukan akan mengalami hambatan, gangguan, persoalan baru sehingga agenda politik tidak dapat berjalan secara makro, global, general dan luas. Agama hanya dijadikan sebagai pelengkap dan pendukung ayat suci untuk memudahkan urusan politik. Maka dalam hal ini kuasa politik jauh lebih tinggi, mulia, besar, agung dan kuat ketimbang agama itu sendiri yang justru semakin kerdil, kecil, sempit, dan lemah. Politikus yang membawa agenda agama akan dicap sebagai politikus pembawa isu SARA yang akan menjual agama demi kepentingan politik praktis sehingga politisasi agama pun menjadi sebuah cara sekaligus dinilai yang akan melahirkan kelompok radikalis, teroris dan ekstrimis. Itulah kenapa politikus liberal dan sekuler selalu diuntungkan dan bahkan menjadi pilihan masyarakat yang tidak paham akan nilai ideologi dan idelalisme. Sebab masyarakat saat ini hanya korban Kapitalisasi politik yang memanfaatkan apatisme  masyarakat meskipun masih memiliki kesadaran akan partisipasi politik dalam memilih. 

Regenerasi tokoh nasonalis-religius pun mulai kehilangan jumlahnya, padahal banyak tokoh dan pahlawan serta guru bangsa Indonesia lahir dari kaum agamawan yang berpolitik dan memiliki agama dalam urusan kenegaraan untuk mengatur pemerintahan dan hajat hidup masyarakat Indonesia yang beraneka ragam. Bila pun ada intelektual muslim dan cendekia muslim yang lahir dari perguruan tinggi bernuansa Islam, ketika perjalanan karir menjadi politis dan masuk dalam kendaraan partai lalu berkontestasi pada pesta demokrasi akhirnya masuk ke jurang politik kebebasan yang Idealismenya, ideologinya, pemikirannya, pemahamannya dan kiblatnya berputar arah 360 derajat. Sehingga ikut menyandera nilai esensial agama dalam berpolitik dan karena itulah yang dianggap paling laku nilai jualnya terhadap urusan publik. Sebab banyak disandera sendiri juga dari kalangan cendekia muslim dengan pemikiran globalnya yang mematahkan dan menguburkan para politisi yang berlatar belakang agama untuk dibawa ke ranah publik. Pada akhirnya agama hanya urusan privat, kembali pada akhirat, cukup menerima kebijakan maslahat, menjadi partikular umat, dan jauh dari kesalihan politik bermartabat. Kini sudah saatnya membangun nilai yang jauh lebih besar tidak hanya kesalihan individu dan kesalihan sosial melainkan kesalihan politik guna membangun kemajuan yang lebih nyata untuk merealisasikan ayat suci di seluruh aspek kehidupan umat manusia.

Minggu, 05 Agustus 2018

Indonesia Membutuhkan Revolusi Adab


Oleh : Al. Azzad 

Belakangan ini sebagian kelompok masyarakat merasa bahwa situasi kebangsaan penuh dengan sentimen, ujaran kebencian, ketegangan dan sebagainya. Sehingga menginginkan situasi yang adem, ayem, santun, ramah serta penuh kedamaian. Harpan itu sah-sah saja selama itu demi kebaikan dan kemajuan bangsa tentunya. Dalam hal ini masing-masing memiliki ukuran dan penilaian sendiri terhadap kebenarannya sendiri, sekaligus tentang santun maupun kedamaian itu dengan pandangan masing-masing. Indoensia beragam suku, budaya, ras, agama dan adat istiadat tentu banyak memiliki perbedaan karakter serta perbedaan mendasar lainnya. Ada yabg tipekal suara vokal, lantang, keras, tegas, lugas, jelas namun ada sebaliknya pendiam, pelan, intonasi rendah itulah keberagaman. Bukan lantas merasa paling baik dan benar sendiri sehingga menafikan yang lainnya. Perlu disadari hal ini melalui sejarah tentunya, agar pemahaman yang dimiliki tidak hanya sebatas pemahaman kontemporer yang orientasinya ialah individualistik, kapitalistik, liberalistik dan sekuleristik. Karena keberagaman itu telah aja sejak bangsa Indonesia pun belum lahir dan semua memiliki kehidupannya masing-masing dengan caranya masing-masing pula. 

Perlu disadari bahwa situasi saat ini ialah hasil dari revolusi mental yang telah didoktrin begitu radikal sehingga sangat mengakar. Akibatnya bila tak sepemahaman dan satu pandangan main gebuk, main persekusi, main anarkis, main kasar dan main cara-cara brutalisme bahkan premanisme. Memang hal itu tidak lain tidak bukan karena yang diinjekkan ialah revolusi mental, sehingga mental yang hadir ialah mental bekuasa, mental menekan, mental intervensi, mental intimidasi, mental paling benar dan sebagainya. Indonesia itu sudah lulus dan khatam dengan urusan mental sejak zaman para pendahulu. Lahirnya dan merdekanya bangsa ini karena besarnya dan kuatnya mental moyang bangsa ini dalam memperjuangkan, mempertahankan dan memajukan Indonesia. Selain itu juga para tokoh pendahulu adalah terlahir dari manusia-manusia cerdas, intelektual dan bahkan memliki adab yang tinggi. Berbeda halnya dengan saat ini, revolusi mental justru menghasilkan dan melahirkan mental anak bangsa layaknya imperialis, kolonialis dan sangat hedonis. Memahami dan memaknai revolusi mental ini justru menjadi bentuk destruksi moral anak bangsa yang akhirnya sikap agresifitas yang sangat tinggi untuk saling merasa kuat dan akhirnya tekan menekan dan ancam mengancam bahkan saling melontarkan ujaran kebencian dan ujungnya ialah merasa paling benar dan memaksakan akan pembenaran secara mutlak. Revolusi mental rasa penjajah telah menjadi doktrin rusak generasi bangsa memperlihatkan sikap angkuh, arogan, agresif dan sangat jauh dari sikap egaliter. 

Indonesia membutuhkan revolusi adab untuk memperbaiki etika, moral, akhlak, sikap, perilaku, perbuatan anak bangsa yang semakin hari semakin tidak menjunjung tinggi integritas dan moralitas. Bangsa yang besar itu adalah bangsa yang beradab bukan bangsa yang berevolusi mental dengan arogansi yang setinggi langit. Sebab dengan revolusi adab itulah bentuk dari manifestasi pancasila sebagai sila ketiga kemanusiaan yang adil dan beradab. Keadilan itu ada karena manusia yang beradab dan keadaban ialah mutlak menjadi doktrin dan paradigma masa kini. Terlepas dari dampak positif, revolusi mental justru lebih banyak masuk ke jurang pada dampak negatifnya dan itu terbukti serta dapat dirasakan saat ini. Justru dampak positif revolusi adab lah yang banyak manfaatnya ketimbang dampak negatifnya. Orang yang menanamkan nilai revolusi adab lebih menghargai perbedaan, menjaga kerukunan, sangat humanis, bersikap egaliter, dan mampu membawa diri terhadap situasi, keadaan dan kondisi apapun. Adab yang tinggi akan melahirkan peradaban manusia yang cerdas secara intelektual, emosional, spritual, sosial, dan manajerial. Mampu mengelola diri dengan baik sehingga tidak serampangan seperti nilai revolusi mental yang asal tabrak sana tabrak sini tidak peduli aspek agama, hukum, sosial, budaya dan etika. 

Itulah kenapa Indonesia saat ini membutuhkan generasi yang memiliki kesadaran tinggi untuk menanamkan nilai revolusi adab pada dirinya. Agar mampu membawa bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat dan bersahaja. Orang yang beradab tentu orang yang sadar secara spritual dan emosional sehingga mampun mengendalikan diri dari sikap agresif yang menimbulkan perpecahan, kekerasan, intimidasi dan intervensi. Generasi yang berevolusi adab itu bagian dari generasi emas dan cemerlang yang mesti dijaga agar tidak terkontaminasi dengan virus, penyakit, dan sifat-sifat destruktif. Mental itu sudah dipupuk bahkan sejak dini, apalagi Indonesia saat ini mengalami kemajuan dalam bidang pendidikan. Dimana para pelajar dapat berprestasi sesuai dengan kemampuan, minat, bakat, keahlian, dan keinginannya dalam menentukan masa depan yang itu pasti berawal dari pondasi mental yang kuat. Sehingga mampu tampil percaya diri terhadap kreativitas, imajinasi dan segala aktivitas kemampuan masing-masing. Tak ada lagi keraguan terhadap mental anak Indonesia sehinga tak perlu ditanamkan revolusi mental yang berkiblat sekuler-liberal mental penjajah.

Untuk itu perlu ditanamkan dan ditekankan pada generasi muda tentunya agar dapat mengaplikasikan revolusi adab dalam kehidupannya. Sebab di dalam revolusi mental itu  telah dirusak, dimanfaatkan dan didominasi oleh pihak-pihak yang hanya mencari keuntungan semata sehingga tidak bertanggung jawab secara utuh yang mengakibatkan generasi sata ini sangat hedonis, konsumtif, terlalu kebarat-baratan, menghilangkan budaya ketimuran, berbangga diri dengan sesuatu dari brand asing, malu dengan budaya sendiri, tidak menghargai hasil karya sendiri dan suka dengan hal-hal yang berfoya-foya. Revolusi adab untuk kembali menyadarkan seluruh anak bangsa agar menjadi pribadi dan karakter kuat, mandiri, berintegritas, menjunjung moralitas, memiliki spritualitas seperti para pahalwan terdahulu dan para tokoh bangsa yang telah membesarkan bangsa ini. Dengan adab semua akan berjalan dengan baik dan semua akan kembali pada khittah yakini pada garis-garis perjuangan yang benar yang telah dicontohkan oleh generasi beradab sebelumnya. Sehingga dalam situasi apapun khususnya dalam kondisi kontestasi demokrasi politik sekalipun, semua akan berjalan dengan baik dan lurus sesuai amanat dan undang-undang bahkan falsafah pancasila. Generasi cerdas generasi yang memiliki revolusi adab yang tinggi agar dapat menegakkan keadilan, mewujudkan kesejahteraan, melindungi kemanusiaan, meninggikan ketuhana, dan mejaga keharmonisa demi kemajuan hidup bangsa Indonesia ke depan.

Ketika Kelompok Tradisionalis Berkuasa


Oleh : Al Azzad 

Akhir-akhir ini sering terjadi sentimen antar kelompok, sehingga yang kuat menekan yang lemah dan yang lemah tentu merasa tidak mendapatkan keadilan. Perbedaan pilihan politik dan pandangan politik menjadi adalah bentuk dari kebhinekaan yang semestinya dapat diterima dan dihargai tanpa harus ada tekanan untuk menjatuhkan, membungkam ataupun menghalangi. Sebuah keniscayaan bagi negeri yang besar dan luas ini memiliki perbedaan, sehingga tak payah untuk melakukan ancaman dan persekusi ataupun yang lainnya. Pemerintahan yang terlalu responsif terhadap kritikan, komentar, nyinyir, cibiran masyarakat dengan perlakuan keras menggunakan aparat akan menimbulkan reaksi tentunya dan kedailan pun tidak ada dapat dirasakan bagi yang bersebrangan. Sebab menjadi penguasa harus siap segalanya pro kontra itu selalu ada, kirtik dan oto kritik pun ada, dan ketika meiliki kekuasaan maka nafas kepentingan kelompok harus ditinggalkan dan harus mulai merangkul sekaligus mengayomi rakyat tanpa pilih-pilih. Karena inti tujuan dari kekuasaan ialah kesejahteraan, keadilan dan kerukunan. 

Hal yang sangat tidak etis ialah ketika kekuasaan itu dijalankan dengan cara-cara klasik layaknya drama kehidupan orang-orang terbelakang. Istana dan kekuasaan menjadi hal yang dianggap terlalu kaku, formal, sistematis, baku, penuh aturan dan sebagainya hingga akhirnya diabaikan begitu saja karena pandangan tradisionalis. Maka istana dan kekuasaan serta pemerintahan dijalankan layaknya orang yang tak mengerti tak paham dan memang tak pernah mau paham terhadap mekanisme dan prosedur atau protokoler yang ada. Sehingga dibuat seenaknya saja sesuai seleras bagaikan kaum tradisionalis yang hanya mengerti tentang kenyamanan tak payah untuk melakukan sesuatu yang banyak aturan karena budaya kerjanya pun bebas tanpa aturan yang berlaku. Cara pandang yang kolot, keras kepala, susah diatur, ngeyelan, cengar cengir, senyam senyum itu ciri khas tradisionalis yang saat ini dilabelkan orang yang ramah lagi santun lagi lemah lembut. Maka tidak ada yang esensial dan substabsial yang dirasakan hanya sebatas lebelitas, konteks dan citra semata. Kekuasaan digunakan untuk kesenangan diatas penderitaan dan segala penjajahan alias imperialisme kepentingan masa kini pun diiyakan dan diterima lebar begitu saja. 

Ketika kelompok tradisionalis berkuasa maka kehancuran sistem akan dirasa sekaligus lemahnya negara menjadi hal buruk dan arogansi kekuasaan semakin memuncak karena besarnya dukungan para loyalis fanatik yang memang telah didoktrin dan dikerahkan. Kelompok tradisionalis agama banyak cara untuk melakukan sesuatu yang tidak ada aturannya dan sering kali justru menabrak aturan yang ada. Antara pemimpinnya dan anggotanya, pendukung dan simpatisannya sama saja lain di muka lain di belakang artinya manis di depan kasar di belakang. Hal-hal semacam ini bukan perilaku dan ciri khas karakter bangsa Indonesia, hanya saja karena berada di atas angin sedang naik daun maupun sedang berada di puncak maka perlakuan pun menyimpang jauh dan keadilan tidak merata. Rasa ingin menang sendiri, paling berkuasa sendiri, paling merasa hebat dan paling berjasa atau paling Indonesia serta pancasilais adalah klaim tunggal sebagai bentuk arogansi kekuasaan di tangan kelompok tradisionalis ini. Selalu mengedepankan sentimen benderang untuk melawan siapa saja yang menentang terhadap apapun yg datangnya dari penguasa pemilik kekuasaan, sebab menjadi benteng dan tameng penguasa kaum tradisionalis. 

Ketidakmampuan untuk menjalankan sistem roda pemerintahan inilah kelemahan kelompok penguasa tradisionalis. Sehingga antara yang dijanjikan dengan yang direalisasikan itu tidak sinkron alias jauh berbeda. Sebab inkonsitensi yang terlalu fleksibel membuat kebijakan pun sesuai selera tergantung situasi yang ingin diciptakan. Namun yang menjadi kekuatan kelompok tradisionalis ketika berkuasa ialah kaki tangannya akan dibantu oleh kaum-kaum intelektual, sebab baginya gampang urusan hanya dikembalikan kepada ahlinya walaupun ia tidak mampu dan ahli mengurusnya. Karena baginya selama yang ahlinya dalam genggamannya dan berada ditangan kekuasaanya maka ketidakmampuanya pun akan tertutupi bahkan tak terlihat dari mata masyarakat bahkan media. Situasi bernegara saat ini memang sangat jauh dari aturan banyak demokrasi dicederai dengan anggapan bahwa keburukan pemimpin masa lalu menjadi argumen untuk menghalalkan segala sesuatu untuk berkuasa saat ini. Padahal semestinya dari masa ke masa demokrasi harus terus berbenah diri dan terus belajar semakin progres bukan justru mengadopsi kesalahan, kegagalan, kejahatan dan keburukan masa kekuasaan kepemimpinan masa lalu. Sebab kelompok tradisionalis itu kelemahannya ialah tingginya dendam batin sehingga susah menerima dengan hati terbuka demi kemajuan bersama. Ketegasan hampir tidak dimiliki sebab dirasa hal itu tidak manusiawi dan tidak santun terhadap manusia, maka yang terjadi ialah lemahnya kepemimpinan baik secara nasional maupun internasional. 

Narasi yang dibangun ketika kelompok tradisionalis berkuasa ialah narasi keberpihakan dan kepentingan kelompok sendiri. Pembenaran dalam perbedaan adalah hak mutak yang tak bisa dikompromikan bagi kelompok tradisionalis apalagi kekuasaan berada ditangan dan pundaknya. Segala sesuatu boleh dilakukan asalkan tidak menggangu kelompok tradisionalis tersebut. Entah itu maju atau mundur, kehancuran atau kejayaan, krisis atau kemajuan atau apapun itu situasi nya baginya aman, enteng, tenang selama tidak mengusik kelompok tradisionalis tersebut. Sebab itu sama saja memberikan ancaman bagi mereka dan segala kekuatan dikerahkan untuk mematikan siapa saja yang resisten dan melakukan perlawan pada mereka. Satu-satunya cara tentu bila kekuasaan itu tidak lagi ditangan dan dipundak mereka lalu mulai dilakukan perbaikan dan disusun ulang sistem berdemokrasi yang sehat dan inklusif. Sebab apa gunanya saling serang antar anak bangsa karena tak mampu menjalankan roda pemerintahan ketika sedang berkuasa. Karena kelompok tradisionalis sangat kental dengan feodalisme dan fasisme, jadi sulit diberikan kesadaran dalam memimpin ketika berkuasa. Kebijaksanaan sangat subyektif bagi kelompok tersebut, maka sangat sulit untuk menerima hal baru, sesuatu yang lain yang dirasakan tak sesuai dengan seleranya. Tentu ini menjadi pelajaran agar tidak lagi terjadi ke depannya demi demokrasi inklusif yang tidak hanya dinikmati segelintir golongan san kelompok tertentu saja serta dapat melindungi seluruh anak bangsa apapun latar belakangnya karena masih dalam satu rumah yakni rumah Indonesia.

Jumat, 03 Agustus 2018

Mengenali Aliran Jaringan Islam


Oleh : Al Azzad 

Arus globalisasi begitu deras dalam mempengaruhi kegiatan politik, ekonomi, agama dan sosial serta budaya di setiap levelnya. Sehingga, banyak yang harus menyesuaikan diri dengan cara mengintegrasikan prinsip dasar dan nilai dalam situasi tersebut. Agama dalam hal ini pun menjadi bagian yang sangat kontriversial sekaligus krusial. Hal tersebut terbukti karena semakin banyaknya jaringan dan sel yang pemikiran tentang Islam. Aliran jaringan Islam konteks kontemporer adalah representasi dari berbagai latar belakang baik dari keormasan, paham ideologi, dan kelompok militan. Agendanya ialah mengembangkan seluas mungkin khazanah pemikiran Islam di tengah arus globalisasi mendunia untuk andil dalam kontestasi global secara internasional. Argumentasi yanh dibangun ialah untuk dapat bersaing sekaligus menjadi partisan dunia di kalangan Islam yang mengikuti kuatnya arus barat dalam mempengaruhi kehidupan global baik dari aspek tadi yakni politik, ekonomi, agama, sosial dan budaya. Langkah dinamis ialah ikut serta dan mengambil peran serta posisi arus global dalam menginterpretasikan setiap problematika dan persoalan. Bila ide besar pembangunan global tersebut tidak dapat diartikulasikan, maka ancaman demi ancaman pun dapat dirasakan sehingga mengalami ketertinggalan dunia. Maka upaya membangun sebuah penafsiran baru melalui agenda yang dibawa dari pintu masuk penelitian dan pengembangan pemikiran Islam versi global. 

Meningkatnya pengaruh jaringan Islam adalah bagian dari keikutsertaan dalam menafsirkan dan menginterpretasikan ayat Al Qur'an dan Al Hadits secara tekstual maupun kontekstual yang dibedah dengan pisau metode keilmuan, studi dan sains global barat. Mulai mengesampingakan metode pendekatan normatif dalam membaca ayat Al Qur'an dan Al Hadits, bahkan meninggalkan pendekatan historis. Yang mulai dibangun dan dikembangkan adalah pendekatan kontemporer, pendekatan humanitarian, pendekatan kosmopolitan, dan pendekatan kemajukan. Dengan tujuan dapat menyimpulkan sebuah hasil temuan terbaru dalam konteks globalisasi sehingga menghapus upaya metode klasik dan konservatif. Dari segi sains keilmuan jaringan ini sangat unggul dan terkemuka sehingga tidak diragukan lagi progresifnya dalam ranah keilmian sains. Akan tetapi yang lebih kontroversial ialah dari segi pemikiran Islam dan studi agama Islam yang dibaca, ditafsirkan dan diinterpretasikan melalui paradigma, perspektif, dogma, sudut pandang global untuk menyimpulkan ayat secara intelektual terhadap kajian Islam global. Sehingga tak jarang selalu berhadapan dengan arus utama dan terjadinya resistensi penafsiran Islam di tengah kehidupan masyarakat dan umat Islam. 

Untuk mengenali aliran jaringan Islam ini pada dasarnya cukup sederhana dan mudah dalam kacamata sosial. Jaringan Islam ini melebelkan nama dibelakangnya yang bisa berafiliasi atau tergabung dari keormasan, paham ideologi dan kelompok bernuansa komunitas FGD. Sehingga sel jaringan Islam semakin banyak dan meluas, itulah kenapa jaringan ini berkembang pesat dari segi ilmu pengetahuan Islam dengan nama-nama yang depannya memakai kalimat Jaringan Islam dan dikuti tambahan belakang yang beragam sesuai dengan latar belakang serta identitas golongan tersebut. Gerakannya sangat produktif dan progresif, terlihat dari banyaknya buku-buku keislaman nuansa global di pasaran, seminar, kajian, forum, lintas studi, dan sebagainya. Pengaruhnya pun cukup besar, sebab posisinya sangat strategis dan elitis berada sebagai orang besar, orang penting yang selalu berada dalam struktural dan pucuk pimpinan. Kehadiran bagaikan Nabi pembawa Risalah baru dalam interpretasi ayat Al Qur'an dan Al Hadits. 
Pembahasannya sangat beragam dari hal yang besar sampai yang kecil seperti radikalisme, terorisme, sekularisme, pluralisme, liberalisme, kapitalisme, anarkisme, komunisme, islamisme, humanisme, dan sebagainya. Pengaruh doktrinnya cukup kuat dalam mempengaruhi pemikiran masyarakat dan umat, sehingga menjadi rujukan dan referensi kekinian untuk memahami Islam global.

Posisi-posisi jaringan Islam ini bila dilihat dari jalurnya yakni pertengahan-kanan ekstrim atau tengah kekanan-kananan atau pertengahan-kirim ekstrim atau tengah kekiri-kirian. Agak sulit membacanya namun jelas dan terang kontibusinya dalam mengendalikan pemahaman dan pemikiran masyarakat khususnya umat muslim. Yang menajdi problem ialah ketika aliran jaringan Islam ini memainkan perannya maka semua nuansa akan bergerak, bahkan terjadilah resistensi dan konfrontasi pemikiran antar sesama jaringan Islam. Sehingga memberikan kegaduhan dalam konteks pemahaman kegamaan yang baku. Hal tersebut karena besarnya pengaruh kuat intelektualitas dan membentuk rasionalitas-logis untuk membaca konteks yang ada. Inti dan ujungnya ialah bergerak pada nilai Islam global yang mengarah pada pluralisasi, humanisasi, dinamisasi, globalisasi, dan sekularisasi. Kelemahannya terletak pada inkonsistensi antara logika atau akal dengan moral atau akhlak dan intuitif atau hati. Kebebasan interpretasi menjadi hak mutlak sehingag multi tafsir adalah sebuah tujuan dalam memahami Islam secara global. 

Hal itulah kenapa banyak jaringan Islam ini pada akhirnya memunculkan banyak istilah-istilah keislaman yang dibentuk melalui studi baik secara ontologis, epistemologis dan aksiologis dari segi filsafatnya. Arogansi keilmuan menjadi kekuatan Individu secara privat dan terbuka bebas ruang dan panggung dalam memaparkan sekaligus mempresenrasikan hasil Pemahaman dan pemikirannya. Tidak akan pernah ada upaya penyaringan dan filterisasi, sebab hanya berkutik di lingkaran jaringan Islam tersebut. Bila pun dibedah dan disanggah hanya sebatas tanggapan revisi yang akhirnya memberikan hasil pada pengakuan hasil temuan yang ada. Itulah pentingnya mengenali aliran jaringan islam, agar tidak terjebak dalam dinamika serta lingkar pemahamannya yang mempengaruhi secara soft doktrin untuk mendapatkan pengakuan, penghormatan dan perestasi setiap paparan yang dituangkan. Sebab aliran ini dapat berkeja pada siapa saja meskipun tak sejalan dan tak seirama karena memang sangat jenius, cerdas dan termasuk dari golongan cendikia serta kaum intelektual namun yang masuk jurang penyesatan pada umat. Karena posisinya sama saja bagikan nabi pembawa risalah sebagai sebutan ekstrim, meskipun dari golongan agamawan yang religius dan agamis. Bila tejadi kebingungan di kalangan umat terhadap istilah Islam saat ini, maka sudah dipastikan aliran jaringan Islam itulah yang memainkan perannya san bertanggung jawab pula mengatasinya bagiakan ilmuwan yang menciptakan virus dan sekaligus menciptakan penawar virusnya karena kendali ada pada yang memiliki istilah pemahaman hasil penafsiran dan interpretasi personal tentunya.

Tenggelamnya Gaya Politik Pencitraan

Oleh : Al Azzad  Ada masa dimana dulu demokrasi sempat heboh dengan model politik pencitraan yang dikemas apik sedemikian rupa. Dit...